Apa yang lebih rumit dari ini? Aku mencintaimu, kau tahu
itu. Matamu juga tak mampu menghindar ketika kutawarkan senyum terindah yang
kumiliki. Kau bilang, senyumku menjadi pelangi di langitmu yang kelabu.
Semua baik-baik saja, bahkan kita semakin dekat. Jarak bukanlah
suatu masalah, karena cinta dapat menembus batas-batas yang tak terjangkau oleh
manusia. Kita rutin bertemu di sebuah kafe kecil di kawasan Jakarta Selatan. Paling
tidak, sehari dalam seminggu, rinduku terobati. Kau adalah obat dari segala
penyakit hati yang kuderita.
Sore itu, aku memberanikan diri mencari sebuah kepastian
atas ikatan kita selama ini.
“Far, aku tidak mau lagi menunggu satu hari dalam seminggu
ini untuk menemuimu.” ujarku.
Kamu terkejut, “Maksudmu?”
Aku menunjukkan sebuah scrapbook
yang telah kubuat dengan perjuangan begadang selama dua minggu penuh. Di buku
itu berisi semua kenangan tentang pertemanan kita sejak awal SMA. Foto ketika
kau dihukum karena membantah ketika MOS, tiket bioskop yang kita tonton saat kenaikan
kelas 3 SMA, catatan-catatan serta puisiku yang semuanya ditujukan untukmu.
“Rey…” bisikmu. Matamu berkaca-kaca ketika menutup scrapbook itu.
“Jadi, Farah… Apakah kamu mau—“
“Rey, aku sudah dilamar. Bulan depan aku akan menikah,”
seketika airmata menetes di kedua pipimu.
Aku tidak sakit. Tidak. Aku hanya… Mati rasa.
“Datanglah. Maafkan aku…” katamu, lirih. Sebuah undangan
berwarna abu-abu tergeletak di hadapanku.
Ya, abu-abu. Tidak hitam, tidak pula putih. Tidak sakit,
tidak pula bahagia. Aku menggantungkan perasaanku pada langit senja yang
menawan.
Aku terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar