“Matkul gak penting! Cabut aja deh gue!” ucapku pada Tata,
sahabatku.
“Serius lo? Dosennya kan…”
“Halaaah, jatah absen gue masih ready stock kok!” aku berjalan cepat
meninggalkan ruang kelas.
Keluar dari gedung VI, aku disambut dengan pemandangan mahasiswa-mahasiswa
BIPA yang sedang asyik mengobrol, minum, bahkan merokok. Di antara mereka, aku
melihat Seo Hyun—kenalanku di salah satu kelas—sedang melambaikan tangan ke
arahku.
“Halo, Dara… Mau rokok?” dengan bahasa Indonesia yang belum
terlalu lancar, ia menyodorkan sebatang rokok padaku.
“Terima kasih.” Jawabku sambil mengambil rokok itu dan
menyimpannya di saku jaketku.
“Kamu cha-but ya
pasti?” tanyanya.
Keningku mengkerut. Cha-but?
Cabut? Astaga!
Aku menganggukkan kepala sambil terbahak-bahak.
Kami mengobrol tentang banyak hal. Dan tentu saja semua itu
kulakukan hanya untuk membuang-buang waktu. Karena sebenarnya, aku sama sekali
tidak berminat untuk berteman dengan lelaki bermata sipit ini. Tidak-sama-sekali.
Pasti Seo Hyun juga tidak benar-benar tulus berteman
denganku.
Aku tidak peduli, karena semua laki-laki itu sama. Mereka ingin
berteman denganku hanya karena wajahku yang keturunan Chinesse ini. Kebanyakan teman perempuanku berkata bahwa wajahku
tidak sesuai dengan kepribadianku yang maskulin. Mereka malah ingin menukar
wajahnya dengan wajahku. Ini gila.
“Gue balik ya. Thanks
for the cigarette.” Ucapku sambil meninggalkan Soe Hyun, tanpa menunggu
jawaban darinya.
Sambil menikmati semilir angin sore yang menerpa rambutku,
lagu Michael Jackson - Heal The World, mengalun di telingaku.
There's a place in your heart
And I know that it is love
And this place could be much
Brighter than tomorrow.
And if you really try
You'll find there's no need to cry
In this place you'll feel
There's no hurt or sorrow.
There are ways to get there
If you care enough for the living…
Aku membakar rokok pemberian Seo Hyun. Apalah arti hidup damai? Batinku bertanya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia
sepuluh tahun menarik perhatianku. Ia mengais sampah di sekitar Klaster, dan
menemukan puntung rokok yang tinggal separuh. Tangannya bergerak cepat merogoh
ke dalam saku celananya, mengambil korek api, membakarnya, dan kemudian dihirup
dalam-dalam.
Lututku bergetar…
Bukankah anak sekecil itu harusnya tidak boleh menyentuh
rokok? Apalagi… Merokok?
Beberapa detik kemudian, aku melemparkan benda yang mengapit di antara jari telunjuk dan jari tengahku itu ke danau di
bawah jembatan Teksas. Membiarkannya bergabung bersama milyaran bakteri yang
ada di dalam sana. Perasaan tak menentu meresap ke dalam jiwaku. Mengisi suatu tempat di dalam ragaku, bernama hati.
Sejak hari
itu... Aku tak lagi mampu menyentuh sebatang rokok pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar