Hujan sore itu menjadi pengantar
rindu yang tak bertuan. Aku berdiri di tepi koridor penghubung antara gedung V
dan gedung VI. Mengamati butir-butir air yang menjatuhkan dirinya pada hamparan
rumput yang merindukan mereka. Adakah diriku seperti itu?
“Ran!”
sebuah suara menghempaskanku dari dunia imajinasiku.
Aku menoleh,
mencari sumber suara. DEG! Senyuman itu…
“Hey, kok
melamun sambil memperhatikan hujan gitu? Nanti galau loh…” Danar terkikik.
Sebuah cubitan
dariku mendarat di pinggangnya.
“Aku sih
nggak pernah galau tuh.” Jawabku bohong.
Danar kembali
terkikik sambil mengarahkan matanya padaku. Yang
benar saja? Aku pasti bermimpi!
Aku harus kembali merapikan hatiku
setiap kali bertemu denganmu. Menyadari bahwa hanya aku yang merasakan adanya
atmosfer yang berbeda antara aku dan dirimu. Bahwa aku hanyalah…
“Ayo pulang,
hujannya sudah mulai reda nih.” Katanya sambil menengadahkan tangan di bawah
langit.
“Dingin…”
Terbesit kilat
khawatir pada bola matanya. Kemudian Danar melepas jaket yang dikenakannya. Untukku?
“Pakai ini.”
katanya singkat dan hangat.
Aku tak
bergeming. Menatap tak percaya ke arahnya.
“Lama amat
ngeliatinnya. Sini deh dipakein…”
Gerakannya cepat
dan lembut.
“Ng… Makasih…”
“Iya. Ayo pulang.”
Gerimis melanda
hatiku. Bahagia bercampur pilu… Kurapatkan jaketnya pada tubuhku.
***
“Selamat ya,
semoga langgeng! Doain gue nyusul. Hahaha…” seorang lelaki menggenggam erat
tangannya.
Aku masih
berdiri manis di sampingnya. Mengenakan sebuah gaun berwarna biru laut yang ia
pilihkan untukku. Katanya, aku tampak lebih anggun jika memakai gaun ini.
Sambil menjaga senyum yang tetap menghias bibir, aku menggandeng lengannya.
“Ran, lihat dia…”
tetiba matanya terpaku pada satu titik. Wanita itu…
Terlalu
cantik untuk sekadar disebut “cantik”. Terlalu anggun untuk diumpamakan hanya
sebagai bidadari. Gaunnya sederhana, namun jelas mengalahkan gaun biru laut
yang aku kenakan.
Mata mereka
bertemu. Aku menatapnya dengan luka yang menganga, lalu aku paksa untuk sembuh.
“Cieee,
selamat ya, Danar!” aku memasang wajah semanis mungkin.
“Panggilnya ‘Mas
Danar’ dong! Masa udah tunangan gini masih aja gak sopan sama sepupu sendiri…”
DEG. Sepupu… Aku… Kamu…
“Iya deh,
Mas Danar…” kataku. Masih dengan senyum yang manis dan... Dipaksakan.
1 komentar:
Untung si perempuan nggak pingsan ya, pas dipakein jaketnya Danar. Hahaha..
Posting Komentar