Tidak ada yang berani mengakhiri semua ini. Ketika kau
membisu selama seminggu ini. Ketika tak ada hal yang dapat kulakukan selain
menjagamu dengan sebaik mungkin…
“Kamu mau makan apa nanti malam?” tanyaku.
Tidak ada jawaban.
“Mas, mau makan apa? Nanti aku masakin deh…”
“Nggak usah.” jawabmu. Singkat.
Aku tertegun. Marahkah
kau padaku?
Aku mencoba menghapus semua pikiran burukku. Aku bergegas
menuju dapur, ingin membuatkan sesuatu yang dapat menghangatkan perutmu di
malam yang dingin ini.
Semangkuk bubur kacang hijau. Akumenghirup aromanya sambil
tersenyum penuh harap. Semoga Mas Didit
suka…
Baru saja aku membalikkan tubuh, lelaki berkumis tipi situ sudah
berada tepat di hadapanku.
“Eh, Mas… Ini…”
“Mengapa kamu melakukan semua ini?” tanyamu.
“Aku? Apa, Mas?”
“Kamu tahu kan, aku berselingkuh dengan rekan kerjaku. Aku tahu
kau menangis di balik selimut ketika aku pulang. Aku tahu kau tak lagi menuntut
apa-apa dariku, bahkan hanya untuk sebuah pelukan. Kau tidak membutuhkanku
lagi?”
“Mas… Aku—“ tenggorokanku terasa nyeri.
“Aku telah memperlakukanmu dengan jahat. Jahat sekali. Kenapa
kau tidak membalasnya? Kenapa kau tetap membuatkanku bubur kacang hijau
kesukaanku?” matamu berkaca-kaca.
Aku gemetar. Kau tidak
jahat, Mas… Aku yang jahat…
“Rekan kerjamu itu adalah temanku. Aku menyuruhnya untuk
menggodamu. Aku ingin tahu seberapa besar kesetiaanmu padaku, Mas…” kataku
sambil terisak.
“Lalu?”
“Aku tahu kau tidak akan melakukan ini semua. Kau pasti
menolaknya. Kau tidak berselingkuh. Hanya aku yang meragukan kesetiaanmu, Mas.
Maafkan aku…”
Sesuatu yang hangat meraih pundakku. Memelukku erat dan
diakhiri dengan sebuah kecupan lembut di keningku.
“Tidak perlu meminta maaf lagi. Lupakanlah semua itu.
Istriku tersayang, ayo kita habiskan semangkuk bubur kacang hijau ini. Berdua.”
sebuah senyum mengembang di bibirmu.
Aku mengangguk, meraih tangan kananmu. Hangat.
Aku tahu, tak seharusnya aku meragu pada lelaki yang
berhasil mengunci hatiku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar