"You'll find the right one, the one that you don't have to choose him
or your family. You'll get them all." ♥☺
- HanungWL
Selasa, 20 November 2012
Minggu, 18 November 2012
Tentang Malam
Hujan membungkus malam.
Bulan meredup seakan tak mau tahu.
Bintang pun menyembunyikan sinarnya di balik langit
malam.
Kau lihat? Malamku sunyi.
Pelangiku tak muncul di malam hari.
Hanya gelap yang mampu kulihat.
Seharusnya ada tangan yang menggenggam,
Seharusnya ada senyummu yang menyinari malamku.
Tidak lagi; tidak ada.
Kita yang memutuskan.
Membiarkan malam kita bersenandung sepi.
Perlahan,
Pagi akan datang menggantikan malam kita.
Mungkin bukan detik ini.
Pasti, suatu saat nanti.
Hujan Untuk Pelangi
Pelangi.
Kamu memandanginya dengan penuh kekaguman. Berlari sambil
berteriak kegirangan padaku, “Lihat, Jo! Ada pelangi di sana!”. Lalu, aku akan
tersenyum sambil berlari mengikutimu dari belakang.
Rambutmu yang panjang terurai menerpa wajahku. Apa daya? Aku
selalu jatuh cinta pada senyummu yang mengembang setiap kali ada pelangi. Ah,
bukan. Lebih tepatnya, bukan hanya saat kamu memandang pelangi. Namun di setiap
saat; di setiap lengkung senyummu, ada aku yang setia mengaguminya.
“Mir, kenapa kamu suka pelangi?” tanyaku sore itu, ketika
kamu sibuk menggambar pelangi di buku catatanmu.
“Hmm, kenapa, ya? Karena pelangi itu nggak bisa kita jumpai
setiap saat, Jo.”
“Jadi, kamu selalu suka pada hal yang tidak sering kamu
jumpai?” tanyaku lagi.
“Nggak juga, sih. Pelangi itu punya daya magis. Seakan
perpaduan warnanya membuat mataku terpaku dan nggak bisa lepas. Dia indah,
nggak akan pernah bikin perasaan kita sakit…”
Aku meluruskan kedua kakiku. Mataku tak lepas mengamatinya
berbicara.
“Mira…”
“Kenapa, Jo?”
“Aku mau jadi hujan.”
“Loh, kenapa?”
“Karena tanpa hujan, nggak akan ada pelangi. Aku rela jadi
apa pun asal bikin kamu bahagia.”
“Jovana, you’re so
sweet! Karena kita sahabatan, kan?” kamu memelukku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
“Bukan. Karena aku mencintai kamu, Mira.” bisikku sambil membelai rambut indahnya.
Perahu Kertas II
Kemudian kita telah tiba.
Pada saat yang telah kita duga.
Ketika tak ada lagi kata "kita"
Ketika perahu kertas yang membawa kita;
terpaksa hancur.
Ombak itu terlalu besar.
Lihat, paling tidak, kita tidak menyerah.
Aku, kamu,
telah berusaha, bukan?
Dan pada akhirnya,
ombak pula yang akan menyeret kita.
Menuju daratan yang berbeda.
Akan tetapi, sadarilah.
Bahwa kita selamat.
Masih bernafas bersama.
Di bawah langit yang sama.
Dengan hati;
yang tak lagi sama.
Pada saat yang telah kita duga.
Ketika tak ada lagi kata "kita"
Ketika perahu kertas yang membawa kita;
terpaksa hancur.
Ombak itu terlalu besar.
Lihat, paling tidak, kita tidak menyerah.
Aku, kamu,
telah berusaha, bukan?
Dan pada akhirnya,
ombak pula yang akan menyeret kita.
Menuju daratan yang berbeda.
Akan tetapi, sadarilah.
Bahwa kita selamat.
Masih bernafas bersama.
Di bawah langit yang sama.
Dengan hati;
yang tak lagi sama.
Perahu Kertas I
Kita sedang berada di atas sebuah perahu kertas.
Mengarungi samudera kehidupan tanpa tujuan.
Meskipun tujuan itu ada,
pasti kita tidaklah searah.
Kita berdua tahu
perahu kertas itu akan hancur.
Terkena ombak besar yang menghadang.
Kita
hanya sedang mencoba bertahan.
Walaupun sama-sama tahu.
Kita akan terhempas di daratan yang tak sama,
sendiri.
