Hingga akhirnya kamu datang, mengubah segalanya. Sepasang mata
sipit yang memandang kagum pada kebudayaan Indonesia, seulas senyum dari bibir
tipismu, suaramu yang terdengar aneh, namun ternyata membuatku menjadi
pecandu-garis-keras-senyummu.
Aku tidak ingin sendiri lagi.
Menikmati kuliner khas Indonesia adalah rutinitas kita
setiap malam Minggu. Aku dan kamu, berdua. Setiap warung makanan yang kita
kunjungi pasti menatap kita heran. Seorang perempuan berkulit cokelat sedang
makan berdua dengan lelaki sipit berkulit putih dengan senyum yang mempesona. Sungguh
bukan suatu keselarasan.
“Ini namanya pecel lele, Jun.”
“Pecel lele nikmat tidak?”
“Banget!”
Pesanan kami datang. Kamu menatap ikan lele yang masih
mengepul panas itu dengan tatapan kagum.
Ternyata justru aku yang semakin kagum. Padamu.
Malam kesekian, kita melewati wisata kuliner ke berbagai
penjuru Jakarta. Kamu bilang, Jakarta adalah kota yang indah, namun kamu selalu
tidak suka dengan kemacetannya. Aku katakan bahwa Jakarta tanpa macet adalah
bukan Jakarta. Kamu terkekeh.
“Minggu depan kita UAS, ya, Nit?” tanyamu.
Aku mengangguk sambil menyuap nasi goreng.
Tiba-tiba raut wajahmu berubah. Cahaya matamu meredup. Kamu mengajakku
pulang meskipun nasi goreng kita masih tersisa di piring. Aku bertanya-tanya,
dan kamu hanya diam. Kita menyusuri sepanjang jalan tanpa sepatah kata pun.
“Belajar yang rajin, ya. Nilai kamu harus bagus di semester
ini!” suaraku memecah keheningan kami.
Kamu menoleh ke arahku. Tanpa ekspresi.
“Kenapa?”
Matanya seakan ingin berbicara. Mataku dan matamu. Bertemu dalam
satu titik. Degup jantungku menjadi tidak stabil. Pipiku memanas.
Ia hanya menggeleng lemah. Matanya kembali menatap lurus ke
depan.
“Aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu di negara ini. Jangan
lupakan aku, ya,” katamu, pelan.
Lagi-lagi, aku tidak mengerti. Bukankah kita masih memiliki
banyak waktu untuk bersama? Aku belum mengabulkan permintaanmu untuk pergi ke
Monas, belum menikmati semilir angin di Pantai Anyer, belum memasakkan tempe
bacem kesukaanmu, Park Jun...
Tanganmu menggenggam tanganku, namun tatapanmu tetap lurus
ke depan.
Dadaku bergemuruh hebat.
***
Suasana kelas mendadak ramai.
“Selamat tinggal, UAS! Hahaha!” teriak salah seorang
temanku.
Liburan panjang akan segera dimulai. Aku pun telah
menyiapkan berbagai rencana yang belum terwujud bersamamu. Aku tersenyum, tak
mampu menyembunyikan kebahagiaanku.
“Nita, aku ingin bicara...” tiba-tiba kamu muncul di
hadapanku.
Aku pun mengikutinya berjalan keluar kelas dan berhenti di
salah satu koridor.
“Semester ini telah berakhir. Sebelumnya, aku minta maaf
karena tidak memberi tahu kamu lebih dulu. Aku akan kembali ke Korea. Aku berharap
semua akan baik-baik saja.”
Rencana liburan yang tersusun di kepalaku hancur seketika. Dadaku
terasa ngilu. Perih di bagian hati.
“Nita, andai aku bisa lebih lama di sini. Aku ingin
menghabiskan waktu lebih banyak bersama kamu. Tetapi aku tidak bisa...”
Ternyata aku akan sendiri lagi. Seperti saat sebelum aku
mengenalmu.
“Hati-hati, ya. Kamu harus jadi orang hebat di negaramu,”
kataku sambil tersenyum. Dadaku semakin sakit.
“Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?” kamu menatap
mataku.
Aku tertawa kecil. “Semoga kita bisa bertemu lagi,” bisikku.
Kamu meraih lenganku, kemudian memelukku erat.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membalas pelukanmu. Untuk
terakhir kalinya. Kubiarkan kamu merasakan detak jantungku. Airmataku tumpah seketika.
Bibirku bergetar ingin mengucap, namun suaraku lenyap.
Ternyata aku mencintaimu,
Park Jun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar