Kamis, 31 Januari 2013

Dewi Lestari - Back To Heaven's Light

"...If once we had decided to forget, then we alone can decide to remember. We all started the same journey. This had been an illusion of a journey, for it didn't have a start and didn't have an end."


Will We Meet Again?

"When you missing someone and there's nothing you can do with it..."

Saya tidak sepatutnya seperti ini. Namun, semua masih begitu jelas dalam ingatan saya. Keadaan ini diperparah dengan kehadiran kamu di dalam mimpi saya. Kenapa?
Kenapa kamu hadir lagi?
Saya benar-benar tidak bisa melakukan apa pun selain menolak perasaan itu. Saya tahu saya harus menjauh.

"Jika suatu saat kita bertemu lagi..."

Entah. Mungkin itu hanya untaian kalimat dari seseorang yang terlalu berekspetasi pada masa depan. Atau untuk orang-orang yang percaya akan adanya keajaiban. Saya tidak tahu. Yang jelas, Allah pasti telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk kita. Pun persoalan pertemuan kita di masa yang akan datang...

Allah works in His mysterious way...

Rabu, 30 Januari 2013

Kedap Suara

menjerit
berteriak
memaki
memuji
tertawa
menangis
berharap didengar
meski nyatanya:
tidak.
aku di sini
mengurung diri
tak dipedulikan
dalam ruang
kedap suara

Senin, 28 Januari 2013

Kalian...

Kebersamaan yang tercipta secara terus menerus dapat menimbulkan perasaan lain yang tumbuh begitu saja di dalam hati manusia. Cinta? Sayang?
Meskipun tidak dapat dipungkiri, hal itu biasa terjadi pada kisah cinta di antara dua orang makhluk ciptaan Tuhan. Namun, yang saya rasakan kali ini sungguh berbeda. Merasa pulang, berada di rumah, berani melepaskan jiwa yang terkekang. Merasa hidup. Merasa berarti.
Persahabatan itu sederhana.
Sesederhana kebahagiaan yang tiba-tiba ada di antara kita. Tawa lepas yang menggelitik telinga, tingkah laku unik, senyum tulus yang merekah dari bibir mereka...


Lucu.
Dulu, saya sempat berpikir bahwa persahabatan sejati hanya ada di dalam film maupun novel. Tidak ada yang berwujud nyata. Apalagi ditambah dengan pengalaman-pengalaman bersahabat saya. Mungkin saya sempat merasa sangat-sangat dekat dengan beberapa orang, lalu men-judge mereka sebagai sahabat. Karena perasaan nyaman itu.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah berbeda sekolah dan jarang berkomunikasi, kami pun merenggang. Kehilangan. Lalu, proses pencarian sahabat-dalam-arti-sesungguhnya pun terus berlanjut.
Memasuki fase remaja, beberapa dari sahabat itu mulai muncul ke permukaan. Radarku pun menangkap sinyal-sinyal kecocokan dengan mereka. Pertemuan-pertemuan dan kebersamaan yang terangkai baik secara disengaja maupun tidak disengaja telah menguatkan kami ber-18.
Ya, kami sempat berbangga dengan keluarga baru kami: TAPE
Pasca-kelulusan dari 'masa putih abu-abu', ketakutan itu sempat muncul lagi. Akankah kehilangan lagi? Mencari lagi? Ataukah mampu bertahan hingga... batas-waktu-yang-tidak-dapat-ditentukan?
Saya mengenyahkan pikiran buruk itu. Dan waktu terus berputar, menjawab teka-teki yang memang saya takutkan sejak awal kebersamaan kami.
Perlahan, satu per satu dari kami menjauh. Ada yang membentuk 'keluarga' baru di luar sana. Ada pula yang memilih individual. Entah, apakah saya, Jeje, Astri, dan Naila adalah sisa... atau justru yang termasuk menjauh juga.

"Jadi, tinggal segini?"

Life must go on.
Pekuliahan pun dimulai. Tentu saja kami semakin terpisah. Tidak ada satu pun di antara kami yang satu jurusan. Kalaupun ada, hanya satu fakultas. Akankah kembali merenggang?
Alhamdulillah, ternyata tidak.
Kami justru semakin melekat satu sama lain. Bahkan, saya akui. Saya tidak menemukan sahabat-sahabat seperti mereka di jurusan atau pun di fakultas saya. Saya lebih dekat dengan mereka, meskipun dengan pertemuan setiap dua minggu sekali, bahkan sebulan sekali. Saya pun heran, dengan pertemuan yang jarang ini, hati kami tetap terpaut satu sama lain...
Erat.
Terima kasih kepada AstriJejeNaila, dan Nita. Sahabat, keluarga, sekaligus separuh tulang rusuksebutan dari Nita—yang selalu ada, selalu setia. Saya tidak menginginkan kesempurnaan dalam persahabatan ini. Karena ketidaksempurnaan kita akan menyempurnakan satu sama lain.
Semoga bertahan sampai...
kita berada di surga nanti
bersama kembali.

Dari seorang yang kece...mutan, untuk para sahabat kece...pian.

Minggu, 27 Januari 2013

Still?

"...kadang, putus secara baik-baik itu menyiksa."

Chat dengan Astri


Ada

aku ada
jika kau ingin bicara
aku ada
jika kau ingin bercerita
tetapi jika kau memilih memendam
pun tak apa
aku tetap ada
mengamati gelisahmu
sendiri
tanpa perlu kau ketahui

Sabtu, 26 Januari 2013

Tertinggal

Sepagi ini, dan saya sudah merapikan kamar. Yaaa, meskipun saya tidak sedang jatuh cinta, tetapi apa salahnya merapikan kamar yang memang bentuknya sudah tidak karuan pascaliburan ini?

Dan ternyata, kepingan itu berawal dari sini.

Saya merapikan tumpukan tas yang letaknya di sebuah meja kecil di bawah cermin. Beberapa tas saya pisah, karena tidak semua tas layak pakai di sana. Ketika membongkar-bongkar isi tas, saya menemukan dompet yang sudah lama tidak tersentuh oleh saya. Iseng, saya pun membukanya.
Dan...
Beberapa potongan kertas menyembul dari salah satu bagian dompet. Saya mengambilnya dengan perasaan entah-sulit-dituliskan-di-sini.
  1. Dua buah tiket film "Perahu Kertas" di Detos. Sabtu, 18 Agustus 2012.
  2. Satu buah tiket film "Paranormal Activity 4" di Margo City. Minggu, 11 November 2012.
  3. Bill pembayaran di Zoe Restaurant. Sabtu, 18 Agustus 2012.
  4. Satu tiket masuk Museum Wayang, Kota Tua. Kamis, 14 Juni 2012.
  5. Dua buah tiket Trans-Jakarta. Kamis, 14 Juni 2012.
  6. Tanda bukti parkir motor di Ragunan pintu timur. Kamis, 14 Juni 2012.
  7. Sepotong kertas bertuliskan................*sensor*
Tanpa bermaksud mengusiknya lagi, saya segera memasukkannya kembali ke dalam dompet. Menutupnya rapat-rapat, berharap apa yang saya temukan tadi tidak terbawa ke dalam pikiran. Menghempaskannya jauh-jauh dan menguburnya kembali.
Saya tidak menyesal merapikan kamar pagi ini. Yang saya sesalkan adalah...

"Kenapa masih ada yang tertinggal... 'di sini'?"


Remember?

“Will you remember how we are? Will you stay with me when I try to be a better one for you in this new world?”

(Nadya Fatira - A New World)


Jumat, 25 Januari 2013

Strength

Aku tidak selemah yang kau bayangkan.


...juga tidak sekuat yang kau pikirkan.

#nowplaying Somebody That I Used To Know

Goodbye

"There’s a 'good' in goodbye..."

Kamis, 24 Januari 2013

Asap


kepada kalimat yang belum terucap
sampaikan segala isyarat berupa asap
melayang tanpa bimbang
membaur bersama angin tempatnya terkenang

sudah kukatakan, aku tak kan pergi
namun lisanmu membakar hatiku
maka perasaanku pun tinggallah abu
yang kini kau sesali sampai mati

Kau Serupa Puisi




Kau serupa puisi
Yang kutulis setengah jadi
Pada lembaran kisah sepi
Meneguk rindu tanpa prediksi
Membabi buta menerka mimpi
Padahal hanyalah ilusi

Kau serupa puisi
Yang selalu paling dikagumi
Karena rangkaian kata tersusun rapi
Memancarkan keindahan surgawi
Menjalar ke sudut hati paling sunyi
Menebar gejolak tak terperi

Kau serupa puisi
Menarik ujung-ujung bibirku hati-hati
Merekahkan senyum penuh arti
Meski hanya sesaat dinikmati
Meninggalkan jejak eksotisme penuh misteri;
Kaukah puisi ini?

Rabu, 23 Januari 2013

Hadirkan Aku Dalam Mimpimu

secarik kenangan bergoreskan kisah tanpa judul
biarkan mendekam dalam sepi
tanpa arti; berdiam diri
memberi ruang pada bayang yang memantul

membatasi batas, menyelami kedangkalan
agaknya segala terasa hambar
serupa tak tergenggamnya angan
bergemul dalam rangkaian mimpi dengan sabar

bahkan ketika aku pun menyadari
dulu tak ada aku; tak ada kita
kau tak menyertakan aku dalam sebaris mimpi
yang kau rangkai secara sempurna

awanku runtuh menjadi gerimis
kau tak menginginkan basah
aku menepis
mengapa jadi serbasalah?

punggungku memunggungimu
hadirkan dulu aku dalam mimpimu
barulah kau datangi aku
memohon agar kembali padamu

menciptakan berlembar-lembar halaman mimpi
kita; bukan kau
tak kuinginkan kebersamaan semu
karena nyata dapat dirasakan sampai mati, nanti.

Selasa, 22 Januari 2013

Elegi


Jiwamu mendesak, mencari kepingan yang dulu kau biarkan luruh
bersama hujan petir serta gemuruh
Menggenangi dataran hampa yang kau sebut sebagai hati
Oh. Kau punya hati?
Aku menunduk
Tak ingin tahu lebih banyak tentangmu; tentang kita
Kau bilang, tak perlu peduli tentang hari esok
Bumi akan berotasi dan berevolusi dengan sendirinya, tanpa perlu kau ambil pusing apa yang akan terjadi di masa yang akan datang
Ketika suatu hari kutanyakan, “Mau ke mana kita?”
Kau hanya tertawa sambil menuntunku untuk menikmati perjalanan ini
Bagaimana mungkin aku menikmatinya, sementara tujuannya pun tak kuketahui?
Pola pikirmu sungguh di luar kemampuanku
Mungkinkah kau terlahir dengan panca indera lebih?
Seakan kau tahu segala, semua, semesta
Sedangkan aku berjalan di sampingmu
Hampir tersesat
Sebelum akhirnya memutuskan berbalik arah dan mengambil jalan lain
Memunggungimu, tanpa berbalik lagi
Keping itu dengan sempurna terbagi menjadi:
elegi

Misteri Pagi



Pagi selalu memiliki misteri tentang ruang ingatan yang seharusnya terkunci rapat. Membangkitkan gejolak yang selalu kauhindari pada malam sebelumnya. Bagaimana langit membiru, padahal separuhnya masih menyimpan gelap? Bagaimana semesta sepakat untuk mengingatkanku padamu? Apa daya mengelak, bila kenyataannya, pagi selalu dapat menerima maaf tak bertuan. Pagi, aku tak ingin terjebak dalam misteri ini lagi. Izinkanlah aku menyendiri.
Tanpa pagi.

Senin, 21 Januari 2013

Tiga Pasang Mata

Langit sore memancarkan rindunya pada sang malam. Siluet jingga mendekap erat batas bumi. Perlahan, sang matahari bergerak turun. Menghilang di batas siluet itu dan akan kembali lagi esok hari. Lampu-lampu di sepanjang jalan kota Jakarta mulai menampakkan cahayanya. Kemacetan bak kunang-kunang bercahaya merah, putih, dan kuning di malam hari. Cantik.
Perempuan di sebelahku menyibakkan rambut ikalnya yang dibiarkan tergerai. Ia akan terlihat sempurna dilihat dari sudut manapun. Ia memiliki segalanya; kecantikan, suami tampan yang kaya raya, karier yang melejit, seorang anak perempuan cantik jelita. Sempurna.
Tangan kirinya meraih ponsel dari dalam tasnya. “Jakarta macet gini, kabarin si Inka kalo kita telat,” ia menyodorkan ponselnya padaku. Aku menerimaya dan segera mengirim sebuah pesan singkat kepada Inka.

“Kayaknya kita perlu ambil jalan pintas. Balik arah deh,” pintaku.

Ia tampak berpikir sejenak dan memutar kemudi. Kami melewati jalan sempit yang hanya dapat dilewati satu mobil. Ia menggerutu kesal, takut mobil barunya lecet. Ia berceloteh dan memaki setiap orang yang mengganggu jalannya. Aku hanya diam, karena yang ia perlukan saat ini bukanlah mulut untuk berdebat, namun telinga untuk mendengarkan.

Ia ingin didengarkan.

***

Pukul 19.05 WIB kami tiba di sebuah kafe di kawasan Kelapa Gading. Seorang wanita berkerudung biru melambaikan tangan ke arah kami: Inka.

“Kalian sukses bikin gue nambah hot cappucino tiga kali, tau nggak?”
Kami tertawa kecil.
“Siapa suruh ketemuan di sini, di hari kerja pula. Kayak nggak tahu Jakarta aja!” balasku.
“Tempat ini rekomendasi dari Gina loh,” Inka melirik Gina.

Gina menyatukan kedua tangan di depan dada sambil tersenyum tanda permohonan maaf. Kami mendaratkan cubitan lembut di pinggangnya. Ia terkekeh geli.

Sebuah meja berbentuk persegi yang diisi oleh tiga orang wanita yang sibuk dengan dunia kami sendiri. Kami tidak memerlukan orang lain ketika kami sedang berkumpul seperti ini. Dunia ini milik kami. Titik.
Kami tidak memerlukan banyak kata-kata untuk mengungkapkan apa yang kami rasakan. Aku memandangi Inka dan Gina. Mata mereka berbicara sangat lantang pada mataku. Kutemukan mata Gina yang memancarkan luka. Kudapati mata Inka yang rapuh. Dan mungkin, mereka akan melihat gemuruh tak beraturan di dalam mataku. Entah.

Mata kami berbicara dalam diam.

Inka menarik napas panjang. Kami terus menatap matanya, menuntut penjelasan. Ia tersenyum dan kerapuhan itu semakin jelas. Ia mengusap punggung tangan kami yang menyatu di atas telapak tangannya. Tanpa kata, tanpa isyarat, dan kami mengerti.
Mata kami beralih ke Gina. Sosok wanita sempurna ini menampakkan lukanya di dalam bola matanya. Luka tentang kehadiran orang ketiga dalam rumah tangganya. Ia menangis di dalam matanya, tanpa airmata, namun kami mengusap lembut pelupuk matanya seakan ada air di sana. Ia tersenyum dan mengangguk. Kami mengerti.
Aku. Gina mengerlingkan matanya padaku sambil tersenyum usil. Padahal aku baik-baik saja, kurasa. Inka mencubit pipiku lembut, “Lagi jatuh cinta sama siapa sih, Non?”

Aku terkesiap. Pipiku terasa panas.

Mereka menangkap debar ini. Mereka membaca mataku. Kami saling mendengar mata kami berbicara. Kami tertawa selagi ada. Kami bahagia selama kami bersama. Kami melupakan dunia yang lain selagi terjebak dalam dunia kami ini. Kami tahu, semua akan baik-baik saja...

...selama kami ada bertiga, dengan mata yang selalu berbicara tanpa kata.
Kami mengerti.


Kamis, 17 Januari 2013

Sebelum Memiliki


Matanya menatap kosong pada jendela kamarnya yang berembun. Hujan rintik-rintik hadir lebih awal daripada sang fajar. Kemeja hitam membuat lelaki berkulit putih itu tampak lebih cerah. Kontras dengan warna kulitnya. Sayangnya, matanya memancarkan sendu tak yang tak dapat diukur dengan satuan apa pun.

Ia kehilangan, bahkan sebelum ia sempat memiliki.

Namanya Fikar, namun perempuan itu memiliki panggilan khusus untuknya. “Fi” sudah cukup untuk membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Fikar tahu, hanya Nafi yang akan memanggil dengan panggilan itu.
Fikar tersenyum tipis. Ia bangkit dan berjalan meninggalkan kamarnya. Menuju rumah sebelah yang telah ramai sejak semalam. Pesta kepergian sedang dirayakan di sana. Hujan turun semakin deras. Fikar bersumpah, ia akan membenci hujan setelah hari ini.

***

Satu bulan sudah, Nafi berada di dalam ruangan ini. ruangan putih yang selalu rutin dikunjungi oleh orang-orang berseragam putih. Ia tidak bahagia, namun tetap ingin tersenyum. Berharap mukjizat yang nyata segera menghampiri setiap insan yang tersenyum. Nafi tahu, ia merindu. Merindu kepada lelaki yang tak sepatutnya ia rindukan.

Mencintainya hanya akan membuatku semakin sulit untuk pergi, batinnya.

Selang infus yang terhubung ke pergelangan tangannya tidak menyurutkan jemarinya untuk tetap bergerak. Menulis, menulis, dan menulis. Tanpa banyak berharap tulisannya akan dibaca. Ia menumpahkan segalanya.

Rindu. Cinta. Sepi. Sakit. Pergi.

Tulisan tangannya berhenti, tepat setelah huruf ‘F’ dan “i” tertulis di kertas itu. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Meninggalkan bercak merah basah pada baju biru yang dikenakannya. Hening. Beberapa menit kemudian, terdengar jeritan adiknya memanggil perawat. Nafi tak bergeming. Selamanya.

***

Teruntuk sahabat, kerabat, sekaligus cinta yang tak pernah kumiliki: Fi

Fikar terpaku memandangi tulisan tangan itu. ia tahu, segalanya terlambat. Andai dulu ia lebih berani mengungkapkan perasaannya kepada sahabat kecilnya itu. andai dulu ia tidak mengambil kuliah di London. Andai dulu ia menemani Nafi di rumah sakit...

Andai. Semua akan tetap menjadi “andai” yang abadi. Ia memeluk batu nisan itu. Tanpa suara, membisikkan cinta yang hanya mampu dipahami oleh semesta.

November


November telah pergi
Menyudutkanku dalam angan sepi
Harapan yang terhampar luas
Seakan belum mampu mengubur luka tak bernama
Kau mendera sepi
Aku menyangsikan sunyi
Pada akhirnya,
Kata “kita” hanya akan menjadi abu
Sebab cinta yang dulu hadir
Membakar ingkar
Tanpa sisa

Minggu, 13 Januari 2013

Kita: Jeda, Jarak, dan Batas

Gelap yang pekat menusukkan kebekuan
di antara jeda
di antara jarak
di antara batas
yang mungkin tak pernah tercipta
di antara kita

Dinginmu membunuh hangatku
Meragu dalam kalimat yang menggantung:
"Adakah kau untukku dan aku untukmu?"
Sunyi
malam tak peduli meski aku memaki

Bulan bergerak menjauhiku
Bintang berserakan dalam gelap
Lihat, aku tak berkawan
Pada sepi aku berlabuh
pada kata-kata aku bercerita
Tentang dingin dan hangat
yang melebur tanpa suara
tanpa rasa
dan mati bersama.

Sabtu, 12 Januari 2013

Remember When



Kali ini, gue mau bahas tentang novel Winna Efendi yang berjudul “Remember When”. Awalnya, gue dapet pinjeman novel ini dari Nita dan langsung aja gue bawa pulang. Dari cover-nya, gue udah bisa nebak kalo novel ini pasti bernuansa galau-galau gitu. Di cover-nya terdapat gambar sebuah tas merah, cardigan putih, dan payung, semua itu ada di atas bangku kosong dengan suasana latar hamparan langit kosong juga. Galau banget, kan?
Tema yang diambil dalam novel ini sebenarnya sudah biasa, namun Mbak Winna mengemasnya menjadi rangkaian cerita yang luar biasa. Pembaca seakan bisa merasakan gejolak emosi tiap tokoh dalam novel ini, karena penulis menggunakan sudut pandang orang pertama untuk tiap tokoh; Freya, Moses, Adrian, Gia, dan Erik.
FYI, novel ini bener-bener ‘SMA banget’ dan hati-hati kalau sampai bernostalgia dengan masa putih abu-abu kalian, ya. Hmm...
mau tahu cerita lengkapnya? Silakan baca sendiri :P

“Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.”Winna Efendi, Remember When

Selasa, 08 Januari 2013

Take It All Away


Mengunjungi perpustakaan di siang ini merupakan ide terburuk sekaligus ide terbaik di hari ini. Pertama, teriknya matahari di kota perbatasan Jakarta dan Depok ini sungguh tidak dapat ditolerir. Kedua, buku pinjaman yang kucari-cari sejak sebulan yang lalu, belum juga dikembalikan oleh sang peminjam. Novel karya Fira Basuki ini memang hanya ada satu, dan pastinya menyita perhatian para pecinta buku di perpustakaan ini. Dan yang terakhir, ini merupakan takdir yang memaksaku untuk membongkar sedikit memori masa lampau bersama seseorang bernama Garry.

Berawal dari rak buku deret 800-an, di sinilah mataku menangkap sosok berbadan tegap itu. Matanya meloncat dari satu judul buku ke judul yang lain. Rambutnya yang ikal tampak lebih panjang daripada saat terakhir aku bertemu dengannya. Gelang tali berwarna merah dan hitam yang senantiasa melingkar di pergelangan tangan kirinya ternyata masih ada. Sepatu kets biru yang senada dengan kemejanya menambah pesonanya di mataku.

Sialnya, aku hanya menjadi pengamat di balik rak berisi ratusan buku-buku ini. Tanpa sepatah kata pun, mataku tetap waspada mengamati setiap gerakannya. Garry menggaruk-garuk rambutnya yang (mungkin) tidak gatal. Sebuah bahasa tubuh yang menandakan ia sedang kebingungan.

Cari buku apa? Bisa kubantu?
Aku tersenyum kecut. Bisakah kalimat-kalimat itu terucap dari bibirku? Kulongokkan kepalaku lagi untuk memastikan Garry masih berada di tempat yang sama.
Aku panik. Tidak ada.
Kemudian sebuah tepukan lembut mendarat di punggungku.
“Tara?”
Aku tak berani menoleh. Suara itu...
“Hey, gue Garry!”
Akhirnya aku luluh. Aku membalikkan badan.
“Oh, hey... Ke perpus? Tumben. Buku? Cari buku apa?” kata-kataku mendadak tak beraturan.
“Cari novel nih.”
Sejak kapan Garry suka novel?!
“Nggak salah denger nih gue?” aku terkekeh.
“Bukan buat gue kok...” ia tersenyum tipis. Manis!
“Novel apa?”
“Jendela-jendela karya Fira Basuki.”
DEG. Itu kan novel yang sedang kucari-cari...
“Liat nggak?”

Aku menggeleng. Mataku masih tak mampu beralih dari sosok di hadapanku ini. Ia tak banyak berubah. Masih sama. Masih Garry yang dulu. Masih Garry yang seorang gamer lupa waktu. Masih seorang Garry yang cuek. Hanya satu perbedaannya...

Ia bukan lagi Garry-ku.

Menahun, kusimpan rindu beserta kecewa yang menyertainya ini rapat-rapat. Tak kuizinkan seorang pun untuk menyingkapnya, apa lagi mengetahui apa yang kurasa. Segala yang pernah ada di antara aku dan Garry, cukup sampai di sini. Tidak boleh melebihi batas yang telah kupasang sendiri.

Beberapa meter dari posisi kami, seorang wanita berambut hitam panjang digerai melambaikan tangan ke arah kami—yang ternyata ke arah Garry—sambil tersenyum.

“Ketemu nggak?”
“Nggak ada nih. Cari di tempat lain aja, ya,” Garry meraih tangan perempuan itu.
Aku mematung. Anggap saja aku tidak ada di tempat itu.
“Ra, kenalin. Ini Gita... Pacar gue,” Garry tampak ragu.
“Hai, gue Gita.” Perempuan itu menjulurkan tangan ke arahku.
Aku menyambutnya dengan sebuah jabat tangan yang terasa menyakitkan. Pacar?
“Ya udah, gue balik dulu, ya,”
Garry menarik lengan Gita. “Yuk.”

Dua punggung itu bergerak menjauh. Semua rindu dan kekecewaan yang telah berhasil kukunci rapat-rapat kini terbuka sudah. Mereka memporak-porandakannya hanya dalam hitungan menit.
Dan semua kembali ke masa kini. Tidak ada Garry yang dulu. Karena masa lalu tetaplah menjadi masa lalu yang tak berhak ditempatkan di masa depan.

You were the one and it was enough
To be the one you were dreaming of
You were the one and we called it love
And now you take it all away, take it all away...
(Take It All Away – Owl City)

Di Antara Masa Lalu dan Masa Depan

Mengais.

Hatiku tercecer bersama rindu yang menyertainya.

Pada setiap sudut kota yang pernah disinggahi.

Pada jalan beraspal yang setia menjadi saksi degupku

yang tak beraturan.

Kuraih satu per satu.

Segala cerita yang tak lagi hidup.

Kenangan.

Apakah ada yang tertinggal?

Kupastikan semua telah kembali ke tempatnya.

Kamu yang tetap berada di masa lalu,

Aku yang tetap berada dalam bianglala realita kehidupan.

Akan ada waktu, tempat, dan takdir.

Yang mungkin kelak akan mempertemukan kembali.

Mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan itu menjadi

rangkaian cerita baru

di masa depan

Selasa, 01 Januari 2013

Kejutan Dari Masa Lalu


Senyap. Dari kejauhan, hanya terdengar bunyi detak jam dinding di ruang tamu. aku pun tidak tahu apakah jantungku masih berdetak? Ia tak terdengar, bahkan di tempat yang sunyi seperti ini.
Tetiba, mataku terarah pada sebuah bingkai foto di sudut kamarku. Sebuah bingkai foto bewarna putih yang berbentuk seperti bianglala. Senyumku mengembang. Sesuatu di dalam dadaku meledak-ledak. Aliran darahku menjadi tak beraturan. Dan detak jantungku... kini nyata terdengar.
Enam tahun berlalu sejak pemberian bingkai foto itu. Seharusnya aku sudah lupa. Seharusnya tak perlu ada senyum dan degup tak beraturan ini lagi.

...dan ternyata aku masih (sangat) mengingatnya.

Seseorang yang kepadanya tak pernah kusangka-sangka hatiku akan jatuh di sana. Laki-laki aneh berambut ikal dan senyum manisnya yang khas. Matanya yang berbinar ketika melihat berbagai stuff di Festival Jepang. Wajah lugunya yang entah mengapa selalu dapat membuatku tertawa, bahkan ketika ia diam sekalipun.
Berbagai tempat saat kita menghabiskan waktu berdua, yang rasanya tak mungkin akan kulupakan. Setiap sudut kota Jakarta dan Depok memiliki cerita, bersamamu. Dulu.
Yang lebih menderitanya lagi, kampus kita pun menyimpan kenangan itu. Ditambah lagi dengan posisi fakultas kita yang berseberangan. Aku tidak mengerti, mengapa jarak yang begitu dekat ini pada akhirnya yang menyatukan kita sekaligus membunuh kita berdua.

Hening kembali.

Aku tak ingin berlama-lama mengintip masa lalu yang telah terkubur rapi. Segera kusibakkan jendela kamar. Ternyata matahari telah bersinar terang.

Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi.

Ponselku berbunyi, tanda sebuah pesan masuk. Nama pengirim dan isi pesannya membuatku terpelanting kembali ke tempat tidur. Apa yang telah terkubur selama enam tahun ini, menjadi kacau lagi. Memang tak sepantasnya aku menyimpan sesuatu yang tidak lagi menjadi milikku.

From: R
Hi guys, dtg ke pesta pernikahan gue ya. 20 Juni 2019 di Gd. Hotel Kartika. Garden party gt. Dtg ya! :D
-Rizal & Bunga-