Tahun pertama... Tanpa kehadiranmu.
Bulan itu memancarkan pesonanya yang tak pernah membuatku
jengah. Di tengah kegelapan malam, aku tampak seperti wanita gila yang
memandang langit melalui jendela kamarnya, kemudian beberapa detik kemudian
tersenyum sambil terisak. Aku tersenyum dalam tangisku.
Senyummu yang biasa menjadi penghangatku setiap hari, kini
menjadi balok es yang siap menghujam jantungku setiap saat. Membekukan jemari
tanganku yang terbalut cincin berlian di jari manisnya. Aku membunuh diriku
sendiri saat aku mengatakan, “Pergilah…
Australia memang tampak jauh bila dibandingkan dengan jarak yang ada di hati
kita.”
***
Tahun kedua… Tanpa kehadiranmu.
Aku masih terisak dalam senyumku setiap kali memandang bulan
purnama. Aku tahu, kita masih memandang pada bulan yang sama, meskipun pada
waktu yang berbeda. Kita masih tinggal dalam satu planet yang sama, meskipun raga
terpaut dalam bilangan ratusan kilometer.
Senyummu pada setiap foto yang kau kirimkan padaku… Sungguh
membunuhku. Ingin rasanya aku masuk ke dalam layar handphone-ku saat fotomu terpampang jelas di sana. Masuk, dan memelukmu
erat. Erat… Sekali.
Apa kabarmu?
***
Tahun ketiga… Tanpa
kehadiranmu.
Rinduku menggunung. Mengkristal dalam lapisan hati yang
kusimpan rapat-rapat. Tak bisakah kau mengabariku meski hanya seminggu sekali? Apa
susahnya mengirim e-mail di negaramu
yang sudah super canggih itu?
***
Tahun keempat… Tanpa
kehadiranmu.
Kau kembali. Dengan cincin yang tak lagi sama. Dan sesosok
wanita tengah melingkarkan lengannya yang putih pada pinggangmu. Aku terpaku.
Rupanya penantianku selama ini… Tak berarti lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar