Pelangi.
Kamu memandanginya dengan penuh kekaguman. Berlari sambil
berteriak kegirangan padaku, “Lihat, Jo! Ada pelangi di sana!”. Lalu, aku akan
tersenyum sambil berlari mengikutimu dari belakang.
Rambutmu yang panjang terurai menerpa wajahku. Apa daya? Aku
selalu jatuh cinta pada senyummu yang mengembang setiap kali ada pelangi. Ah,
bukan. Lebih tepatnya, bukan hanya saat kamu memandang pelangi. Namun di setiap
saat; di setiap lengkung senyummu, ada aku yang setia mengaguminya.
“Mir, kenapa kamu suka pelangi?” tanyaku sore itu, ketika
kamu sibuk menggambar pelangi di buku catatanmu.
“Hmm, kenapa, ya? Karena pelangi itu nggak bisa kita jumpai
setiap saat, Jo.”
“Jadi, kamu selalu suka pada hal yang tidak sering kamu
jumpai?” tanyaku lagi.
“Nggak juga, sih. Pelangi itu punya daya magis. Seakan
perpaduan warnanya membuat mataku terpaku dan nggak bisa lepas. Dia indah,
nggak akan pernah bikin perasaan kita sakit…”
Aku meluruskan kedua kakiku. Mataku tak lepas mengamatinya
berbicara.
“Mira…”
“Kenapa, Jo?”
“Aku mau jadi hujan.”
“Loh, kenapa?”
“Karena tanpa hujan, nggak akan ada pelangi. Aku rela jadi
apa pun asal bikin kamu bahagia.”
“Jovana, you’re so
sweet! Karena kita sahabatan, kan?” kamu memelukku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
“Bukan. Karena aku mencintai kamu, Mira.” bisikku sambil membelai rambut indahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar