Semilir angin mengantarkan halusinasi senyummu di kepalaku. Berkeliaran…
Dan selamanya menetap tinggal di sana. Pertemuan yang tidak pernah kita rencanakan itu berakibat
fatal pada hatiku.
Pertemuan empat tahun silam…
“Lihat pembatas buku gambar panda gitu gak, Pak?” tanyaku
pada penjaga perpustakaan di kampusku.
“Waduh, nggak ada tuh, Mas.”
Aku panik. Pembatas buku kesayanganku… Tanpa pembatas itu,
mungkin semangat membacaku akan menurun drastis. Itu adalah hadiah dari
sahabatku yang kini tinggal di Jogja.
“Maaf, kamu mencari ini?”
Telingaku mencari sumber suara itu. Mataku terpaku. Bibirku mengatup
bisu. Dan jangtungku… Berdegup tak normal.
“Oh, i…ya… Makasih.” Jawabku grogi.
Ia tersenyum. Memaksaku untuk mereka tiap detail senyumnya. Gerakannya,
matanya yang teduh…
Kemudian aku divonis oleh dewa-dewi cinta. Menderita
penyakit asmara stadium akut.
***
Kita masih bertemu. Di tempat yang sama. Hanya saja, matamu
kali ini berbeda. Banjir. Kau terisak di pelukan sahabatmu.
“Aku mungkin tidak akan pernah jatuh cinta lagi…” katamu,
lirih.
Ingin rasanya detik itu juga, aku berlari menghampirimu. Memberi pelukan senyaman mungkin, kemudian berkata, “Aku ada untukmu.”
Namun, itu hanya dunia khayalku.
Aku masih berdiri di sini. Beberapa meter dari posisimu. Bersembunyi
di antara rak-rak buku untuk menutupi diri yang tak pernah berani menyapamu
lagi. Bahkan hanya untuk sekadar mengulurkan tangan agar airmatamu tak membasahi pipi yang merah itu... Ah, tidak. Aku akan tetap menjadi pengamat di balik deretan buku-buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar