Pukul 08.14
“What?!” aku melompat turun dari tempat tidurku.
Ketika aku menyikat gigi, handphone-ku tak henti-hentinya berdering. Nama yang muncul di
layar handphone membuatku ingin
segera terbang melesat menuju kantor. Detik ini juga.
Pukul 08.55
Akhirnya kereta itu datang juga. Dengan perasaan yang
meledak-ledak setelah mengangkat telepon dari Boss, aku mencoba tetap tenang di kereta.
“Berkasnya kan ada di
kamu! Kalau dalam tiga puluh menit kamu belum sampai ke sini, jangan harap saya
akan mengangkatmu menjadi pegawai tetap!” ancam Bu Diana, Manajer di
tempatku bekerja.
Tetiba seorang pria menepuk pundakku.
“Cindy?” matanya mengamati wajahku.
Aku berpikir cepat. “Randy?”
Kepanikanku runtuh sudah. Pria itu mengembangkan senyum di
wajahnya. Hatiku meleleh. Lebih tepatnya, selalu meleleh. Tidak berubah, sejak
aku mengenalnya di kampus, tiga tahun yang lalu.
“Kamu kerja? Turun di stasiun mana?” tanyaku.
“Stasiun Cikini. Kamu?”
“Oh… Manggarai.” Jawabku ringan.
“Apa? Ini kan Stasiun Manggarai…”
Kepanikanku kembali muncul. Kurasakan kereta mulai berjalan
lagi.
“Permisi!! Permisi!! Saya harus turun!!” aku menerobos
penumpang lainnya, menuju pintu keluar kereta.
“Aaaaargh!” akhirnya aku berhasil keluar dari kereta itu.
Aku setengah berlari untuk menghampiri ojek di area stasiun.
Kemudian, kusadari ada yang ganjil dengan penampilanku.
Sepatuku. Tinggal satu.
Pukul 20.00
Aku pulang dengan mengenakan sepasang sandal pinjaman
temanku di kantor. Aku memaki diriku yang tidak menyadari sepatuku terlepas di
dalam kereta.
Dan terlintas di benakku, bahwa aku tadi belum berpamitan
pada Randy! Bahkan, belum bertanya apa pun selain stasiun tujuannya. Lagi-lagi
aku merasa bodoh. Setelah kehilangan jejaknya selama berbulan-bulan, Randy yang
tadi ada di hadapan mata telah kusia-siakan. Malam itu, rasanya aku ingin
menangis di balik selimut. Mengutuki diriku yang tak henti-hentinya membuat
kecerobohan.
Pukul 11.51
Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Ada yang mau ketemu kamu. Duh, malam-malam begini…” kata
Mama ketika aku membuka pintu.
Aku menuju teras untuk melihat siapa yang ingin menemuiku di
tengah malam begini.
Randy?
“Ini sepatumu, Cin. Maaf, tengah malam begini aku ke
rumahmu. Tadi aku mencari tahu rumahmu lewat teman-teman kuliah. Malah tadi
sempat nyasar juga. Hehehe…”
TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG.
TENG.
Pukul dua belas malam.
“Cindy… Ehem, kamu mau jadi Cinderella-ku?” ucapnya sambil
bertekuk lutut dengan kedua tangan memegang sepatuku yang tertinggal di kereta
tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar