Mata ini mungkin masih mampu berdusta. Ketika aku
mengarahkan pandanganku untuk menjauh darimu. Ketika mataku menahan airmata
ketika kau tertawa renyah di hadapanku… Namun, harus kau ketahui. Hati ini
tidak mampu dan tidak akan pernah berdusta. Tidak pernah.
***
“Gambar lo bagus banget, Fi!” sosoknya tiba-tiba muncul dari
balik punggungku.
Aku gugup. Spontan, aku langsung menutupi gambar itu dengan
kedua tanganku.
“Sini liat dong! Eh, kok gambar ceweknya sedih gitu?”
“Eh… Eng… Nggak kok! Apaan sih? Udah sana jangan liat-liat
gambar gue!” aku menepis tangannya yang berusaha merebut gambarku. Butir-butir
air mulai mengumpul di kedua pelupuk mataku.
Berlari.
Aku meninggalkannya dan berlari… Entah menuju kemana. Aku ingin
pergi darinya. Pergi dari kenyataan bahwa sosok lelaki yang selalu muncul dalam
gambarku ini adalah sosok yang semu. Aku masih terus berlari…
***
Sebulan yang lalu…
Aku menggambar untuknya. Di hari ulang tahunnya ini, aku
telah mempersiapkan sebuah gambar terbaik yang telah aku selesaikan dari hasil
begadang selama seminggu penuh. Gambar itu sederhana. Hanya seorang anak lelaki
dengan balon berwarna putih di tangannya, dan seorang perempuan yang memegang
balon berwarna-warni.
Aku hampir menyerahkan gambar itu kepadanya. Jika saja, aku
lebih cepat beberapa menit dari gadis itu.
Sesosok gadis yang selalu kau ceritakan dengan mata penuh
cinta kepadaku. Tentang sifatnya, tentang gayanya, tentang senyumnya yang tak
bisa membuatmu tidur selama berminggu-minggu…
Ya, aku terlambat.
“Selamat ya, sayang…” gadis itu menyerahkan sebuah kotak
berwarna merah dan berpita cokelat.
Aku mundur. Selangkah. Dua langkah. Kemudian mengambil jalur
putar arah agar kau tak mampu lagi melihatku meski dalam gelap. Aku mengubah
segalanya menjadi lebih buruk. Aku menghindarimu, tak lagi mendengarkan
ceritamu, dan tak lagi peduli pada kehadiranmu.
Sayangnya, kau tak mengerti itu. Kau tetap menganggapku
adalah sahabat terbaikmu sepanjang masa. Tetap menemaniku saat aku duduk
termenung di kantin, saat aku keluar kelas dan kau tiba-tiba muncul di depan
hidungku…
Tidakkah kau mengerti? Semua ini. Semuanya terasa pupus. Kau
tidak membunuh perasaanku, namun justru menyuburkan cinta di hatiku. Aku yang
setengah mati berusaha membunuhnya, kemudian memilih pasrah. Ya,
aku-hanya-sahabat-terbaikmu-sepanjang-masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar