Di bawah sinar rembulan
temui aku di pintu hatimu
dan sang rembulan akan menatap iri pada kita
kemudian, bintang-bintang semakin terang
menyinari langit malam
kau dan aku
saling bertukar sapa melalui tatapan mata
rindumu terbaca, sayang.
Puisi berantai perdana, tercipta di malam hari yang sunyi.
Jumat, 26 Oktober 2012
Untitled
Bagian dalam hidupku yang mana lagi yang tidak sesuai dengan
ideologimu? Haruskah aku mendengar dan mengubah apa yang telah
kuyakini benar, hanya demi sebuah kehormatan?
Omong kosong dengan semua itu. Tak kupahami, apa yang telah merasuk ke
dalam pikiranmu? Merasa menjadi makhluk Maha Benar di alam semesta?
Aku memiliki jalur hidupku sendiri yang tak perlu repot-repot kau
banjiri dengan berbagai komentar.
"...Mereka terlahir melalui engkau, tetapi bukan darimu
meskipun mereka ada bersamamu, mereka bukan milikmu
pada mereka, engkau dapat memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu
karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri..."
-Kahlil Ghibran-
ideologimu? Haruskah aku mendengar dan mengubah apa yang telah
kuyakini benar, hanya demi sebuah kehormatan?
Omong kosong dengan semua itu. Tak kupahami, apa yang telah merasuk ke
dalam pikiranmu? Merasa menjadi makhluk Maha Benar di alam semesta?
Aku memiliki jalur hidupku sendiri yang tak perlu repot-repot kau
banjiri dengan berbagai komentar.
"...Mereka terlahir melalui engkau, tetapi bukan darimu
meskipun mereka ada bersamamu, mereka bukan milikmu
pada mereka, engkau dapat memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu
karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri..."
-Kahlil Ghibran-
Kamis, 25 Oktober 2012
Dunia Perkuliahan di Mata Saya
Tanpa terasa, UTS sudah mendatangi gue satu per satu. Gue sebagai mahasiswi baru yang masih unyu polos serta lucu ini, hanya dapat berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melewati semua "cobaan" dari kampus ini.
Sastra Indonesia.
"Paling mentok-mentok jadi guru!"
Gue paling benci kata-kata itu. TERUS? Kalau gue jadi guru, artinya itu udah kepentok? Cih.
Setiap orang punya pilihan, ada yang memang terlahir dengan memiliki bakat mencintai dunia pendidikan (pastinya bukan gue), bakat memasak, bakat jahil, bakat melawak, dan... Bakat menulis.
Eitss, menulis? Bakat?
Hmm, sebenarnya nggak juga.
Menulis bukan bakat, tetapi tekad. Ya, kalau lo memiliki tekad yang kuat untuk menulis, juga nggak pernah menyerah untuk selalu menulis, menulis, menulis... Pasti bisa!
Di sini, gue mau berbagi cerita tentang dunia perkuliahan yang... Keras! *gigit-gigit batok kelapa*
Ini serius, ya. *benerin posisi duduk*
Ketika lo diterima di PTN, pasti rasa bangga langsung menyelimuti lo dan sekeluarga besar lo. Nggak masalah.
Ketika lo mulai dihadapkan dengan kegiatan ospek, pasti berbagai keluhan mulai datang. "Gue belum mandi dari pagi sampe malem, disuruh nyebur danau, make up luntur... OMG!"
Ketika lo dihadapkan dengan....... *jeng-jeng-jeng*
KULIAH YANG SEBENARNYA.
Seakan di pintu masuk kampus lo terpampang baliho raksasa bertuliskan:
"Welcome to the jungle!"
Ini fakta, Bung.
Jangan harap, kalau lo telat, bakal ada yang menghukum lo lari keliling lapangan terus baru diizinin masuk kelas.
Jangan harap.
Lo telat masuk kelas pas kuliah? Hanya ada dua pilihan.
Pertama, dosennya emang lagi baik dan lo diizinin masuk biarpun udah telat 2 jam. Kedua, lo gak dibukain pintu. Selesai.
Pas udah kuliah, lo mau ke kampus dengan baju paling gembel yang lo punya, sepatu paling butut, maupun rambut yang udah kayak Wiro Sableng sekalipun... Nggak ada yang akan marahin lo. Di sini nggak ada guru BK, cuy.
Bukan cuma sekadar itu. Yang paling terlihat di sini adalah pergaulannya.
Pertama kali, gue shock parah dengan banyaknya mahasiswi yang ngerokok. Secara, di fakultas gue itu nggak termasuk kawasan bebas asap rokok. Lama-lama gue mulai ngerti kenapa mereka yang notabene adalah perempuan, memilih merokok sebagai jalan hidupnya.
Pergaulan, Bro.
Suka nongkrong, ngobrol-ngobrol, ditawarin ini, itu... Dan, BLAM!
Semudah itu.
Gue bukanlah mahasiswi yang niat kuliah cuma untuk belajar doang. Tapi gue juga bukan mahasiswi yang niat kuliah cuma sekadar untuk organisasi, nongkrong, dll.
Gue pengen bisa seimbang di antara keduanya.
Karena gue masuk jurusan ini atas pilihan gue sendiri, maka gue juga udah memperhitungkan segalanya dengan lumayan baik. Ilmu yang gue dapat di kuliah ini, akan sangat sangat membantu kehidupan dunia kepenulisan gue. Di sini, gue juga dapet kenalan banyak teman yang bisa "searah" sama gue. Gabung di komunitas menulis dan komunitas sastra.
Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, nggak ada yang bisa maksa diri lo kecuali hati kecil lo sendiri.
Semoga tulisan gue ini bermanfaat untuk kalian-kalian yang akan masuk ke dunia perkuliahan.
Good luck, ya! Semangat belajar :)
Salam unyu,
Dhilla, mahasiswi Prodi Indonesia UI 2012
Anniversary
Dinginnya hembusan angin malam tak menyurutkan niatku untuk menemuimu
malam ini. Aku terlanjur menumpuk rindu ini hingga membatu dan tak
mudah dihancurkan. Kau, alasan sederhana dibalik kerinduan ini.
Tidak ada pertemuan yang terencana. Namun, aku yakin malam ini kau
akan datang ke tempat ini. Tempat yang telah menjadi saksi sejarah
hubungan dua orang manusia yang saling mencinta dan memuja keindahan
tempat ini.
Ah, benar saja. Kulihat seorang pria berkacamata yang berkumis tipis
turun dari sepeda motornya. Itu... Kau. Aku mengucek mata untuk
memastikannya. Benar. Kamu datang malam ini.
Kamu mengambil posisi duduk menghadap ke arah laut. Itu adalah tempat
favorit kita, bukan?
Kemudian kamu mengeluarkan satu buket bunga lily dari dalam tas
jinjingmu. Kamu memandanginya lekat sambil tersenyum tipis. Apakah...
Itu untukku? Kini aku mulai salah tingkah.
Ya, aku tahu malam ini kau akan datang. Setiap tahun, di tanggal yang
sama. Kau selalu setia menikmati debur ombak di malam hari, menikmati
semilir angin yang menerpa wajahmu... Ah, rinduku mulai terobati,
Sayang.
Baru saja aku ingin menghampirimu, sebelum akhirnya seorang wanita
yang tampak anggun dengan dress-nya yang berwarna putih sudah terlebih
dahulu melambaikan tangan ke arahmu.
Siapa dia?
"Kau cantik sekali malam ini, Ly..." ucapmu, sambil menyerahkan buket
bunga yang telah kau siapkan.
"Terima kasih, Mas. Bunga ini indah sekali." wanita itu memandang
kagum pada rangkaian bunga yang ada di tangannya.
Aku belum mengerti. Bukankah selama ini... Kamu selalu datang sendiri
di tanggal pernikahan kita?
"Mbak Nia pasti bahagia pernah memiliki suami sepertimu, Mas." bisik wanita itu.
"Ya, dan sekarang dia juga akan bahagia melihat ada wanita yang
mencintaiku setulus cintanya." katamu, sambil meraih jemari wanita itu
dan kau genggam dengan erat.
Bahagia?
Aku mencoba merapikan harapan-harapan yang telah terangkai. Aku
terisak sambil menuju ke arah laut. Menghilang di antara deburan ombak
yang membisu.
"Ly, kamu lihat itu?!"
"Apa, Mas?"
"Sesosok bayangan mirip almarhumah istriku."
malam ini. Aku terlanjur menumpuk rindu ini hingga membatu dan tak
mudah dihancurkan. Kau, alasan sederhana dibalik kerinduan ini.
Tidak ada pertemuan yang terencana. Namun, aku yakin malam ini kau
akan datang ke tempat ini. Tempat yang telah menjadi saksi sejarah
hubungan dua orang manusia yang saling mencinta dan memuja keindahan
tempat ini.
Ah, benar saja. Kulihat seorang pria berkacamata yang berkumis tipis
turun dari sepeda motornya. Itu... Kau. Aku mengucek mata untuk
memastikannya. Benar. Kamu datang malam ini.
Kamu mengambil posisi duduk menghadap ke arah laut. Itu adalah tempat
favorit kita, bukan?
Kemudian kamu mengeluarkan satu buket bunga lily dari dalam tas
jinjingmu. Kamu memandanginya lekat sambil tersenyum tipis. Apakah...
Itu untukku? Kini aku mulai salah tingkah.
Ya, aku tahu malam ini kau akan datang. Setiap tahun, di tanggal yang
sama. Kau selalu setia menikmati debur ombak di malam hari, menikmati
semilir angin yang menerpa wajahmu... Ah, rinduku mulai terobati,
Sayang.
Baru saja aku ingin menghampirimu, sebelum akhirnya seorang wanita
yang tampak anggun dengan dress-nya yang berwarna putih sudah terlebih
dahulu melambaikan tangan ke arahmu.
Siapa dia?
"Kau cantik sekali malam ini, Ly..." ucapmu, sambil menyerahkan buket
bunga yang telah kau siapkan.
"Terima kasih, Mas. Bunga ini indah sekali." wanita itu memandang
kagum pada rangkaian bunga yang ada di tangannya.
Aku belum mengerti. Bukankah selama ini... Kamu selalu datang sendiri
di tanggal pernikahan kita?
"Mbak Nia pasti bahagia pernah memiliki suami sepertimu, Mas." bisik wanita itu.
"Ya, dan sekarang dia juga akan bahagia melihat ada wanita yang
mencintaiku setulus cintanya." katamu, sambil meraih jemari wanita itu
dan kau genggam dengan erat.
Bahagia?
Aku mencoba merapikan harapan-harapan yang telah terangkai. Aku
terisak sambil menuju ke arah laut. Menghilang di antara deburan ombak
yang membisu.
"Ly, kamu lihat itu?!"
"Apa, Mas?"
"Sesosok bayangan mirip almarhumah istriku."
Rabu, 24 Oktober 2012
Kicauan 140 Karakter
Siapa yang tidak mengenal Twitter? Sebuah situs microblogging yang menjamur di seluruh belahan dunia. Meskipun di situs ini tulisan kita dibatasi oleh 140 karakter, namun penggunanya terus meningkat seiring berkembangnya teknologi informasi. Twitter kini telah menjadi media sosial yang dikenal mulai dari kalangan remaja ABG hingga pejabat pemerintahan. Semua orang tidak ingin ketinggalan informasi yang fresh dari Twitter ini.
Pada awalnya, ide Twitter yaitu agar individu bisa menggunakan SMS layanan untuk berkomunikasi dengan kelompok yang lebih kecil. Kemudian, popularitas Twitter mendongkrak pada tahun 2007, dalam festival South by Southwest (SXSW). Selama acara tersebut berlangsung, penggunaan Twitter meningkat dari 20.000 kicauan per hari menjadi 60.000. Reaksi pengguna Twitter di festival itu sangat positif.
Tulisan yang dipublikasikan melalui Twitter disebut tweet (kicauan). Kita dapat menulis opini, berita, pesan kepada orang lain, maupun menjadikannya sebagai buku harian online. Namun, setiap tweet terbatas pada 140 karakter, sehingga menuntut penggunanya untuk dapat memanfaatkan keterbatasan karakter tersebut seefektif mungkin. Bagi sebagian penggunanya, keterbatasan ini juga melatih penggunaan kalimat efektif dalam penulisan. Namun, hal ini juga menyebabkan penggunaan kata-kata yang disingkat, sehingga sering terjadi kesalahpahaman antara penulis dan pembaca.
Tweet seseorang bebas dipublikasikan dan dibaca oleh semua pengguna Twitter, kecuali jika si pengguna mem-protect akunnya, maka tweet-nya hanya akan dapat dilihat oleh followers-nya. Follower (pengikut) adalah akun orang lain yang menjadikan kita sebagai teman di Twitter. Sedangkan following adalah akun orang lain yang ingin kita jadikan sebagai teman. Jika jumlah followers-nya banyak, menunjukkan bahwa si penulis itu memiliki tweet yang berkualitas.
Karena dianggap lebih praktis dibandingkan dengan media jejaring sosial lainnya, maka Twitter lebih dipilih sebagai media komunikasi. Dapat kita ambil contoh, situs berita “Detik News” selain menggunakan blog sebagai tempat update berita terkini, juga memanfaatkan Twitter sebagai media penyampaian berita yang ter-update. Pejabat pemerintahan seperti Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika) juga tak ingin ketinggalan. Ia sering menuliskan berbagai informasi mengenai perkembangan teknologi dan informasi di akunnya tersebut.
Bagi Anda yang telah memiliki akun Twitter, istilah mention, retweet, dan direct message tentu sudah tidak asing lagi. Jika kita ingin menyampaikan pesan pada orang lain, cukup sertakan username orang tersebut dan Anda sudah mengirimkan mention kepadanya. Pesan ini akan dapat dibaca oleh seluruh followers Anda. Namun jika ingin mengirimkan pesan secara pribadi, Anda cukup mengirimkan direct message kepada orang tersebut. Selain dapat mengirim dan menerima pesan, Twitter juga memfasilitasi penggunanya dengan istilah retweet, yaitu mengopi tweet penulis lain, namun masih menyertakan akun penulis aslinya, sehingga tidak melanggar hak cipta sang penulis.
Twitter selain digunakan sebagai media komunikasi juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengembangkan bakat dan minat. Jika Anda hobi menulis, Anda dapat berlatih menulis dengan Twitter. Karena “kicauan” Anda terbatas pada 140 karakter, maka Anda akan terbiasa menulis sesuatu dengan to the point, tanpa menghilangkan gagasan utama dari tulisan Anda tersebut. Di masa kini, Twitter juga kerap kali digunakan sebagai media online shop yang memposting foto barang-barang yang mereka jual.
Panggilan Untukmu
Namaku Gusti Pradana Mulya Kusumadiningrat. Kebanyakan orang memanggilku Gusti. Namun, tidak denganmu. Kamu selalu punya nama yang berbeda untukku.
Di awal perkenalan kita, kamu dengan santainya mengajukan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan.
"Kupanggil Gusgus saja, ya?"
Kemudian, pada pertemuan kita selanjutnya, kamu berkata bahwa nama Gusgus kurang enak didengar. Dan lagi, kau ajukan pertanyaan itu.
"Kupanggil Pradan saja, ya?"
Kali ini kubalas dengan anggukan kecil dan sebuah senyuman untukmu.
Kalau saja kau menyadarinya...
Namamu Ratu Anggita. Orang-orang sering memanggilmu Anggi. Namun, tidak denganku. Meskipun aku tetap memanggilmu "Anggi", hatiku punya nama spesial untukmu.
Ratu. Ya, kamulah ratu penguasa hati dan pikiranku.
Pada suatu senja di sebuah kafe kecil di kawasan Depok, kita sedang menikmati kebersamaan dalam diam. Kemudian, suaramu yang merdu memecah dinding kekakuan di antara kita.
"Pradan, apa kamu tidak suka dengan nama panggilan dariku?"
"Suka kok. Kenapa, Nggi?"
"Mm... Gak papa sih." jawabmu ragu.
Aku bisa membaca matamu yang gugup saat berbicara padaku. Mungkin, begitupun dengan aku. Beberapa menit berlalu dalam diam. Kamu sedang memainkan sedotan di dalam gelas jus milikmu.
Kurogoh saku celanaku. Sebuah kotak kecil berwarna merah tampak begitu berat bagiku.
"Nggi..." panggilku.
"Ya?"
"Aku punya nama panggilan baru untukmu. Tapi, itu kalau kamu mengizinkannya..."
"Apa?" tanyamu, antusias sekali.
Tanpa ragu, kutunjukkan kotak kecil berisi sepasang cincin indah itu.
"Aku ingin memanggilmu... Istriku." ucapku, mantap.
Kamu terpaku. Matamu tampak berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian, jari-jari lentikmu sudah berada di sela-sela jemariku.
Aku menganggap itu sebagai jawaban.
Di awal perkenalan kita, kamu dengan santainya mengajukan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan.
"Kupanggil Gusgus saja, ya?"
Kemudian, pada pertemuan kita selanjutnya, kamu berkata bahwa nama Gusgus kurang enak didengar. Dan lagi, kau ajukan pertanyaan itu.
"Kupanggil Pradan saja, ya?"
Kali ini kubalas dengan anggukan kecil dan sebuah senyuman untukmu.
Kalau saja kau menyadarinya...
Namamu Ratu Anggita. Orang-orang sering memanggilmu Anggi. Namun, tidak denganku. Meskipun aku tetap memanggilmu "Anggi", hatiku punya nama spesial untukmu.
Ratu. Ya, kamulah ratu penguasa hati dan pikiranku.
Pada suatu senja di sebuah kafe kecil di kawasan Depok, kita sedang menikmati kebersamaan dalam diam. Kemudian, suaramu yang merdu memecah dinding kekakuan di antara kita.
"Pradan, apa kamu tidak suka dengan nama panggilan dariku?"
"Suka kok. Kenapa, Nggi?"
"Mm... Gak papa sih." jawabmu ragu.
Aku bisa membaca matamu yang gugup saat berbicara padaku. Mungkin, begitupun dengan aku. Beberapa menit berlalu dalam diam. Kamu sedang memainkan sedotan di dalam gelas jus milikmu.
Kurogoh saku celanaku. Sebuah kotak kecil berwarna merah tampak begitu berat bagiku.
"Nggi..." panggilku.
"Ya?"
"Aku punya nama panggilan baru untukmu. Tapi, itu kalau kamu mengizinkannya..."
"Apa?" tanyamu, antusias sekali.
Tanpa ragu, kutunjukkan kotak kecil berisi sepasang cincin indah itu.
"Aku ingin memanggilmu... Istriku." ucapku, mantap.
Kamu terpaku. Matamu tampak berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian, jari-jari lentikmu sudah berada di sela-sela jemariku.
Aku menganggap itu sebagai jawaban.
Selasa, 23 Oktober 2012
Pergi
Asap kebencian
Menyeruak ke dalam paru-paru
Menembus rongga kehampaan
Dalam jiwa
Bertahan di antara
Ratusan, ribuan, jutaan
Bayangan semu tentang
Arti kehidupan
Kemudian aku memilih
Melayang; terbang
Tak terjangkau
Sekalipun oleh pelukanmu
Senin, 22 Oktober 2012
Sebaris Pelangi
Aku menatap hampa pada sebaris pelangi yang berada di langit sore itu.
"Andai saat ini ada kamu di sampingku…" kataku, lirih.
Mataku menyapu seluruh taman ini. "Taman Cerita", katamu waktu itu.
Ya, tempat kita menghabiskan waktu selepas sekolah. Aku akan setia menatap matamu yang bersemangat itu dengan perasaan kagum. Dan kamu akan setia dengan cerita-ceritamu yang tidak pernah berganti sejak awal pertemuan kita, Si itik buruk rupa.
"Mengapa aku berbeda?" tanyamu di suatu pagi.
"Apa?" aku mengalihkan pandanganku dari novel yang sedang kubaca.
"Seperti itik itu, kenapa aku berbeda?"
Aku tertegun.
"Panji kenapa nanya begitu?" tanyaku kembali, sambil menatap matanya yang teduh.
Ia terdiam, kemudian kembali tenggelam dalam dunianya, sebuah buku berjudul "Si Itik Buruk Rupa".
Aku menghela napas. Panji memang selalu seperti itu…
"Aku tidak mengerti. Aku memang anak bodoh." katamu.
"Panji! Jangan bicara seperti itu!" bentakku.
"Aku tidak mengerti semua ini. Apa salahku? Mengapa ayah dan ibu membiarkan aku terlahir di dunia dengan keadaan seperti ini? Sedangkan kamu dan Citra, semuanya sempurna. Kalian bisa bersekolah dan berteman dengan siapa saja! Sedangkan aku…" suaramu tertahan.
"Cukup, Panji!!!"
Kau mundur beberapa langkah, kemudian berlari menjauhiku.
Dapat kurasakan mataku memanas dan air turun membasahi pipiku.
Panji, maaf…
Aku menghirup udara di dalam ruangan bernuansa putih itu. Bau obat-obatan menusuk hidung. Sedetik kemudian kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh jemariku.
"Kak…" bisikmu.
"Panji… Kakak di sini, sayang."
"Kak, aku mau pulang."
"Iya, sayang. Kalau Panji udah sembuh nanti kita pulang ya, kita ke Taman Cerita lagi, ngeliat pelangi sehabis hujan, terus beli mainan yang banyak buat Panji di pasar. Makanya, Panji cepat sembuh ya…" airmataku berjatuhan.
Kau tak menjawab, hanya tersenyum. Perlahan, matamu menutup. Kau kembali diam dan tak ada reaksi ketika kusentuh kepalamu yang bersih tanpa sehelai rambut pun.
Aku membalas senyummu, sambil menahan air yang telah membanjiri kedua pelupuk mataku.
Sejak saat itu, aku selalu menyimpan senyumnya di hatiku. Sebuah senyuman tulus dari seorang bocah penderita tumor kulit ganas…
Selamat jalan, Panji… Aku melambaikan tangan pada sebaris pelangi di sore itu.
"Andai saat ini ada kamu di sampingku…" kataku, lirih.
Mataku menyapu seluruh taman ini. "Taman Cerita", katamu waktu itu.
Ya, tempat kita menghabiskan waktu selepas sekolah. Aku akan setia menatap matamu yang bersemangat itu dengan perasaan kagum. Dan kamu akan setia dengan cerita-ceritamu yang tidak pernah berganti sejak awal pertemuan kita, Si itik buruk rupa.
***
"Mengapa aku berbeda?" tanyamu di suatu pagi.
"Apa?" aku mengalihkan pandanganku dari novel yang sedang kubaca.
"Seperti itik itu, kenapa aku berbeda?"
Aku tertegun.
"Panji kenapa nanya begitu?" tanyaku kembali, sambil menatap matanya yang teduh.
Ia terdiam, kemudian kembali tenggelam dalam dunianya, sebuah buku berjudul "Si Itik Buruk Rupa".
Aku menghela napas. Panji memang selalu seperti itu…
***
"Aku tidak mengerti. Aku memang anak bodoh." katamu.
"Panji! Jangan bicara seperti itu!" bentakku.
"Aku tidak mengerti semua ini. Apa salahku? Mengapa ayah dan ibu membiarkan aku terlahir di dunia dengan keadaan seperti ini? Sedangkan kamu dan Citra, semuanya sempurna. Kalian bisa bersekolah dan berteman dengan siapa saja! Sedangkan aku…" suaramu tertahan.
"Cukup, Panji!!!"
Kau mundur beberapa langkah, kemudian berlari menjauhiku.
Dapat kurasakan mataku memanas dan air turun membasahi pipiku.
Panji, maaf…
***
Aku menghirup udara di dalam ruangan bernuansa putih itu. Bau obat-obatan menusuk hidung. Sedetik kemudian kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh jemariku.
"Kak…" bisikmu.
"Panji… Kakak di sini, sayang."
"Kak, aku mau pulang."
"Iya, sayang. Kalau Panji udah sembuh nanti kita pulang ya, kita ke Taman Cerita lagi, ngeliat pelangi sehabis hujan, terus beli mainan yang banyak buat Panji di pasar. Makanya, Panji cepat sembuh ya…" airmataku berjatuhan.
Kau tak menjawab, hanya tersenyum. Perlahan, matamu menutup. Kau kembali diam dan tak ada reaksi ketika kusentuh kepalamu yang bersih tanpa sehelai rambut pun.
Aku membalas senyummu, sambil menahan air yang telah membanjiri kedua pelupuk mataku.
Sejak saat itu, aku selalu menyimpan senyumnya di hatiku. Sebuah senyuman tulus dari seorang bocah penderita tumor kulit ganas…
***
Sabtu, 20 Oktober 2012
Di antara kita
Mulutnya tak henti-henti bercerita. Tentang tugas-tugas
kuliahnya, kegiatan ospeknya, pola tidurnya selama seminggu ini…
Aku mencoba tetap memasang wajah antusias sambil sesekali
tersenyum mendengar ceritanya. Meskipun aku sungguh tidak tertarik. Sangat
tidak tertarik dengan cerita-ceritanya itu.
Perempuan di hadapanku ini mengernyitkan alisnya. Dengan wajah
polosnya, ia bertanya apakah aku baik-baik saja. Ya, tentu aku masih baik-baik
saja… Sebelum mendengar cerita-ceritanya yang mengorbankan waktu bermain game-ku ini.
***
Aku tidak yakin apakah ia mendengarkan ceritaku ini atau
tidak.
Sudah sebulan belakangan ini ia berbeda. Apa ia pikir aku
bodoh?
Ketika semua pesan singkatku hanya dibalas
sesingkat-singkatnya dan terjawab dalam waktu yang lama. Aku harus menunggu dua
jam hanya untuk sebuah balasan: “Ya, terserah.”
Fan, aku merasakan perubahan
itu…
***
Siang ini, kau mengajakku bertemu. Dengan alasan tugas
kelompok, aku akan menolak ajakanmu itu.
***
Padahal aku ingin
membicarakan hubungan kita ini, Fan…
***
Satu bulan, enam bulan, satu tahun…
Ia tidak mencoba menghubungiku. Begitupun dengan aku.
Ya, lelaki bodoh bernama Irfan ini sedang duduk di selasar
Gedung VI. Dari sini, aku akan dapat melihatnya dengan jelas. Perempuan yang
dulu menjadi pengisi hari-hariku yang datar, berisi hafalan buku-buku
kuliah. Perempuan yang dulu selalu bercerita tentang hari-harinya.
Kini, aku masih dapat melihatnya dengan jelas... Kecuali
perasaannya terhadapku.
***
Sedetik yang lalu, aku
masih ada di sini untukmu, Fan. Namun, kamu kemana?
Haruskah aku bertahan, sedangkan ada seseorang yang lain
dengan setia selalu mendengarkan ceritaku dengan tulus? Haruskah aku tetap
mengharapkanmu kembali, sedangkan seseorang yang lain sedang menyatakan
perasaannya yang begitu mendalam padaku?
Tanyakan pada miniatur Candi Jawi di Taman Arkeologi itu. Betapa
perasaanku bergejolak, kemudian kubiarkan seseorang yang lain itu mengisi
jemariku yang sudah lama tak pernah ia genggam.
Aku mengangguk. Memantapkan hatiku.
Selamat tinggal, Fan…
Owl City ft. Carly Rae Jepsen - Good Time
Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woke up on the right side of the bed
What's up with this Prince song inside my head?
Hands up if you're down to get down tonight
Cuz it's always a good time.
Slept in all my clothes like I didn't care
Hopped into a cab, take me anywhere
I'm in if you're down to get down tonight
Cuz it's always a good time
Good morning and good night
I wake up at twilight
It's gonna be alright
We don't even have to try
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.
Freaked out, dropped my phone in the pool again
Checked out of my room hit the ATM
Let's hang out if you're down to get down tonight
Cuz it's always a good time
Good morning and good night
I wake up at twilight
It's gonna be alright we don't even have to try
It's always a good time.
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.
Doesn't matter when
It's always a good time then
Doesn't matter where
It's always a good time there
Doesn't matter when,
It's always a good time then
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.
Kamis, 18 Oktober 2012
Kejutan
Aku menatap lelaki berjaket abu-abu itu berjalan melewati koridor Gedung I. Ganteng banget... kataku dalam hati.
Kemudian lelaki itu menyapa seorang teman laki-lakinya.
"Hai, Beb..." katanya sambil memeluk lelaki itu.
Penyesalan
Ragaku berlindung di bawah payung Gedung I. Namun, jiwaku melayang
menelusuri setiap gedung dan koridor di fakultas ini.
Ah, kau ada di Kansas rupanya. Sedang tertawa bersama wanita yang
kemarin kau ceritakan padaku.
Tahu begitu, tak perlu kutinggalkan ragaku untuk mencarimu!
menelusuri setiap gedung dan koridor di fakultas ini.
Ah, kau ada di Kansas rupanya. Sedang tertawa bersama wanita yang
kemarin kau ceritakan padaku.
Tahu begitu, tak perlu kutinggalkan ragaku untuk mencarimu!
Minggu, 14 Oktober 2012
Empat belas ke-4
Hai, 14.
Ini baru yang ke-4. Harapanku sederhana...
Semoga kita selalu bersama di 14 selanjutnya, selanjutnya, dan selamanya. Amiin.
R♥F
Ini baru yang ke-4. Harapanku sederhana...
Semoga kita selalu bersama di 14 selanjutnya, selanjutnya, dan selamanya. Amiin.
R♥F
Sabtu, 13 Oktober 2012
ACI & ICA
Aci sedang menjalani
ritualnya. Mendatangi Kansas—Kantin Sastra—setiap selesai kelas. Ia mencari-cari
sosok yang telah memenuhi inbox
HP-nya selama kelas berlangsung tadi. Matanya langsung tertuju pada perempuan big size yang memakai kaus oblong
bergambar Candi Borobudur. Beberapa langkah ia mendekati perempuan itu, dan
langsung shock melihat piring-piring
dan gelas telah ludes tanpa sisa di mejanya.
"Dua porsi ayam
penyet, siomay, jus alpukat, es teh manis?! Dan... Lo mau kemana lagi?"
"Mesen es buah. Lo
mau?" jawabnya dengan mulut yang masih dipenuhi jus alpukat.
"Sinting!" Aci
melotot mendengar jawaban sahabatnya itu.
“Eh, yaudah pesenin gue
juga! Dua porsi ya! Dan bayarin!” teriak Aci kemudian.
Kini gantian Ica yang
melotot.
***
Ica tidak mengerti. Meskipun
sama-sama penggila makanan, keduanya tak pernah benar-benar sama. Ica
memandangi dirinya di cermin. Tubuhnya bulat bagaikan semangka. Lalu, ia
melirik foto Aci di meja belajarnya. Langsing, bahkan dapat dikatakan kurus. Ica
mengangkat alis. Bagaimana mungkin?
***
Tangan yang pucat dan
gemetar itu berpegangan pada gagang pintu toilet di Gedung IX.
TES…
Setetes bercak merah
menodai lantai toilet yang putih bersih itu.
TES… TES…
Ia tahu saat seperti
ini akan tiba. Aci meraba bagian bawah hidungnya. Basah… dan merah. Kemudian
gelap.
***
“Pulang yuk, Ca. Udah
jam sembilan nih…” Dani membujuk perempuan di hadapannya.
Tak ada jawaban.
“Ca… Ayo…” Dani masih
berusaha.
Tak ada tanggapan.
Dani menghela napas. Perempuan
yang dicintainya ini masih saja seperti ini sejak tiga hari yang lalu. Mendatangi
Kansas, duduk di kursi yang sama, kemudian berdiam diri dengan tatapan yang
kosong, sesekali tersenyum, kemudian menangis tanpa suara.
Dani tidak tahu. Tiga hari
yang lalu, Ica mematung di depan sebuah batu nisan.
Asih Maharani
binti
Hadi Purnomo
Lahir: 19-08-1992
Wafat: 19-08-2012
Ia memeluk erat sebuah kotak berwarna biru muda dengan pita cantik di sudutnya. Harusnya kamu melihat kado dariku ini, Ci. Selamat ulang tahun…Ica
membiarkan dirinya terisak di atas tubuh sahabatnya yang sudah terkubur itu.
Sahabat Setia (A present for Zaenab Lubis)
Seorang perempuan berambut panjang melambaikan tangannya dari kejauhan. Aku pun berlari dan menyambutnya dengan pelukan hangat penuh rindu. Setelah pada malam sebelumnya aku bercerita keluh kesahku, ia mengajak untuk bertemu. Sekian lama tidak bertemu, penampilannya tidak banyak berubah. Perempuan berdarah Batak yang biasanya mengenakan sepatu itu, kini mengenakan sepasang sepatu sandal yang cantik. Mungkin ia ingin tampil lebih feminin.
Pertemuan kami siang itu membuatku mengenang persahabatan kami sejak awal SMA. Saat berkenalan dengannya, aku sama sekali tidak menyangka akan bersahabat dengan perempuan yang tampak cuek ini. Namun, dugaanku ternyata salah. Kesediaannya untuk mendengarkan curahan hatiku, sekaligus pemberi saran bagi masalah-masalah yang sedang kuhadapi, membuat kami akrab dan saling terikat dalam sebuah persahabatan.
Tiba-tiba aku terkikik melihat tingkahnya. Ia duduk bersila di atas sofa Perpustakaan Pusat UI sambil membaca sebuah buku dengan wajah yang polos. Ia memang selalu seperti itu. Tidak suka diatur dan sering berbuat konyol. Bahkan ia pernah pergi dari rumah tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Tindakannya itu membuatku panik, karena bagaimanapun juga, ia adalah seorang perempuan. Untung saja, ia kembali pulang setelah puas melepas emosinya dengan cara tersebut.
Meskipun di antara R4—nama geng yang beranggotakan aku, Jeje, Astri, dan Naila—hanya Jeje yang belum mendapat kesempatan berkuliah di UI, namun kami selalu memberi dukungan dan motivasi untuknya. Perempuan bernama lengkap Zaenab Lubis itu memang selalu ada. Di saat aku, Astri, dan Naila terjebak di sela-sela kesibukan kampus, ia dengan setia menanyakan kabar kami, bertanya apakah ada waktu luang untuk kami bisa bertemu. Sosok sederhana itu tak pernah berubah, ia selalu menjadi sandaran ketika aku gundah, selalu memiliki tangan yang menghapus airmataku, selalu tertawa untuk menghiburku. Inilah kami, selalu ada; selalu setia.
Kamis, 11 Oktober 2012
Hujan Pengantar Rindu
Hujan rintik-rintik memberi nuansa dingin di kampusku. Membasuh jiwa-jiwa yang kekeringan. Langit kelabu itu bagaikan sebuah isyarat...
Meskipun kelas telah selesai sejak satu jam yang lalu, aku sama sekali tak berniat untuk pulang ke rumah. Duduk di payung selasar Gedung I merupakan ritual yang selalu kulakukan setiap selesai kelas.
Aku mengambil sesuatu dari tas ranselku. Sebuah scrap book berwarna biru muda buatanku yang sudah tampak usang.
Kubuka halaman pertama...
Sebuah foto seorang wanita berjilbab bersama lelaki berambut ikal di sampingnya. Wajah mereka terlihat sangat bahagia.
Kubuka halaman kedua...
Sebuah tulisan tangan yang indah. Bertuliskan inisial huruf: "A&D"
Kubuka halaman ketiga...
Mataku terpaku di sana. Pada deretan aksara yang menerbangkanku masuk ke dalam tulisan itu... Di sana tertulis betapa bahagianya si 'aku' ketika bertemu pertama kali dengan si 'dia'. Si 'dia' yang mampu membuat si 'aku' tertidur dengan wajah tersenyum sampai pagi.
Kubuka halaman keempat, kelima, dan seterusnya...
Tiba-tiba aku merasa diselimuti sesuatu. Suatu perasaan dingin yang menyebabkan sekujur tubuhku menggigil kedinginan. Rupanya aku diselimuti rindu yang teramat dalam... Padamu.
Setetes. Dua tetes...
Bukan air hujan.
Itulah yang biasa kau sebut dengan;
Airmata.
Dari 'A', untuk 'D'
Senin, 08 Oktober 2012
A place in your heart
“Matkul gak penting! Cabut aja deh gue!” ucapku pada Tata,
sahabatku.
“Serius lo? Dosennya kan…”
“Halaaah, jatah absen gue masih ready stock kok!” aku berjalan cepat
meninggalkan ruang kelas.
Keluar dari gedung VI, aku disambut dengan pemandangan mahasiswa-mahasiswa
BIPA yang sedang asyik mengobrol, minum, bahkan merokok. Di antara mereka, aku
melihat Seo Hyun—kenalanku di salah satu kelas—sedang melambaikan tangan ke
arahku.
“Halo, Dara… Mau rokok?” dengan bahasa Indonesia yang belum
terlalu lancar, ia menyodorkan sebatang rokok padaku.
“Terima kasih.” Jawabku sambil mengambil rokok itu dan
menyimpannya di saku jaketku.
“Kamu cha-but ya
pasti?” tanyanya.
Keningku mengkerut. Cha-but?
Cabut? Astaga!
Aku menganggukkan kepala sambil terbahak-bahak.
Kami mengobrol tentang banyak hal. Dan tentu saja semua itu
kulakukan hanya untuk membuang-buang waktu. Karena sebenarnya, aku sama sekali
tidak berminat untuk berteman dengan lelaki bermata sipit ini. Tidak-sama-sekali.
Pasti Seo Hyun juga tidak benar-benar tulus berteman
denganku.
Aku tidak peduli, karena semua laki-laki itu sama. Mereka ingin
berteman denganku hanya karena wajahku yang keturunan Chinesse ini. Kebanyakan teman perempuanku berkata bahwa wajahku
tidak sesuai dengan kepribadianku yang maskulin. Mereka malah ingin menukar
wajahnya dengan wajahku. Ini gila.
“Gue balik ya. Thanks
for the cigarette.” Ucapku sambil meninggalkan Soe Hyun, tanpa menunggu
jawaban darinya.
Sambil menikmati semilir angin sore yang menerpa rambutku,
lagu Michael Jackson - Heal The World, mengalun di telingaku.
There's a place in your heart
And I know that it is love
And this place could be much
Brighter than tomorrow.
And if you really try
You'll find there's no need to cry
In this place you'll feel
There's no hurt or sorrow.
There are ways to get there
If you care enough for the living…
Aku membakar rokok pemberian Seo Hyun. Apalah arti hidup damai? Batinku bertanya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia
sepuluh tahun menarik perhatianku. Ia mengais sampah di sekitar Klaster, dan
menemukan puntung rokok yang tinggal separuh. Tangannya bergerak cepat merogoh
ke dalam saku celananya, mengambil korek api, membakarnya, dan kemudian dihirup
dalam-dalam.
Lututku bergetar…
Bukankah anak sekecil itu harusnya tidak boleh menyentuh
rokok? Apalagi… Merokok?
Beberapa detik kemudian, aku melemparkan benda yang mengapit di antara jari telunjuk dan jari tengahku itu ke danau di
bawah jembatan Teksas. Membiarkannya bergabung bersama milyaran bakteri yang
ada di dalam sana. Perasaan tak menentu meresap ke dalam jiwaku. Mengisi suatu tempat di dalam ragaku, bernama hati.
Sejak hari
itu... Aku tak lagi mampu menyentuh sebatang rokok pun.
Jumat, 05 Oktober 2012
Sebuah penantian
Selamat malam, harapanku. Yang masih tersimpan rapi dalam
benakku. Tak pernah lagi aku usik kehadiranmu meski semua terasa semu.
Bulan itu meledekku. Ia bilang, kau tak akan kembali lagi ke
sini. Aku marah padanya. Kututup jendela kamarku agar ia berhenti meledekku. Kau pasti kembali kan?
-
-
Selamat pagi, bidadariku. Satu tahun sudah kita tak bertemu.
Tak adakah puing-puing rindu yang tersisa untukku? Padahal rinduku disini sudah
menggunung dan membatu. Untung, pagi ini matahari tak mengejekku. Aku masih mampu
tersenyum menghadapi dunia. Karena aku tahu, kau di sana juga merindukanku,
kan?
-
Selamat malam, bintangku. Mengapa kau tampak banyak sekali
muncul di langit malam ini? Aku tak mampu lagi membedakanmu dengan cahaya dari
pesawat terbang yang kebetulan melintas. Semakin hari, kau semakin sulit
kutemukan…
-
Selamat pagi, penantianku. Ini ulang tahunku yang ke-40. Tidakkah
kau mengucapkannya padaku? Padahal aku terbangun tengah malam hanya untuk
berharap bahwa handphone-ku menerima
pesan ucapan darimu. Ah, tak apa. Mungkin kau sibuk. Selamat ulang tahun, aku.
-
Selamat malam, kamu. Malam ini aku sedang memeluk erat selembar
koran. Terbitan dua puluh tahun yang lalu. Di sana tercetak jelas deretan huruf
yang membuatku tetap bertahan selama ini.
“SEBUAH PESAWAT JATUH DI GUNUNG SALAK. Korban belum teridentifikasi...”
Di balik deretan buku
Semilir angin mengantarkan halusinasi senyummu di kepalaku. Berkeliaran…
Dan selamanya menetap tinggal di sana. Pertemuan yang tidak pernah kita rencanakan itu berakibat
fatal pada hatiku.
Pertemuan empat tahun silam…
“Lihat pembatas buku gambar panda gitu gak, Pak?” tanyaku
pada penjaga perpustakaan di kampusku.
“Waduh, nggak ada tuh, Mas.”
Aku panik. Pembatas buku kesayanganku… Tanpa pembatas itu,
mungkin semangat membacaku akan menurun drastis. Itu adalah hadiah dari
sahabatku yang kini tinggal di Jogja.
“Maaf, kamu mencari ini?”
Telingaku mencari sumber suara itu. Mataku terpaku. Bibirku mengatup
bisu. Dan jangtungku… Berdegup tak normal.
“Oh, i…ya… Makasih.” Jawabku grogi.
Ia tersenyum. Memaksaku untuk mereka tiap detail senyumnya. Gerakannya,
matanya yang teduh…
Kemudian aku divonis oleh dewa-dewi cinta. Menderita
penyakit asmara stadium akut.
***
Kita masih bertemu. Di tempat yang sama. Hanya saja, matamu
kali ini berbeda. Banjir. Kau terisak di pelukan sahabatmu.
“Aku mungkin tidak akan pernah jatuh cinta lagi…” katamu,
lirih.
Ingin rasanya detik itu juga, aku berlari menghampirimu. Memberi pelukan senyaman mungkin, kemudian berkata, “Aku ada untukmu.”
Namun, itu hanya dunia khayalku.
Aku masih berdiri di sini. Beberapa meter dari posisimu. Bersembunyi
di antara rak-rak buku untuk menutupi diri yang tak pernah berani menyapamu
lagi. Bahkan hanya untuk sekadar mengulurkan tangan agar airmatamu tak membasahi pipi yang merah itu... Ah, tidak. Aku akan tetap menjadi pengamat di balik deretan buku-buku ini.
Aku, kamu...
Hujan sore itu menjadi pengantar
rindu yang tak bertuan. Aku berdiri di tepi koridor penghubung antara gedung V
dan gedung VI. Mengamati butir-butir air yang menjatuhkan dirinya pada hamparan
rumput yang merindukan mereka. Adakah diriku seperti itu?
“Ran!”
sebuah suara menghempaskanku dari dunia imajinasiku.
Aku menoleh,
mencari sumber suara. DEG! Senyuman itu…
“Hey, kok
melamun sambil memperhatikan hujan gitu? Nanti galau loh…” Danar terkikik.
Sebuah cubitan
dariku mendarat di pinggangnya.
“Aku sih
nggak pernah galau tuh.” Jawabku bohong.
Danar kembali
terkikik sambil mengarahkan matanya padaku. Yang
benar saja? Aku pasti bermimpi!
Aku harus kembali merapikan hatiku
setiap kali bertemu denganmu. Menyadari bahwa hanya aku yang merasakan adanya
atmosfer yang berbeda antara aku dan dirimu. Bahwa aku hanyalah…
“Ayo pulang,
hujannya sudah mulai reda nih.” Katanya sambil menengadahkan tangan di bawah
langit.
“Dingin…”
Terbesit kilat
khawatir pada bola matanya. Kemudian Danar melepas jaket yang dikenakannya. Untukku?
“Pakai ini.”
katanya singkat dan hangat.
Aku tak
bergeming. Menatap tak percaya ke arahnya.
“Lama amat
ngeliatinnya. Sini deh dipakein…”
Gerakannya cepat
dan lembut.
“Ng… Makasih…”
“Iya. Ayo pulang.”
Gerimis melanda
hatiku. Bahagia bercampur pilu… Kurapatkan jaketnya pada tubuhku.
***
“Selamat ya,
semoga langgeng! Doain gue nyusul. Hahaha…” seorang lelaki menggenggam erat
tangannya.
Aku masih
berdiri manis di sampingnya. Mengenakan sebuah gaun berwarna biru laut yang ia
pilihkan untukku. Katanya, aku tampak lebih anggun jika memakai gaun ini.
Sambil menjaga senyum yang tetap menghias bibir, aku menggandeng lengannya.
“Ran, lihat dia…”
tetiba matanya terpaku pada satu titik. Wanita itu…
Terlalu
cantik untuk sekadar disebut “cantik”. Terlalu anggun untuk diumpamakan hanya
sebagai bidadari. Gaunnya sederhana, namun jelas mengalahkan gaun biru laut
yang aku kenakan.
Mata mereka
bertemu. Aku menatapnya dengan luka yang menganga, lalu aku paksa untuk sembuh.
“Cieee,
selamat ya, Danar!” aku memasang wajah semanis mungkin.
“Panggilnya ‘Mas
Danar’ dong! Masa udah tunangan gini masih aja gak sopan sama sepupu sendiri…”
DEG. Sepupu… Aku… Kamu…
“Iya deh,
Mas Danar…” kataku. Masih dengan senyum yang manis dan... Dipaksakan.
Rabu, 03 Oktober 2012
Pertama--Keempat
Tahun pertama... Tanpa kehadiranmu.
Bulan itu memancarkan pesonanya yang tak pernah membuatku
jengah. Di tengah kegelapan malam, aku tampak seperti wanita gila yang
memandang langit melalui jendela kamarnya, kemudian beberapa detik kemudian
tersenyum sambil terisak. Aku tersenyum dalam tangisku.
Senyummu yang biasa menjadi penghangatku setiap hari, kini
menjadi balok es yang siap menghujam jantungku setiap saat. Membekukan jemari
tanganku yang terbalut cincin berlian di jari manisnya. Aku membunuh diriku
sendiri saat aku mengatakan, “Pergilah…
Australia memang tampak jauh bila dibandingkan dengan jarak yang ada di hati
kita.”
***
Tahun kedua… Tanpa kehadiranmu.
Aku masih terisak dalam senyumku setiap kali memandang bulan
purnama. Aku tahu, kita masih memandang pada bulan yang sama, meskipun pada
waktu yang berbeda. Kita masih tinggal dalam satu planet yang sama, meskipun raga
terpaut dalam bilangan ratusan kilometer.
Senyummu pada setiap foto yang kau kirimkan padaku… Sungguh
membunuhku. Ingin rasanya aku masuk ke dalam layar handphone-ku saat fotomu terpampang jelas di sana. Masuk, dan memelukmu
erat. Erat… Sekali.
Apa kabarmu?
***
Tahun ketiga… Tanpa
kehadiranmu.
Rinduku menggunung. Mengkristal dalam lapisan hati yang
kusimpan rapat-rapat. Tak bisakah kau mengabariku meski hanya seminggu sekali? Apa
susahnya mengirim e-mail di negaramu
yang sudah super canggih itu?
***
Tahun keempat… Tanpa
kehadiranmu.
Kau kembali. Dengan cincin yang tak lagi sama. Dan sesosok
wanita tengah melingkarkan lengannya yang putih pada pinggangmu. Aku terpaku.
Rupanya penantianku selama ini… Tak berarti lagi.
Sebuah gambar
Mata ini mungkin masih mampu berdusta. Ketika aku
mengarahkan pandanganku untuk menjauh darimu. Ketika mataku menahan airmata
ketika kau tertawa renyah di hadapanku… Namun, harus kau ketahui. Hati ini
tidak mampu dan tidak akan pernah berdusta. Tidak pernah.
***
“Gambar lo bagus banget, Fi!” sosoknya tiba-tiba muncul dari
balik punggungku.
Aku gugup. Spontan, aku langsung menutupi gambar itu dengan
kedua tanganku.
“Sini liat dong! Eh, kok gambar ceweknya sedih gitu?”
“Eh… Eng… Nggak kok! Apaan sih? Udah sana jangan liat-liat
gambar gue!” aku menepis tangannya yang berusaha merebut gambarku. Butir-butir
air mulai mengumpul di kedua pelupuk mataku.
Berlari.
Aku meninggalkannya dan berlari… Entah menuju kemana. Aku ingin
pergi darinya. Pergi dari kenyataan bahwa sosok lelaki yang selalu muncul dalam
gambarku ini adalah sosok yang semu. Aku masih terus berlari…
***
Sebulan yang lalu…
Aku menggambar untuknya. Di hari ulang tahunnya ini, aku
telah mempersiapkan sebuah gambar terbaik yang telah aku selesaikan dari hasil
begadang selama seminggu penuh. Gambar itu sederhana. Hanya seorang anak lelaki
dengan balon berwarna putih di tangannya, dan seorang perempuan yang memegang
balon berwarna-warni.
Aku hampir menyerahkan gambar itu kepadanya. Jika saja, aku
lebih cepat beberapa menit dari gadis itu.
Sesosok gadis yang selalu kau ceritakan dengan mata penuh
cinta kepadaku. Tentang sifatnya, tentang gayanya, tentang senyumnya yang tak
bisa membuatmu tidur selama berminggu-minggu…
Ya, aku terlambat.
“Selamat ya, sayang…” gadis itu menyerahkan sebuah kotak
berwarna merah dan berpita cokelat.
Aku mundur. Selangkah. Dua langkah. Kemudian mengambil jalur
putar arah agar kau tak mampu lagi melihatku meski dalam gelap. Aku mengubah
segalanya menjadi lebih buruk. Aku menghindarimu, tak lagi mendengarkan
ceritamu, dan tak lagi peduli pada kehadiranmu.
Sayangnya, kau tak mengerti itu. Kau tetap menganggapku
adalah sahabat terbaikmu sepanjang masa. Tetap menemaniku saat aku duduk
termenung di kantin, saat aku keluar kelas dan kau tiba-tiba muncul di depan
hidungku…
Tidakkah kau mengerti? Semua ini. Semuanya terasa pupus. Kau
tidak membunuh perasaanku, namun justru menyuburkan cinta di hatiku. Aku yang
setengah mati berusaha membunuhnya, kemudian memilih pasrah. Ya,
aku-hanya-sahabat-terbaikmu-sepanjang-masa.
Jangan
Jangan. Jangan kau definisikan aku. Karena aku adalah makhluk yang tak
terdefinisi. Dengan kata-kata yang mungkin tak mampu mendeskripsikan
diriku sebenarnya.
Jangan. Jangan kau artikan senyumku sebagai sebuah kebahagiaan. Dan
jangan pula kau artikan marahku sebagai kekesalan yang memuncak.
Aku adalah pembicara dalam diam. Aku mampu tersenyum dalam airmata.
Aku mampu tertawa dalam amarahku yang menembus batas.
Jangan.
Definisikan.
Aku.
terdefinisi. Dengan kata-kata yang mungkin tak mampu mendeskripsikan
diriku sebenarnya.
Jangan. Jangan kau artikan senyumku sebagai sebuah kebahagiaan. Dan
jangan pula kau artikan marahku sebagai kekesalan yang memuncak.
Aku adalah pembicara dalam diam. Aku mampu tersenyum dalam airmata.
Aku mampu tertawa dalam amarahku yang menembus batas.
Jangan.
Definisikan.
Aku.
Selasa, 02 Oktober 2012
Bukan Kamu
Dear Adit,
Terima kasih untuk hari ini. Untuk semua canda tawa yang telah kita
lalui bersama. Untuk semua cerita yang telah kamu curahkan. Untuk
perasaan ini yang berhasil kamu bangunkan dari tidur panjangnya...
Aku bahagia. Uhm, tidak. Lebih dari itu. Lebih dari sekadar kalimat
"Aku bahagia" itu.
Kita bertukar cerita dengan mata yang saling bersembunyi. Dengan
perasaan yang masih terkunci rapat di dalam hati. Tidak ada yang
berani menyinggung pembicaraan tentang hati. Tidak ada. Masing-masing
dari kita memilih untuk menyelimuti hati dengan ribuan pertanyaan yang
menggelayuti benak kita. Tidak ada yang berani memulai. Hingga
akhirnya, kita tiba pada saat di mana mata kita bertemu. Menyatu. Dan
aku hidup di dalam sana.
-
Dear Lili,
Awalnya aku pikir kamu sedang sariawan, makanya tak banyak bicara.
Rupanya, kau tetap menjadi pendengar yang baik untuk setiap kata yang
kuucapkan.
Cara tertawamu yang lepas itu... Tetap sama. Wajahmu yang polos setiap
aku menceritakan hal konyol yang pernah kulalui, juga tetap sama.
Dan kali ini harus kuakui, kaulah penguasa tunggal di ruang hatiku.
Aku terhisap dalam matamu, dan tidak tahu cara keluarnya. Ya, aku
memutuskan untuk hidup di sana. Di dalam matamu yang memberi
kedamaian. Tolong, jangan usir aku.
Terima kasih untuk hari ini. Untuk semua canda tawa yang telah kita
lalui bersama. Untuk semua cerita yang telah kamu curahkan. Untuk
perasaan ini yang berhasil kamu bangunkan dari tidur panjangnya...
Aku bahagia. Uhm, tidak. Lebih dari itu. Lebih dari sekadar kalimat
"Aku bahagia" itu.
Kita bertukar cerita dengan mata yang saling bersembunyi. Dengan
perasaan yang masih terkunci rapat di dalam hati. Tidak ada yang
berani menyinggung pembicaraan tentang hati. Tidak ada. Masing-masing
dari kita memilih untuk menyelimuti hati dengan ribuan pertanyaan yang
menggelayuti benak kita. Tidak ada yang berani memulai. Hingga
akhirnya, kita tiba pada saat di mana mata kita bertemu. Menyatu. Dan
aku hidup di dalam sana.
-
Dear Lili,
Awalnya aku pikir kamu sedang sariawan, makanya tak banyak bicara.
Rupanya, kau tetap menjadi pendengar yang baik untuk setiap kata yang
kuucapkan.
Cara tertawamu yang lepas itu... Tetap sama. Wajahmu yang polos setiap
aku menceritakan hal konyol yang pernah kulalui, juga tetap sama.
Dan kali ini harus kuakui, kaulah penguasa tunggal di ruang hatiku.
Aku terhisap dalam matamu, dan tidak tahu cara keluarnya. Ya, aku
memutuskan untuk hidup di sana. Di dalam matamu yang memberi
kedamaian. Tolong, jangan usir aku.
Senin, 01 Oktober 2012
Selamat Datang, Oktober!
Selamat pagi. Selamat hari Senin. Selamat bulan Oktober!
Semoga dengan bulan yang baru, semangat menulis juga makin terpacu.
Ayo ikut lomba menulis! Semangat!
#np Wake Me Up When September Ends
Semoga dengan bulan yang baru, semangat menulis juga makin terpacu.
Ayo ikut lomba menulis! Semangat!
#np Wake Me Up When September Ends
Langganan:
Postingan (Atom)