Mengarungi samudera kehidupan tanpa tujuan.
Meskipun tujuan itu ada,
pasti kita tidaklah searah.
Kita berdua tahu
perahu kertas itu akan hancur.
Terkena ombak besar yang menghadang.
Kita
hanya sedang mencoba bertahan.
Walaupun sama-sama tahu.
Kita akan terhempas di daratan yang tak sama,
sendiri.
Ketika Bukan Lagi Kita
Selamat pagi.
Ada sesuatu yang hilang?
Ah. Aku telah melukai luka.
Luka kita;
yang selama ini kita tutupi.
Tunggu...
Mengapa aku masih menggunakan kata "kita"?
Karena "kita" telah membelah diri.
Menjadi dua bagian;
aku dan kamu.
Ada sesuatu yang hilang?
Ah. Aku telah melukai luka.
Luka kita;
yang selama ini kita tutupi.
Tunggu...
Mengapa aku masih menggunakan kata "kita"?
Karena "kita" telah membelah diri.
Menjadi dua bagian;
aku dan kamu.
Sabtu, 17 November 2012
(Bukan) Cinderella
Pukul 08.14
“What?!” aku melompat turun dari tempat tidurku.
Ketika aku menyikat gigi, handphone-ku tak henti-hentinya berdering. Nama yang muncul di
layar handphone membuatku ingin
segera terbang melesat menuju kantor. Detik ini juga.
Pukul 08.55
Akhirnya kereta itu datang juga. Dengan perasaan yang
meledak-ledak setelah mengangkat telepon dari Boss, aku mencoba tetap tenang di kereta.
“Berkasnya kan ada di
kamu! Kalau dalam tiga puluh menit kamu belum sampai ke sini, jangan harap saya
akan mengangkatmu menjadi pegawai tetap!” ancam Bu Diana, Manajer di
tempatku bekerja.
Tetiba seorang pria menepuk pundakku.
“Cindy?” matanya mengamati wajahku.
Aku berpikir cepat. “Randy?”
Kepanikanku runtuh sudah. Pria itu mengembangkan senyum di
wajahnya. Hatiku meleleh. Lebih tepatnya, selalu meleleh. Tidak berubah, sejak
aku mengenalnya di kampus, tiga tahun yang lalu.
“Kamu kerja? Turun di stasiun mana?” tanyaku.
“Stasiun Cikini. Kamu?”
“Oh… Manggarai.” Jawabku ringan.
“Apa? Ini kan Stasiun Manggarai…”
Kepanikanku kembali muncul. Kurasakan kereta mulai berjalan
lagi.
“Permisi!! Permisi!! Saya harus turun!!” aku menerobos
penumpang lainnya, menuju pintu keluar kereta.
“Aaaaargh!” akhirnya aku berhasil keluar dari kereta itu.
Aku setengah berlari untuk menghampiri ojek di area stasiun.
Kemudian, kusadari ada yang ganjil dengan penampilanku.
Sepatuku. Tinggal satu.
Pukul 20.00
Aku pulang dengan mengenakan sepasang sandal pinjaman
temanku di kantor. Aku memaki diriku yang tidak menyadari sepatuku terlepas di
dalam kereta.
Dan terlintas di benakku, bahwa aku tadi belum berpamitan
pada Randy! Bahkan, belum bertanya apa pun selain stasiun tujuannya. Lagi-lagi
aku merasa bodoh. Setelah kehilangan jejaknya selama berbulan-bulan, Randy yang
tadi ada di hadapan mata telah kusia-siakan. Malam itu, rasanya aku ingin
menangis di balik selimut. Mengutuki diriku yang tak henti-hentinya membuat
kecerobohan.
Pukul 11.51
Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Ada yang mau ketemu kamu. Duh, malam-malam begini…” kata
Mama ketika aku membuka pintu.
Aku menuju teras untuk melihat siapa yang ingin menemuiku di
tengah malam begini.
Randy?
“Ini sepatumu, Cin. Maaf, tengah malam begini aku ke
rumahmu. Tadi aku mencari tahu rumahmu lewat teman-teman kuliah. Malah tadi
sempat nyasar juga. Hehehe…”
TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG.
TENG.
Pukul dua belas malam.
“Cindy… Ehem, kamu mau jadi Cinderella-ku?” ucapnya sambil
bertekuk lutut dengan kedua tangan memegang sepatuku yang tertinggal di kereta
tadi.
Bibit Mawar
Dimana aku?
Terlihat seorang
wanita renta sedang menyirami bunga. Bunga itu berwarna merah. Siapapun yang
melihatnya pasti akan terpesona oleh keindahan warna kelopak bunga itu. Aku pun
mendekati nenek itu.
Belum sampai
aku mendekatinya, perempuan itu sudah membalikkan badan dan menatapku dengan
tatapan yang tajam.
“Eh, saya…”
aku panik.
“Jangan
ganggu bunga mawarku! Tanam dan rawatlah bungamu sendiri!” suara parau nenek
itu membuat telingaku ngilu.
Nenek itu
menyodorkan sebuah bungkusan. Beberapa detik setelah bungkusan itu berada di
tanganku, aku kehilangan keseimbangan
Yang selanjutnya kulihat adalah sinar mentari
yang menerobos jendela kamarku.
***
KRIIIING!
Alarm handphone-ku berdering. Aku bangkit dari
tempat tidur dan merasakan sesuatu di bawah punggungku.
Bungkusan itu?!
***
Ternyata
bibit bunga mawar.
Setelah kurawat
selama berbulan-bulan, mawar itu mulai merekah malu-malu. Penantian itu
terbayar sudah. Mawar merah yang cantik kini menghiasi halaman rumahku.
Meskipun ukurannya masih kecil, tanaman ini terlihat sangat segar dan anggun.
Kalau kamu seorang manusia, pasti aku
akan segera melamarmu… aku bergumam.
***
Dimana aku?
“Hai, Rama…”
suara seorang perempuan mengejutkanku.
“Eh… Kamu…
S-siapa?”
Perempuan bergaun merah itu
tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke arahku.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin ada
makhluk seindah ini di tengah hutan?
“Terima
kasih telah merawatku. Kamu sungguh manusia yang baik hati, Ram.” perempuan itu
tersenyum. Manis sekali.
Aku yang
masih kebingungan kemudian diajak mengelilingi hutan. Ternyata hutan ini tak
seburuk yang kubayangkan. Atau… Karena ada perempuan ini di sampingku?
“Ehem,
ngomong-ngomong namamu siapa?” tanyaku memberanikan diri.
“Mawar.” Jawabnya
sambil tersenyum ke arahku.
Aku
tercekat, menyadari sesuatu yang ganjil di sini.
***
“Ramaaaa!
Bangun!” ibuku berteriak di depan pintu kamarku.
Sial. Ternyata mimpi!
Aku membuka
pintu kamar dengan malas-malasan. Di ruang tamu, ibuku sedang berbicara dengan
seseorang.
“Nah, ini
anak laki-laki saya. Ayo Rama, kenalan dulu…”
Napasku
berhenti ketika mataku bertemu dengan mata indah itu. Perempuan berbaju merah itu tersenyum ke arahku.
Rindu
Rindu tidak pernah sesederhana ini. Bertemu, tertawa
bersama, kemudian saling mengucap sampai bertemu lagi di lain kesempatan.
Tidak. Tidak sesederhana itu.
Apalagi, teruntuk rindu yang telah lama tertahan di
kerongkongan tanpa sanggup kau ucapkan. Yang membuat lidahmu kelu ketika
bertemu langsung dengan sang pelaku. Hatimu luluh, namun senyummu mencoba tetap
memperlihatkan lengkungan terbaiknya.
…karena rindu tidak mengenal kata sederhana.
Rindu yang tak memiliki batas. Hingga pada akhirnya, kau
terpaksa menenggak rindu itu; sendirian.
Karena seseorang di seberang sana—yang kau harapkan akan
membalas rindumu—sedang menikmati rindunya yang lain. Rindu kepada seseorang
yang bukan dirimu.
Apakah rindu yang rumit ini hanya milikku? Atau memang milik
semua insan yang hatinya telah terpaku pada satu tujuan, namun tak tahu arah
kembali?
Ah. Kupikir ‘rindu’ itu hanya sebuah kata lima huruf yang
biasa dijadikan puisi. Tak kusangka akan jadi serumit ini.
Senin, 12 November 2012
Non-stop Writing
Terkadang menulis bukanlah soal ada atau tidaknya inspirasi dan ide. Lihat, aku sedang belajar menulis tanpa mengeditnya terlebih dahulu. Aku menulis ini tanpa berhenti. Aku membiarkan tulisan ini mengalir begitu saja. Jadi, tolong dimaafkan jika tulisan ini sedikit menyimpang.
Entah. Aku ingin menulis dengan merdeka. Aku ingin menemukan gaya tulisanku sedniri. Aku pun sdar, butuh proses dan waktu untuk menemukannya. Maka, yang harus kulakukan adalah berlatih, menulis, menulis, dan menulis.
Sebenarnya setelah ini aku masih ada kelas ITBA, namun apa peduli. datang saja nanti teapt waktu. Parah ya? Padahal ini kan bahasa akhirat. Kenapa jadi seperti ini?
Oh iya, hari ini juga akan terasa sepi sekali... Ah, tapi aku tidak kesepian jika tugas-tugas masih saja menghantuiku. Aku kesepian karena dia tidak berada di fakultas seberang. Dia sedang mengikuti kegiatan di Bogor. Beraharap saja yang terbaik untukmu. Padahal baru kemarin bertemu, tapi stock rindu ini tidak pernah menipis, ya?
Entah. Aku ingin menulis dengan merdeka. Aku ingin menemukan gaya tulisanku sedniri. Aku pun sdar, butuh proses dan waktu untuk menemukannya. Maka, yang harus kulakukan adalah berlatih, menulis, menulis, dan menulis.
Sebenarnya setelah ini aku masih ada kelas ITBA, namun apa peduli. datang saja nanti teapt waktu. Parah ya? Padahal ini kan bahasa akhirat. Kenapa jadi seperti ini?
Oh iya, hari ini juga akan terasa sepi sekali... Ah, tapi aku tidak kesepian jika tugas-tugas masih saja menghantuiku. Aku kesepian karena dia tidak berada di fakultas seberang. Dia sedang mengikuti kegiatan di Bogor. Beraharap saja yang terbaik untukmu. Padahal baru kemarin bertemu, tapi stock rindu ini tidak pernah menipis, ya?
Finally...
Setelah mengirimkan empat flash fiction dan dua micro fiction, akhirnya....
Tiga cerita saya terpilih untuk diterbitkan via nulisbuku.com :')
Terima kasih @NBC_UI telah memberi kesempatan kepada saya dan teman-teman lainnya untuk menerbitkan tulisan kami yang biasanya hanya tersimpan rapi di dalam folder komputer.
Keep Writing and Keep Reading!
Minggu, 11 November 2012
Romantis Itu Kamu
Romantis tidak memerlukan seikat bunga cantik.
Tidak pula memerlukan rangkaian kata-kata yang meluluhkan jiwa.
Romantis itu kamu.
Dengan semua yang melekat pada dirimu.
Kemudian kamu tersenyum...tanpa sebab.
Dan kusadari, senyummu yang seperti itu
hanya untukku seorang.
Tidak pula memerlukan rangkaian kata-kata yang meluluhkan jiwa.
Romantis itu kamu.
Dengan semua yang melekat pada dirimu.
Kemudian kamu tersenyum...tanpa sebab.
Dan kusadari, senyummu yang seperti itu
hanya untukku seorang.
Kamis, 08 November 2012
Selasa, 06 November 2012
Meragukan Tuhan
Suatu malam, aku mendengar dua orang temanku sedang bercakap-cakap.
A: "Ya Tuhan, besok UTS..."
B: "Heh, jangan dikit-dikit ngadu sama Tuhan!"
A: "Loh, kenapa?"
B: "Gak semua hal perlu lo aduin ke Tuhan."
A: "Oh... Gitu ya?"
B: "Iya, lo harus bisa nyelesain masalah sendiri."
Kemudian, aku berpikir. Jika pada Tuhan saja kita ragu, bagaimana
dengan sesama manusia?
A: "Ya Tuhan, besok UTS..."
B: "Heh, jangan dikit-dikit ngadu sama Tuhan!"
A: "Loh, kenapa?"
B: "Gak semua hal perlu lo aduin ke Tuhan."
A: "Oh... Gitu ya?"
B: "Iya, lo harus bisa nyelesain masalah sendiri."
Kemudian, aku berpikir. Jika pada Tuhan saja kita ragu, bagaimana
dengan sesama manusia?
Sabtu, 03 November 2012
Semangkuk Bubur Kacang Hijau
Tidak ada yang berani mengakhiri semua ini. Ketika kau
membisu selama seminggu ini. Ketika tak ada hal yang dapat kulakukan selain
menjagamu dengan sebaik mungkin…
“Kamu mau makan apa nanti malam?” tanyaku.
Tidak ada jawaban.
“Mas, mau makan apa? Nanti aku masakin deh…”
“Nggak usah.” jawabmu. Singkat.
Aku tertegun. Marahkah
kau padaku?
Aku mencoba menghapus semua pikiran burukku. Aku bergegas
menuju dapur, ingin membuatkan sesuatu yang dapat menghangatkan perutmu di
malam yang dingin ini.
Semangkuk bubur kacang hijau. Akumenghirup aromanya sambil
tersenyum penuh harap. Semoga Mas Didit
suka…
Baru saja aku membalikkan tubuh, lelaki berkumis tipi situ sudah
berada tepat di hadapanku.
“Eh, Mas… Ini…”
“Mengapa kamu melakukan semua ini?” tanyamu.
“Aku? Apa, Mas?”
“Kamu tahu kan, aku berselingkuh dengan rekan kerjaku. Aku tahu
kau menangis di balik selimut ketika aku pulang. Aku tahu kau tak lagi menuntut
apa-apa dariku, bahkan hanya untuk sebuah pelukan. Kau tidak membutuhkanku
lagi?”
“Mas… Aku—“ tenggorokanku terasa nyeri.
“Aku telah memperlakukanmu dengan jahat. Jahat sekali. Kenapa
kau tidak membalasnya? Kenapa kau tetap membuatkanku bubur kacang hijau
kesukaanku?” matamu berkaca-kaca.
Aku gemetar. Kau tidak
jahat, Mas… Aku yang jahat…
“Rekan kerjamu itu adalah temanku. Aku menyuruhnya untuk
menggodamu. Aku ingin tahu seberapa besar kesetiaanmu padaku, Mas…” kataku
sambil terisak.
“Lalu?”
“Aku tahu kau tidak akan melakukan ini semua. Kau pasti
menolaknya. Kau tidak berselingkuh. Hanya aku yang meragukan kesetiaanmu, Mas.
Maafkan aku…”
Sesuatu yang hangat meraih pundakku. Memelukku erat dan
diakhiri dengan sebuah kecupan lembut di keningku.
“Tidak perlu meminta maaf lagi. Lupakanlah semua itu.
Istriku tersayang, ayo kita habiskan semangkuk bubur kacang hijau ini. Berdua.”
sebuah senyum mengembang di bibirmu.
Aku mengangguk, meraih tangan kananmu. Hangat.
Aku tahu, tak seharusnya aku meragu pada lelaki yang
berhasil mengunci hatiku ini.
Undanganmu
Apa yang lebih rumit dari ini? Aku mencintaimu, kau tahu
itu. Matamu juga tak mampu menghindar ketika kutawarkan senyum terindah yang
kumiliki. Kau bilang, senyumku menjadi pelangi di langitmu yang kelabu.
Semua baik-baik saja, bahkan kita semakin dekat. Jarak bukanlah
suatu masalah, karena cinta dapat menembus batas-batas yang tak terjangkau oleh
manusia. Kita rutin bertemu di sebuah kafe kecil di kawasan Jakarta Selatan. Paling
tidak, sehari dalam seminggu, rinduku terobati. Kau adalah obat dari segala
penyakit hati yang kuderita.
Sore itu, aku memberanikan diri mencari sebuah kepastian
atas ikatan kita selama ini.
“Far, aku tidak mau lagi menunggu satu hari dalam seminggu
ini untuk menemuimu.” ujarku.
Kamu terkejut, “Maksudmu?”
Aku menunjukkan sebuah scrapbook
yang telah kubuat dengan perjuangan begadang selama dua minggu penuh. Di buku
itu berisi semua kenangan tentang pertemanan kita sejak awal SMA. Foto ketika
kau dihukum karena membantah ketika MOS, tiket bioskop yang kita tonton saat kenaikan
kelas 3 SMA, catatan-catatan serta puisiku yang semuanya ditujukan untukmu.
“Rey…” bisikmu. Matamu berkaca-kaca ketika menutup scrapbook itu.
“Jadi, Farah… Apakah kamu mau—“
“Rey, aku sudah dilamar. Bulan depan aku akan menikah,”
seketika airmata menetes di kedua pipimu.
Aku tidak sakit. Tidak. Aku hanya… Mati rasa.
“Datanglah. Maafkan aku…” katamu, lirih. Sebuah undangan
berwarna abu-abu tergeletak di hadapanku.
Ya, abu-abu. Tidak hitam, tidak pula putih. Tidak sakit,
tidak pula bahagia. Aku menggantungkan perasaanku pada langit senja yang
menawan.
Aku terlambat.
Perpustakaan Punya Cerita
Kamu lagi.
Mengamati deretan buku-buku itu.
Seperti hendak mencari sebuah
buku
Mungkin yang kamu cari
Tidak ada di situ
Melainkan
di genggamanku
Ini aku (lagi)
yang hanya berani
Menyelinap di balik
deretan buku-buku
Mengagumimu
sesederhana itu.
Mengamati deretan buku-buku itu.
Seperti hendak mencari sebuah
buku
Mungkin yang kamu cari
Tidak ada di situ
Melainkan
di genggamanku
Ini aku (lagi)
yang hanya berani
Menyelinap di balik
deretan buku-buku
Mengagumimu
sesederhana itu.
Jatuh Cinta
Ada sesuatu yang kau ucapkan dengan polos. Aku menutup mulut, menahan tawa yang hendak meledak. Kamu menatapku; memasang wajah kebingungan dengan mengernyitkan kedua alismu.
Ternyata jatuh cinta itu sesederhana ini...
Ternyata jatuh cinta itu sesederhana ini...
Kamis, 01 November 2012
Pengkhianatan Sederhana
Pagi ini, harusnya aku menerima sebuah ucapan selamat pagi
dan secangkir teh manis hangat darimu
sementara kamu menyiapkan sarapan untukku,
mataku akan terpaku memandangi lengkung bibirmu
sepasang mata yang teduh
lalu tersajilah sepiring nasi goreng sederhana buatanmu
tanpa bumbu penyedap
yang terasa nikmat karena cinta
Siang ini, harusnya kamu meneleponku
sekadar bertanya tentang pekerjaanku
sudahkah aku makan siang
atau bercerita tentang hal konyol yang berujung pada kalimat:
aku mencintaimu
Sore ini, harusnya kamu membukakan pintu rumah untukku
menyambut dengan sebuah kecupan lembut di punggung tanganku
dan kemudian lelahku sirna
setelah meneguk segelas es sirup buatanmu
yang sederhana
es sirup rasa cinta
Malam ini, harusnya kamu menyandarkan kepalamu di bahuku
menikmati semilir angin malam
di teras rumah kita
yang sederhana
beratap kesetiaan
berdinding kasih sayang
lalu, sayup-sayup kamu mulai bernyanyi
mengantarkanku pada dunia yang penuh kedamaian
dan arti "selamanya" bersamamu
Ya, seharusnya seperti itu
sebelum kamu melihat seorang lelaki
sedang memelukku
mengecup keningku
dan sejak saat itu
kamu tidak kembali pulang
ke rumah kita
yang sederhana
dan secangkir teh manis hangat darimu
sementara kamu menyiapkan sarapan untukku,
mataku akan terpaku memandangi lengkung bibirmu
sepasang mata yang teduh
lalu tersajilah sepiring nasi goreng sederhana buatanmu
tanpa bumbu penyedap
yang terasa nikmat karena cinta
Siang ini, harusnya kamu meneleponku
sekadar bertanya tentang pekerjaanku
sudahkah aku makan siang
atau bercerita tentang hal konyol yang berujung pada kalimat:
aku mencintaimu
Sore ini, harusnya kamu membukakan pintu rumah untukku
menyambut dengan sebuah kecupan lembut di punggung tanganku
dan kemudian lelahku sirna
setelah meneguk segelas es sirup buatanmu
yang sederhana
es sirup rasa cinta
Malam ini, harusnya kamu menyandarkan kepalamu di bahuku
menikmati semilir angin malam
di teras rumah kita
yang sederhana
beratap kesetiaan
berdinding kasih sayang
lalu, sayup-sayup kamu mulai bernyanyi
mengantarkanku pada dunia yang penuh kedamaian
dan arti "selamanya" bersamamu
Ya, seharusnya seperti itu
sebelum kamu melihat seorang lelaki
sedang memelukku
mengecup keningku
dan sejak saat itu
kamu tidak kembali pulang
ke rumah kita
yang sederhana
Langganan:
Postingan (Atom)