Sinar matahari pagi menembus masuk melalui celah jendela
yang terbuka. Sinar itu jatuh menerpa wajahku. Silau. Aku meregangkan otot-otot
tubuhku yang terasa pegal akibat timbunan asam laktat di beberapa bagian. mataku
menyapu seisi ruangan. Di sini tidak ada kehidupan. Bahkan aku pun telah mati
di depan pintu kamar ibuku sendiri.
Hatiku telah mati.
Perlahan, kuputar kunci dan membuka pintu kamarnya. Ia masih
terlelap bak seorang balita. Wajahnya yang polos, pakaiannya yang lusuh, serta
jiwa yang tidak lagi utuh. Mungkin Tuhan telah mengambil beberapa bagian dalam
otak dan hatinya sehingga ia dapat memukuli ayah semalam.
Ah. Ayah.
Setelah dipukuli dengan berbagai benda yang ada di rumah, ia
hanya menunduk terdiam. Ibu tetap meneriakinya tanpa ampun, “Laki-laki bejat!!!
Pengkhianat!!!”
Kemudian ia pergi dengan tas ransel di punggungnya dan
membawa satu-satunya barang berharga di rumah ini. Sebuah sepeda motor. Tanpa menoleh,
ia terus melangkah menuju pintu. Mungkin, saat itu ia lupa bahwa ada seonggok
daging yang berasal dari air maninya sedang menatap menuntut penjelasan dari
balik punggungnya. Sampai ia menghilang di ujung jalan, aku menyadari bahwa aku
telah mati.
Kehidupanku mati, dimulai sejak malam tadi.
***
Ia meraung-raung sambil mencakari tubuhnya sendiri. Darah mulai
terlihat di sekujur lengan dan pipinya. Aku memeluknya erat sambil menahan
airmataku yang hendak berontak. Tidak. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Harus.
Bahkan ia mulai mencakari lenganku yang sedang memeluknya. Aku
meringis, menahan sakit. Sungguh, luka ini belumlah seberapa dibandingkan
dengan luka di dalam hatinya. Kulihat ia mulai kelelahan. Ia tertawa dengan
tatapan mata kosong, kemudian membeku tanpa suara.
Ternyata ia tersenyum...
Oh! Bukan! Ia menangis di balik
senyumnya. Sebuah luka pengkhianatan ayah tergambar jelas di sana. Aku melepaskan
pelukanku. Kutatap wajahnya yang penuh luka itu.
Benarkah wanita ini adalah seorang ibu yang telah
melahirkanku?
Pikiran-pikiran jahat yang dikirimkan iblis mulai merasuk. Ingin
rasanya kutinggalkan ia, berlari menjauhi wanita yang tak berjiwa ini dan
menemukan hidupku kembali. Aku akan hidup bahagia untuk selamanya.
Sinar matanya meredup. Ia meraih bahuku dan akhirnya
menangis histeris. Saat itulah, aku menyadari bahwa aku masih diinginkan; masih
dibutuhkan. Tuhan tidak benar-benar membuat hidupku hancur.
Tak perlu lagi kutemukan hidupku kembali. Dua puluh tahun
yang lalu, wanita inilah yang
telah membantu proses kehidupanku. Dan saat ini
pula, dialah alasanku untuk mencoba hidup kembali.
Tak lagi kuperlukan kebahagiaan dunia. Cukup di dalam peluknya,
hidupku utuh kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar