Hujan tiba-tiba menyapa
senja di sore hari itu. Orang-orang panik berlarian melindungi tubuh dan barang
bawaan mereka. Aku pun demikian, berlari diantara orang-orang itu sambil
melindungi tasku yang berisi makalah untuk tugas besok.
Aku berhasil mendapat tempat diantara kerumunan orang-orang
yang berteduh di sebuah halte bus. Sambil melirik jam tangan, aku memastikan
bahwa barang-barang bawaanku selamat dari air hujan. Tiba-tiba mataku menangkap
sesuatu yang bergerak melawan arus. Seorang bocah laki-laki yang kira-kira
seumuran dengan adikku.
Baju kaus yang dikenakan bocah itu dapat kupastikan
berukuran dua kali lipat tubuhnya. Kaus berwarna coklat lusuh yang sudah bermandi
air hujan itu melekat pada kulit si bocah. Aku dapat merasakan betapa dinginnya
berinteraksi langsung dengan cuaca yang ekstrem seperti itu. Aku memejamkan
mata dan merasakan tubuhku menggigil.
Payung hitam itu dengan gesit dibawa oleh pemiliknya—si bocah
lelaki—sambil berimpitan dengan orang yang menyewa payungnya. Meskipun sedang
menahan rasa dingin yang menusuk tulang, ia tetap memasang wajah ceria. Sambil
sesekali menyapa beberapa temannya yang juga sedang berjuang menembus derasnya
hujan, ia berlari-lari kecil menyamai langkah sang penyewa payungnya, tanpa
alas kaki apa pun.
Bocah itu menerima uang kertas yang
diberikan sang penyewa payung dengan wajah berseri. Kemudian, ia merogoh saku
celananya dan menyimpan uang itu. Tanah yang basah menjadi saksi bisu kobaran
semangat bocah-bocah ojek payung itu. Mereka berlarian berebut “penumpang” demi
beberapa lembar uang kertas yang telah basah. Aku menghirup napas dalam-dalam.
Lalu menyadari, diriku tenggelam dalam aroma hujan yang memikat dan membukakan
mata hati seorang manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar