Minggu, 30 Desember 2012

Kembali Hidup


Sinar matahari pagi menembus masuk melalui celah jendela yang terbuka. Sinar itu jatuh menerpa wajahku. Silau. Aku meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa pegal akibat timbunan asam laktat di beberapa bagian. mataku menyapu seisi ruangan. Di sini tidak ada kehidupan. Bahkan aku pun telah mati di depan pintu kamar ibuku sendiri.

Hatiku telah mati.

Perlahan, kuputar kunci dan membuka pintu kamarnya. Ia masih terlelap bak seorang balita. Wajahnya yang polos, pakaiannya yang lusuh, serta jiwa yang tidak lagi utuh. Mungkin Tuhan telah mengambil beberapa bagian dalam otak dan hatinya sehingga ia dapat memukuli ayah semalam.

Ah. Ayah.

Setelah dipukuli dengan berbagai benda yang ada di rumah, ia hanya menunduk terdiam. Ibu tetap meneriakinya tanpa ampun, “Laki-laki bejat!!! Pengkhianat!!!”
Kemudian ia pergi dengan tas ransel di punggungnya dan membawa satu-satunya barang berharga di rumah ini. Sebuah sepeda motor. Tanpa menoleh, ia terus melangkah menuju pintu. Mungkin, saat itu ia lupa bahwa ada seonggok daging yang berasal dari air maninya sedang menatap menuntut penjelasan dari balik punggungnya. Sampai ia menghilang di ujung jalan, aku menyadari bahwa aku telah mati.

Kehidupanku mati, dimulai sejak malam tadi.

***

Ia meraung-raung sambil mencakari tubuhnya sendiri. Darah mulai terlihat di sekujur lengan dan pipinya. Aku memeluknya erat sambil menahan airmataku yang hendak berontak. Tidak. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Harus.
Bahkan ia mulai mencakari lenganku yang sedang memeluknya. Aku meringis, menahan sakit. Sungguh, luka ini belumlah seberapa dibandingkan dengan luka di dalam hatinya. Kulihat ia mulai kelelahan. Ia tertawa dengan tatapan mata kosong, kemudian membeku tanpa suara.

Ternyata ia tersenyum...

Oh! Bukan! Ia menangis di balik senyumnya. Sebuah luka pengkhianatan ayah tergambar jelas di sana. Aku melepaskan pelukanku. Kutatap wajahnya yang penuh luka itu.

Benarkah wanita ini adalah seorang ibu yang telah melahirkanku?

Pikiran-pikiran jahat yang dikirimkan iblis mulai merasuk. Ingin rasanya kutinggalkan ia, berlari menjauhi wanita yang tak berjiwa ini dan menemukan hidupku kembali. Aku akan hidup bahagia untuk selamanya.

Sinar matanya meredup. Ia meraih bahuku dan akhirnya menangis histeris. Saat itulah, aku menyadari bahwa aku masih diinginkan; masih dibutuhkan. Tuhan tidak benar-benar membuat hidupku hancur.

Tak perlu lagi kutemukan hidupku kembali. Dua puluh tahun yang lalu, wanita inilah yang 
telah membantu proses kehidupanku. Dan saat ini pula, dialah alasanku untuk mencoba hidup kembali.

Tak lagi kuperlukan kebahagiaan dunia. Cukup di dalam peluknya, hidupku utuh kembali.


Jumat, 28 Desember 2012

Park Jun

Aku mencintai kesendirianku.

Hingga akhirnya kamu datang, mengubah segalanya. Sepasang mata sipit yang memandang kagum pada kebudayaan Indonesia, seulas senyum dari bibir tipismu, suaramu yang terdengar aneh, namun ternyata membuatku menjadi pecandu-garis-keras-senyummu.

Aku tidak ingin sendiri lagi.

Menikmati kuliner khas Indonesia adalah rutinitas kita setiap malam Minggu. Aku dan kamu, berdua. Setiap warung makanan yang kita kunjungi pasti menatap kita heran. Seorang perempuan berkulit cokelat sedang makan berdua dengan lelaki sipit berkulit putih dengan senyum yang mempesona. Sungguh bukan suatu keselarasan.

“Ini namanya pecel lele, Jun.”
“Pecel lele nikmat tidak?”
“Banget!”
Pesanan kami datang. Kamu menatap ikan lele yang masih mengepul panas itu dengan tatapan kagum.

Ternyata justru aku yang semakin kagum. Padamu.

Malam kesekian, kita melewati wisata kuliner ke berbagai penjuru Jakarta. Kamu bilang, Jakarta adalah kota yang indah, namun kamu selalu tidak suka dengan kemacetannya. Aku katakan bahwa Jakarta tanpa macet adalah bukan Jakarta. Kamu terkekeh.

“Minggu depan kita UAS, ya, Nit?” tanyamu.
Aku mengangguk sambil menyuap nasi goreng.

Tiba-tiba raut wajahmu berubah. Cahaya matamu meredup. Kamu mengajakku pulang meskipun nasi goreng kita masih tersisa di piring. Aku bertanya-tanya, dan kamu hanya diam. Kita menyusuri sepanjang jalan tanpa sepatah kata pun.

“Belajar yang rajin, ya. Nilai kamu harus bagus di semester ini!” suaraku memecah keheningan kami.
Kamu menoleh ke arahku. Tanpa ekspresi.
“Kenapa?”
Matanya seakan ingin berbicara. Mataku dan matamu. Bertemu dalam satu titik. Degup jantungku menjadi tidak stabil. Pipiku memanas.
Ia hanya menggeleng lemah. Matanya kembali menatap lurus ke depan.
“Aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu di negara ini. Jangan lupakan aku, ya,” katamu, pelan.

Lagi-lagi, aku tidak mengerti. Bukankah kita masih memiliki banyak waktu untuk bersama? Aku belum mengabulkan permintaanmu untuk pergi ke Monas, belum menikmati semilir angin di Pantai Anyer, belum memasakkan tempe bacem kesukaanmu, Park Jun...
Tanganmu menggenggam tanganku, namun tatapanmu tetap lurus ke depan.

Dadaku bergemuruh hebat.

***

Suasana kelas mendadak ramai.
“Selamat tinggal, UAS! Hahaha!” teriak salah seorang temanku.

Liburan panjang akan segera dimulai. Aku pun telah menyiapkan berbagai rencana yang belum terwujud bersamamu. Aku tersenyum, tak mampu menyembunyikan kebahagiaanku.

“Nita, aku ingin bicara...” tiba-tiba kamu muncul di hadapanku.
Aku pun mengikutinya berjalan keluar kelas dan berhenti di salah satu koridor.
“Semester ini telah berakhir. Sebelumnya, aku minta maaf karena tidak memberi tahu kamu lebih dulu. Aku akan kembali ke Korea. Aku berharap semua akan baik-baik saja.”
Rencana liburan yang tersusun di kepalaku hancur seketika. Dadaku terasa ngilu. Perih di bagian hati.
“Nita, andai aku bisa lebih lama di sini. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama kamu. Tetapi aku tidak bisa...”

Ternyata aku akan sendiri lagi. Seperti saat sebelum aku mengenalmu.

“Hati-hati, ya. Kamu harus jadi orang hebat di negaramu,” kataku sambil tersenyum. Dadaku semakin sakit.
“Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?” kamu menatap mataku.
Aku tertawa kecil. “Semoga kita bisa bertemu lagi,” bisikku.

Kamu meraih lenganku, kemudian memelukku erat.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membalas pelukanmu. Untuk terakhir kalinya. Kubiarkan kamu merasakan detak jantungku. Airmataku tumpah seketika. Bibirku bergetar ingin mengucap, namun suaraku lenyap.

Ternyata aku mencintaimu, Park Jun.

Jalan Pulang

Cinta tidak membutuhkan jalan pulang. Karena cinta itu sendiri adalah tempatmu untuk pulang. Tidak perlu bertanya di mana, jika kamu menemukan seseorang yang dapat membuatmu merasa seperti sedang di rumah, maka dialah cintamu; jalan pulangmu.

***

"Kamu temenin aku, ya?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ada urusan lain. Kenapa sih, mau ngasih cincin aja minta temenin. Itu kan urusan kalian," nadaku mulai ketus.
Kamu menatapku tidak percaya. Wajahmu yang sendu diarahkan ke jendela. Embun masih menempel di sana.

Embun saja selalu setia kepada pagi.

Jangan tanya sudah berapa tahun seperti ini. Sejak aku belum mampu menggambar lingkaran dengan sempurna, sampai kita telah merancang berbagai desain grafis saat ini, kita masih selalu bersama. Terlalu sering kebersamaan ini tercipta. Matamu seakan menutup rapat hatiku. Tidak ada yang lain. Ternyata diam-diam kamu menyusup ke dalam sini. Mengunci rapat logikaku tentang segala kemungkinan untuk tetap bersamamu; berdua.

"Beneran nggak mau?" tanyamu lagi.
"Ya," aku menunduk.

Tiga minggu yang lalu, kamu datang ke rumahku dengan wajah sumringah. Kamu bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah aku ingin untuk kudengar. Ingin kututup telingaku, namun tidak bisa. Mau tidak mau, harus kudengarkan ceritamu itu.

"...cantiknya sih biasa aja, tapi senyumnya memikat banget!"
"Hmm..."
"Nanti malem mau gue ajak dinner. Doain, ya. Semoga sukses. Hahaha!"
Kepalaku mengangguk. Hatiku menggeleng.

Sejak saat itu, aku kebingungan mencari jalan pulang. Ke mana? Aku terhempas. Terpinggirkan. Kamu tampak mulai khawatir, namun selalu kutepis dengan kalimat, "Aku baik-baik aja kok!"

***

Hari itu pun tiba. Proses "pemberian cincin" darimu untuknya. aku mengurung diri di kamar seharian. Ditemani hujan, aku mencoba melupakan segalanya. Segala tentangmu, tentang kita, tentang tempat-tempat di mana kita biasa pergi bersama...

Tenyata permanen. Tidak dapat dihapus.

Suara ketukan pintu mengembalikanku ke dunia nyata sejenak. Lagi-lagi, dadaku terasa sakit. Oh, lebih tepatnya hati.
Pintu terbuka. Sakit itu semakin jelas menusukku.

"Ngapain ke sini?"
"Loh, bukannya kamu udah tau?"
Aku membuang muka. Tidak peduli. Meskipun tidak mengerti apa yang ia katakan.
"Kamu benar, Ras. Cinta akan selalu membawaku kembali pulang. Seberapa jauh pun kita melangkah, kaki ini akan selalu kembali lagi menuju jalan pulang..."
Jalan pulang? Cinta?
"Ras, kamu adalah rumahku. Jalan pulangku selama ini. Wanita itu... Kamu!"
Aku membeku. Sebuah cincin berlian terpasang anggun di jari manisku.
Selamat datang di rumah, Cinta.

Kamis, 27 Desember 2012

Cerita Tentang Hujan


Hujan pernah menjadi bagian cerita favorit kita.

Ketika hujan membuat kita lebih lama berdiam diri di kantin kampus. Ketika hujan membuatmu merelakan jaketmu untuk kukenakan. Ketika hujan memaksa kita untuk berlari berdua menerobos derasnya sambil tertawa bersama.

Hujan pernah memiliki cerita tentang kita.
Ya. Pernah.

Karena sekarang, tidak lagi. Tidak ada lagi cerita tentang kita di antara rintik-rintik air itu.

Tidak ada.

Semua, segalanya, telah hanyut terbawa aliran air hujan. Entah bermuara di mana.

Puisi Kamis


Ternyata hari Kamis
Senyumku menipis
Bayangmu kutepis
Langit pun menangis
Hatiku miris
Sekadar hujan atau gerimis?
Terlalu melankolis
Atau memang aku yang puitis?
Perlahan, rinduku terkikis
Segala harap menipis
Redakan tangis
Senja tersenyum manis
Inilah metamorfosis
Kisah rindu tragis

Senin, 24 Desember 2012

Sayap Masa Depan

Pernah ada suatu masa, di mana kita berbahagia dengan "kita". Bahagia
yang tak ternilai dan tak mampu disandingkan dengan apa pun. Bahagia
yang hanya kita berdua pahami.

Sayap itu pun mengembang. Sayap tipis dan rapuh, membuat segalanya
terasa utuh. Bahagia kita lengkap sudah. Pada waktu itu, kita terbang
dengan sayap baru kita itu berdua. Dan lagi-lagi, bahagia yang hanya
kita berdua pahami itu muncul.

Kemudian, kita saling merasa lelah untuk terbang, dan memutuskan untuk
berhenti sejenak. Ternyata, tanpa sayap untuk terbang pun, bahagia itu
bisa datang dari mana saja. Kita kembali berbahagia dengan sayap yang
telah ditanggalkan.

Namun, ketika kita ingin terbang lagi, berbahagia berdua lagi, sayap
itu tak dapat lagi digunakan. Kita panik. Aku mematahkan sayapku
untukmu, dan kau mematahkan sayapmu untukku. Sayangnya, kita tetap tak
dapat terbang. Kita justru membuat kemungkinan untuk terbang itu
semakin kecil. Kita terluka, menyimpan patahan sayap masing-masing,
dan tak pernah lagi terbang berdua.

Suatu hari, aku melihat seorang bidadari memberikan sayap baru
untukmu. Kamu pun kembali dapat terbang, namun tak lagi bersamaku.
Seseorang yang lain telah menyempurnakan sayapmu.

Aku tersenyum. Kelak, akan ada juga seseorang yang akan menyempurnakan
sayapku kembali. Aku memeluk patahan sayapku saat bersamamu dulu,
kemudian membiarkan angin menerbangkan sayap itu. Karena menyimpannya
pun tak ada arti. Seseorang di luar sana telah menyiapkan sayap yang
lebih indah untukku.

Minggu, 23 Desember 2012

Merindu

Malam membeku
Aku (masih) tidak ingin merindu
Kamu, tentangmu
Semua terlihat semu
Tetapi apa dayaku?
Ternyata aku tetap menunggu
Tetap merindu
Meski bukan inginku
Inilah hatiku

Sabtu, 22 Desember 2012

Ibu, Kertas, dan Pensil

Satu-satunya yang kuingat dari masa kecilku bersamanya adalah ketika
ia mengambilkan selembar kertas dan sebuah pensil untukku. Kemudian,
ia duduk di sampingku, menemaniku menggambar dan menulis sesuka
hatiku.
Ibu, aku amat bahagia saat itu.
Karena saat itu adalah awal di mana aku berani menggambar dan menulis.
Apalagi ketika ibu berkata, "Dhilla mah hobinya gambar dan nulis
terus. Tapi gapapa sih, gambarnya bagus."
Ada rasa percaya diri yang muncul setelah mendengar ibu berkata
demikian. Aku pun rajin menonton kartun di TV kemudian menulis ulang
ceritanya di buku tulisku. Lalu, kugambar tokoh-tokoh yang ada di
ceritaku tersebut.
Suatu hari, pernah aku mencoba menjual karya-karyaku ke teman di SD.
Kuberi harga Rp500,00 per cerita. Aku sangat bahagia, ternyata ada
juga yang membeli hasil karyaku.
Dan sekarang, menulis merupakan bagian dari hidupku. Ibu memberiku
kekuatan hingga detik ini dan selamanya.

Meski tanpa bapak di sisinya, ibu tetap menjadi wanita tegar dan
sabar. Mulai dari memasak sampai mencuci baju, ia lakukan sendiri.
Ke mana aku? Adik-adikku? Kami terlalu egois untuk melihat pekerjaan ibu.
Ibu, jika tanpa doamu, entah apakah hari ini aku masih mampu berdiri
menghadapi berbagai rintangan hidup ini.

Ibu, aku malu. Aku ingin memelukmu, meminta maaf padamu. Tetapi pagi
ini, aku hanya menyapamu sekadarnya. Ya Allah, sampaikan isi hatiku
ini kepadanya, "Aku...menyayangimu, bu."

Rabu, 19 Desember 2012

Ini Puisi Sepi


Malam yang sunyi mengubur sepi.
Karena sewajarnya, kau di sini.
Duduk bersamaku, menikmati langit gelap yang mati.
Ketika kau pergi, dulu. Sebelum hari ini.
Namun, sepi tak ada arti.
Bila bersama pun tak menyehatkan hati.
Meski rindu tak juga tersembunyi.
Ada perih menyusup ke dalam hati yang telah terkunci.
Apa daya, ini harusnya telah terlewati.
Menengok ke belakang tak akan mengobati.
Kau dan aku, nanti.
Pasti memiliki cerita tentang hati.
Yang (mungkin) akan bertemu kembali.
Suatu hari.

Selasa, 18 Desember 2012

Yang Tertinggal

Suara tepuk tangan bergemuruh di aula gedung SMA-ku. Teman-temanku
bersiul dan meneriaki namaku dari bangku penonton. Aku membuka mata...
Setangkai bunga pemberiannya masih kugenggam. Aku gemetar. Ia
menghilang di balik panggung.

Selama dua bulan, aku selalu ditatapnya. Tangannya selalu
menggenggamku. Meskipun hanya dalam sebuah... drama.

Para pemain teater bersorak girang. Ada yang melompat-lompat, bahkan
melempar kostum mereka. Aku masih terdiam. Sudut mataku menangkap
bulir air yang hampir tumpah membasahi pipi.

Kehilangan?
Ah. Bukankah ini hanya sebuah pementasan teater?

Ia menoleh dan tersenyum ke arahku. Kubalas senyumnya dengan sewajar mungkin.
Bunga pemberiannya tadi masih kugenggam. Kusadari bawa aku
benar-benar tak menginginkan akhir pementasan ini.

Rupanya ada yang tertinggal. Semua tentangnya. Tentang pementasan
teater kami. Biarlah semuanya tetap di sini. Kusimpan seorang diri.

Sabtu, 15 Desember 2012

R4♥


Jika aku memiliki malam gelap yang kosong, maka mereka adalah tiga buah bintang yang muncul untuk menyinari malamku. Tanpa mengharap sang bulan akan hadir menemani ataupun tidak, mereka pasti muncul. Terkadang berjauhan, terkadang sangat dekat. Namun, satu yang pasti; mereka selalu ada.

Teruntuk Astri Ratnasari, Naila Syahidah, dan Zaenab Lubis, yang telah menjadi bintang untukku. Meski pagi datang, pesona sang bintang tidak akah pernah terlupakan. Pagi akan selalu merindukan malam dengan tiga bintang seperti kalian…




Jumat, 14 Desember 2012

(bukan) Puisi Galau


Aku melesap
Dalam bayang tak berbentuk
Berharap lenyap?
Mungkin
Hati yang mengambang
Pada impian semu
Tak terbendung
Lukanya tumpah
Membasahi pipi
Kemungkinan ada rindu
Yang sedang bergentayangan
Merasuk dalam jiwaku
Atau hanya pilu?
Segera kubasuh luka dengan asa
Bahwa hari esok ada
Untuk kugenggam
Bersamamu
Masa depanku

If you don't let him go

Dia masih duduk dengan posisi yang sama. Matanya menatap kosong pada
langit senja yang kelabu. Titik-titik air mulai menyentuh kulitnya. Ia
tak bergeming, justru tersenyum.
"Dulu, kamu pernah hujan-hujanan demi aku," katanya sambil tersenyum.
Hujan mulai turun deras. Kilat menyambar dari berbagai penjuru langit.
Dia masih terus tersenyum meski badannya menggigil...

***

Padahal seharusnya...

Dia menikmati hembusan angin malam di bawah menara yang selalu ia
kagumi sejak kecil, Menara Eiffel. Tiba-tiba seseorang memeluknya dari
belakang.
"Ummi!" jerit anak itu sambil menggelayut manja di bahunya.
Dia menoleh dan segera merapikan kerudung anaknya itu sambil tersenyum lembut.
"Sudah puas mainnya? Ayo kita pulang, Abi sudah menunggu di rumah,"
katanya sambil menggandeng tangan mungil putrinya.

We will never be the same

Sebaik apa pun kita berusaha memperbaiki, selucu apa pun kita
berceloteh humor, sekeras apa pun usaha kita menutupi luka...
Kita tidak akan pernah kembali menjadi seorang "teman" seutuhnya.
Karena kita pernah berada dalam posisi lebih dari itu. Lebih. Lebih
dari sekadar teman.

(bukan) 14 ke-6

141212.
"Jika saja aku tidak memberanikan diri untuk mengutarakan isi
hatiku... Jika saja kamu lebih berusaha mempertahankan..."

Ah. Tidak.
Kalaupun bukan karena keberanianku maupun kepasrahanmu, suatu saat
kita pasti akan seperti ini juga. Karena kita berlayar tanpa arah.
Tidak ada yang memegang kemudi dan kau tak mau mencari arah. Kita akan
tersesat dan pada akhirnya mati juga.
Jalan kita tak mungkin mundur. Mungkin kita masih bisa menoleh
sesekali ke belakang. Tapi ingat, jangan terlalu lama. Perjalanan kita
yang sesungguhnya ada di depan.

Dan hari ini, selamat tanggal 14.

Kamis, 13 Desember 2012

Di Antara Jarak

Pada jarak yang membatasi kita, sepi mengeluh.
Meronta seakan ingin memakan jarak.
Bukankah rindu tak akan pernah tercipta tanpa jarak di antaranya?
Bukankah cinta tak akan teruji tanpa jarak yang membatasi?
Sebut saja kita.
Pada jarak yang sedemikian dekat ini,
Aku masih saja tak berani bersuara.
Menyembunyikan jantungku rapat-rapat.
Agar detaknya tak terdengar olehmu.
Mati?
Ah, aku lupa.
Bukankah kau memang tak pernah mendengar detakku?
Lalu, jarak menjadi tak berarti lagi.
Karena sesuatu telah mati.
Di antara jarak:
Kita.

Rabu, 12 Desember 2012

The One That Always Here

Ketika kamu merasa terasing sendirian... Ingatlah, kamu tidak pernah
benar-benar sendiri.
Pejamkan mata, ucapkan kalimat-kalimat pujian untuk-Nya... Maka Dia
ada, membasuh jiwamu yang hampa dengan cahaya-Nya.

Senin, 10 Desember 2012

Maliq n D'essential - Mata Hati Telinga


Aku Ingin...


Dalam hujan, doaku menyelinap di antara tetes-tetes air yang turun ke bumi. Berharap doaku dapat terbang tinggi sampai ke langit ke tujuh. Doa sederhana tentang kita—aku dan jodohku kelak.

Aku ingin mencintai seseorang yang karenanya aku selalu dilanda rasa takut.
Takut Allah murka kepadaku karena tidak mematuhi perintahnya;
Takut bila aku tidak menjadi pendamping hidup yang terbaik untuknya;
Takut kehilangan senyum di wajahnya.
Aku ingin mengagumi seseorang yang tak berani kutatap matanya sebelum ia halal untukku,
Cinta yang tumbuh karena Allah, bukan karena kesenangan dunia semata.
Aku ingin menyerahkan kunci hatiku kepada seseorang yang pada sepertiga malam akan membangunkanku dengan lembut,
“Bangunlah, sayang. Allah sudah menunggu kita,” bisikmu.
Aku ingin menangis karena seseorang yang senyumnya selalu meneduhkanku,
Seakan tanpa berkata apa pun, segala gundah yang ada di jiwa lenyap karena senyumannya.
Aku ingin melahirkan dan membesarkan anak-anak dari seseorang yang bekerja keras untuk kami,
Seseorang yang meskipun pulang larut malam, tetap mengecup kening anak-anaknya di waktu mereka terlelap.
Aku ingin berbakti kepada seseorang yang mencintai keluargaku seperti ia mencintaiku,
Menghormati ibuku seperti ia menghormati ibunya,
Mengasihi adik-adikku seperti ia mengasihi adiknya sendiri.
Aku ingin menjadi orang pertama yang menjawab salam untuknya ketika tiba di rumah, mengecup punggung tangannya dengan lembut dan menyediakan secangkir teh hangat untuknya.
Aku ingin memberikan senyum terbaikku untuk seseorang yang membantuku berdiri ketika aku sedang terjatuh, dan berpikir bahwa hidup ini tak ada artinya lagi,
Seseorang yang dengan kasih sayangnya menyadarkanku bahwa pendapatku itu keliru.
Aku ingin menghabiskan waktu matahari terbit dan matahari terbenam bersama seseorang itu.
Entah di mana ia sekarang, namun aku percaya.
Waktu dan seseorang yang Allah janjikan itu pasti datang J


Sabtu, 08 Desember 2012

Syukur di Pagi Hari

Pada suatu pagi di saat kamu masih terlelap di balik selimut...
Di belahan dunia lain, ada yang sedang merintih memegangi perutnya,
masih terjaga akibat lambungnya yang kosong, tergeletak beralaskan
lantai sebuah etalase ruko tanpa selimut.

Selamat pagi, insan yang berbahagia. Semoga ucapan syukur selalu
terucap dalam keadaan apa pun...

Rabu, 05 Desember 2012

A Morning Poem

Kabarkan pada pagi, aku masih disini. Tak berani menepi maupun
memahami. Masih (selalu) di sini. Pagi yang tenang dan sunyi.
Membiarkan segala rasa pergi. Pada hamparan jiwa yang sepi, aku mati
di suatu pagi.

A Night Poem


Akan ada suatu malam yang terikat pada kesunyian. Bintang-bintang menepi pada sudut gelap. Asa tak terjangkau, perih tetap pada tempatnya. Sebuah ukiran tentang pagi yang cerah; tidak ada. Kemudian titik-titik air perlahan berjatuhan, membasahi jiwa-jiwa yang kekeringan. Berlutut pada gelora keangkuhan. Mengisi hati kosong tak bertuan. Siapa hendak bertamu? Biar malam menjadi misteri selamanya. Tentang hari esok: matahari, embun dan kamu.

Selasa, 20 November 2012

Quotes of The Day

"You'll find the right one, the one that you don't have to choose him
or your family. You'll get them all." ♥☺
- HanungWL

Minggu, 18 November 2012

Tentang Malam

Hujan membungkus malam.
Bulan meredup seakan tak mau tahu.
Bintang pun menyembunyikan sinarnya di balik langit malam.
Kau lihat? Malamku sunyi.
Pelangiku tak muncul di malam hari.
Hanya gelap yang mampu kulihat.
Seharusnya ada tangan yang menggenggam,
Seharusnya ada senyummu yang menyinari malamku.
Tidak lagi; tidak ada.
Kita yang memutuskan.
Membiarkan malam kita bersenandung sepi.
Perlahan,
Pagi akan datang menggantikan malam kita.
Mungkin bukan detik ini.
Pasti, suatu saat nanti.

Hujan Untuk Pelangi


Pelangi.

Kamu memandanginya dengan penuh kekaguman. Berlari sambil berteriak kegirangan padaku, “Lihat, Jo! Ada pelangi di sana!”. Lalu, aku akan tersenyum sambil berlari mengikutimu dari belakang.
Rambutmu yang panjang terurai menerpa wajahku. Apa daya? Aku selalu jatuh cinta pada senyummu yang mengembang setiap kali ada pelangi. Ah, bukan. Lebih tepatnya, bukan hanya saat kamu memandang pelangi. Namun di setiap saat; di setiap lengkung senyummu, ada aku yang setia mengaguminya.

“Mir, kenapa kamu suka pelangi?” tanyaku sore itu, ketika kamu sibuk menggambar pelangi di buku catatanmu.
“Hmm, kenapa, ya? Karena pelangi itu nggak bisa kita jumpai setiap saat, Jo.”
“Jadi, kamu selalu suka pada hal yang tidak sering kamu jumpai?” tanyaku lagi.
“Nggak juga, sih. Pelangi itu punya daya magis. Seakan perpaduan warnanya membuat mataku terpaku dan nggak bisa lepas. Dia indah, nggak akan pernah bikin perasaan kita sakit…”

Aku meluruskan kedua kakiku. Mataku tak lepas mengamatinya berbicara.

“Mira…”
“Kenapa, Jo?”
“Aku mau jadi hujan.”
“Loh, kenapa?”
“Karena tanpa hujan, nggak akan ada pelangi. Aku rela jadi apa pun asal bikin kamu bahagia.”
“Jovana, you’re so sweet! Karena kita sahabatan, kan?” kamu memelukku.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Bukan. Karena aku mencintai kamu, Mira.” bisikku sambil membelai rambut indahnya.

Realistic?


Perahu Kertas II

Kemudian kita telah tiba.
Pada saat yang telah kita duga.
Ketika tak ada lagi kata "kita"
Ketika perahu kertas yang membawa kita;
terpaksa hancur.
Ombak itu terlalu besar.
Lihat, paling tidak, kita tidak menyerah.
Aku, kamu,
telah berusaha, bukan?
Dan pada akhirnya,
ombak pula yang akan menyeret kita.
Menuju daratan yang berbeda.
Akan tetapi, sadarilah.
Bahwa kita selamat.
Masih bernafas bersama.
Di bawah langit yang sama.
Dengan hati;
yang tak lagi sama.

Perahu Kertas I

Kita sedang berada di atas sebuah perahu kertas.
Mengarungi samudera kehidupan tanpa tujuan.
Meskipun tujuan itu ada,
pasti kita tidaklah searah.
Kita berdua tahu
perahu kertas itu akan hancur.
Terkena ombak besar yang menghadang.
Kita
hanya sedang mencoba bertahan.
Walaupun sama-sama tahu.
Kita akan terhempas di daratan yang tak sama,
sendiri.

Ketika Bukan Lagi Kita

Selamat pagi.
Ada sesuatu yang hilang?
Ah. Aku telah melukai luka.
Luka kita;
yang selama ini kita tutupi.
Tunggu...
Mengapa aku masih menggunakan kata "kita"?
Karena "kita" telah membelah diri.
Menjadi dua bagian;
aku dan kamu.

Sabtu, 17 November 2012

(Bukan) Cinderella


Pukul 08.14
“What?!” aku melompat turun dari tempat tidurku.
Ketika aku menyikat gigi, handphone-ku tak henti-hentinya berdering. Nama yang muncul di layar handphone membuatku ingin segera terbang melesat menuju kantor. Detik ini juga.


Pukul 08.55
Akhirnya kereta itu datang juga. Dengan perasaan yang meledak-ledak setelah mengangkat telepon dari Boss, aku mencoba tetap tenang di kereta.

“Berkasnya kan ada di kamu! Kalau dalam tiga puluh menit kamu belum sampai ke sini, jangan harap saya akan mengangkatmu menjadi pegawai tetap!” ancam Bu Diana, Manajer di tempatku bekerja.

Tetiba seorang pria menepuk pundakku.

“Cindy?” matanya mengamati wajahku.
Aku berpikir cepat. “Randy?”

Kepanikanku runtuh sudah. Pria itu mengembangkan senyum di wajahnya. Hatiku meleleh. Lebih tepatnya, selalu meleleh. Tidak berubah, sejak aku mengenalnya di kampus, tiga tahun yang lalu.

“Kamu kerja? Turun di stasiun mana?” tanyaku.
“Stasiun Cikini. Kamu?”
“Oh… Manggarai.” Jawabku ringan.
“Apa? Ini kan Stasiun Manggarai…”
Kepanikanku kembali muncul. Kurasakan kereta mulai berjalan lagi.
“Permisi!! Permisi!! Saya harus turun!!” aku menerobos penumpang lainnya, menuju pintu keluar kereta.
“Aaaaargh!” akhirnya aku berhasil keluar dari kereta itu.

Aku setengah berlari untuk menghampiri ojek di area stasiun. Kemudian, kusadari ada yang ganjil dengan penampilanku.
Sepatuku. Tinggal satu.


Pukul 20.00
Aku pulang dengan mengenakan sepasang sandal pinjaman temanku di kantor. Aku memaki diriku yang tidak menyadari sepatuku terlepas di dalam kereta.
Dan terlintas di benakku, bahwa aku tadi belum berpamitan pada Randy! Bahkan, belum bertanya apa pun selain stasiun tujuannya. Lagi-lagi aku merasa bodoh. Setelah kehilangan jejaknya selama berbulan-bulan, Randy yang tadi ada di hadapan mata telah kusia-siakan. Malam itu, rasanya aku ingin menangis di balik selimut. Mengutuki diriku yang tak henti-hentinya membuat kecerobohan.


Pukul 11.51
Seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Ada yang mau ketemu kamu. Duh, malam-malam begini…” kata Mama ketika aku membuka pintu.
Aku menuju teras untuk melihat siapa yang ingin menemuiku di tengah malam begini.

Randy?

“Ini sepatumu, Cin. Maaf, tengah malam begini aku ke rumahmu. Tadi aku mencari tahu rumahmu lewat teman-teman kuliah. Malah tadi sempat nyasar juga. Hehehe…”

TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG.
Pukul dua belas malam.

“Cindy… Ehem, kamu mau jadi Cinderella-ku?” ucapnya sambil bertekuk lutut dengan kedua tangan memegang sepatuku yang tertinggal di kereta tadi.

Aku terpaku. Pangeranku…


Bibit Mawar


Dimana aku?
Terlihat seorang wanita renta sedang menyirami bunga. Bunga itu berwarna merah. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona oleh keindahan warna kelopak bunga itu. Aku pun mendekati nenek itu.
Belum sampai aku mendekatinya, perempuan itu sudah membalikkan badan dan menatapku dengan tatapan yang tajam.

“Eh, saya…” aku panik.
“Jangan ganggu bunga mawarku! Tanam dan rawatlah bungamu sendiri!” suara parau nenek itu membuat telingaku ngilu.

Nenek itu menyodorkan sebuah bungkusan. Beberapa detik setelah bungkusan itu berada di tanganku, aku kehilangan keseimbangan
Yang selanjutnya kulihat adalah sinar mentari yang menerobos jendela kamarku.

***

KRIIIING!
Alarm handphone-ku berdering. Aku bangkit dari tempat tidur dan merasakan sesuatu di bawah punggungku.
Bungkusan itu?!

***

Ternyata bibit bunga mawar.
Setelah kurawat selama berbulan-bulan, mawar itu mulai merekah malu-malu. Penantian itu terbayar sudah. Mawar merah yang cantik kini menghiasi halaman rumahku. Meskipun ukurannya masih kecil, tanaman ini terlihat sangat segar dan anggun.
Kalau kamu seorang manusia, pasti aku akan segera melamarmu… aku bergumam.

***

Dimana aku?

“Hai, Rama…” suara seorang perempuan mengejutkanku.
“Eh… Kamu… S-siapa?”

Perempuan bergaun merah itu tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke arahku.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin ada makhluk seindah ini di tengah hutan?

“Terima kasih telah merawatku. Kamu sungguh manusia yang baik hati, Ram.” perempuan itu tersenyum. Manis sekali.

Aku yang masih kebingungan kemudian diajak mengelilingi hutan. Ternyata hutan ini tak seburuk yang kubayangkan. Atau… Karena ada perempuan ini di sampingku?

“Ehem, ngomong-ngomong namamu siapa?” tanyaku memberanikan diri.
“Mawar.” Jawabnya sambil tersenyum ke arahku.

Aku tercekat, menyadari sesuatu yang ganjil di sini.

***

“Ramaaaa! Bangun!” ibuku berteriak di depan pintu kamarku.

Sial. Ternyata mimpi!
Aku membuka pintu kamar dengan malas-malasan. Di ruang tamu, ibuku sedang berbicara dengan seseorang.

“Nah, ini anak laki-laki saya. Ayo Rama, kenalan dulu…”

Napasku berhenti ketika mataku bertemu dengan mata indah itu. Perempuan berbaju merah itu tersenyum ke arahku.

“Mawar…” ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arahku.



Rindu



Rindu tidak pernah sesederhana ini. Bertemu, tertawa bersama, kemudian saling mengucap sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Tidak. Tidak sesederhana itu.
Apalagi, teruntuk rindu yang telah lama tertahan di kerongkongan tanpa sanggup kau ucapkan. Yang membuat lidahmu kelu ketika bertemu langsung dengan sang pelaku. Hatimu luluh, namun senyummu mencoba tetap memperlihatkan lengkungan terbaiknya.
…karena rindu tidak mengenal kata sederhana.
Rindu yang tak memiliki batas. Hingga pada akhirnya, kau terpaksa menenggak rindu itu; sendirian.
Karena seseorang di seberang sana—yang kau harapkan akan membalas rindumu—sedang menikmati rindunya yang lain. Rindu kepada seseorang yang bukan dirimu.
Apakah rindu yang rumit ini hanya milikku? Atau memang milik semua insan yang hatinya telah terpaku pada satu tujuan, namun tak tahu arah kembali?
Ah. Kupikir ‘rindu’ itu hanya sebuah kata lima huruf yang biasa dijadikan puisi. Tak kusangka akan jadi serumit ini.

Senin, 12 November 2012

Non-stop Writing

Terkadang menulis bukanlah soal ada atau tidaknya inspirasi dan ide. Lihat, aku sedang belajar menulis tanpa mengeditnya terlebih dahulu. Aku menulis ini tanpa berhenti. Aku membiarkan tulisan ini mengalir begitu saja. Jadi, tolong dimaafkan jika tulisan ini sedikit menyimpang.
Entah. Aku ingin menulis dengan merdeka. Aku ingin menemukan gaya tulisanku sedniri. Aku pun sdar, butuh proses dan waktu untuk menemukannya. Maka, yang harus kulakukan adalah berlatih, menulis, menulis, dan menulis.
Sebenarnya setelah ini aku masih ada kelas ITBA, namun apa peduli. datang saja nanti teapt waktu. Parah ya? Padahal ini kan bahasa akhirat. Kenapa jadi seperti ini?
Oh iya, hari ini juga akan terasa sepi sekali... Ah, tapi aku tidak kesepian jika tugas-tugas masih saja menghantuiku. Aku kesepian karena dia tidak berada di fakultas seberang. Dia sedang mengikuti kegiatan di Bogor. Beraharap saja yang terbaik untukmu. Padahal baru kemarin bertemu, tapi stock rindu ini tidak pernah menipis, ya?

Finally...

Setelah mengirimkan empat flash fiction dan dua micro fiction, akhirnya....
Tiga cerita saya terpilih untuk diterbitkan via nulisbuku.com :')
Terima kasih @NBC_UI telah memberi kesempatan kepada saya dan teman-teman lainnya untuk menerbitkan tulisan kami yang biasanya hanya tersimpan rapi di dalam folder komputer.
Keep Writing and Keep Reading!

Minggu, 11 November 2012

Romantis Itu Kamu

Romantis tidak memerlukan seikat bunga cantik.
Tidak pula memerlukan rangkaian kata-kata yang meluluhkan jiwa.
Romantis itu kamu.
Dengan semua yang melekat pada dirimu.
Kemudian kamu tersenyum...tanpa sebab.
Dan kusadari, senyummu yang seperti itu
hanya untukku seorang.

...

Ketika saya kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan banyak hal yang
ingin saya ungkapkan...

Kamis, 08 November 2012

8

It's November eighth and I'm eighteen☺

Selasa, 06 November 2012

Meragukan Tuhan

Suatu malam, aku mendengar dua orang temanku sedang bercakap-cakap.

A: "Ya Tuhan, besok UTS..."
B: "Heh, jangan dikit-dikit ngadu sama Tuhan!"
A: "Loh, kenapa?"
B: "Gak semua hal perlu lo aduin ke Tuhan."
A: "Oh... Gitu ya?"
B: "Iya, lo harus bisa nyelesain masalah sendiri."

Kemudian, aku berpikir. Jika pada Tuhan saja kita ragu, bagaimana
dengan sesama manusia?

Sabtu, 03 November 2012

Semangkuk Bubur Kacang Hijau


Tidak ada yang berani mengakhiri semua ini. Ketika kau membisu selama seminggu ini. Ketika tak ada hal yang dapat kulakukan selain menjagamu dengan sebaik mungkin…

“Kamu mau makan apa nanti malam?” tanyaku.
Tidak ada jawaban.
“Mas, mau makan apa? Nanti aku masakin deh…”
“Nggak usah.” jawabmu. Singkat.
Aku tertegun. Marahkah kau padaku?

Aku mencoba menghapus semua pikiran burukku. Aku bergegas menuju dapur, ingin membuatkan sesuatu yang dapat menghangatkan perutmu di malam yang dingin ini.
Semangkuk bubur kacang hijau. Akumenghirup aromanya sambil tersenyum penuh harap. Semoga Mas Didit suka…

Baru saja aku membalikkan tubuh, lelaki berkumis tipi situ sudah berada tepat di hadapanku.

“Eh, Mas… Ini…”
“Mengapa kamu melakukan semua ini?” tanyamu.
“Aku? Apa, Mas?”
“Kamu tahu kan, aku berselingkuh dengan rekan kerjaku. Aku tahu kau menangis di balik selimut ketika aku pulang. Aku tahu kau tak lagi menuntut apa-apa dariku, bahkan hanya untuk sebuah pelukan. Kau tidak membutuhkanku lagi?”
“Mas… Aku—“ tenggorokanku terasa nyeri.
“Aku telah memperlakukanmu dengan jahat. Jahat sekali. Kenapa kau tidak membalasnya? Kenapa kau tetap membuatkanku bubur kacang hijau kesukaanku?” matamu berkaca-kaca.

Aku gemetar. Kau tidak jahat, Mas… Aku yang jahat…

“Rekan kerjamu itu adalah temanku. Aku menyuruhnya untuk menggodamu. Aku ingin tahu seberapa besar kesetiaanmu padaku, Mas…” kataku sambil terisak.
“Lalu?”
“Aku tahu kau tidak akan melakukan ini semua. Kau pasti menolaknya. Kau tidak berselingkuh. Hanya aku yang meragukan kesetiaanmu, Mas. Maafkan aku…”
Sesuatu yang hangat meraih pundakku. Memelukku erat dan diakhiri dengan sebuah kecupan lembut di keningku.
“Tidak perlu meminta maaf lagi. Lupakanlah semua itu. Istriku tersayang, ayo kita habiskan semangkuk bubur kacang hijau ini. Berdua.” sebuah senyum mengembang di bibirmu.

Aku mengangguk, meraih tangan kananmu. Hangat.
Aku tahu, tak seharusnya aku meragu pada lelaki yang berhasil mengunci hatiku ini.

Undanganmu


Apa yang lebih rumit dari ini? Aku mencintaimu, kau tahu itu. Matamu juga tak mampu menghindar ketika kutawarkan senyum terindah yang kumiliki. Kau bilang, senyumku menjadi pelangi di langitmu yang kelabu.

Semua baik-baik saja, bahkan kita semakin dekat. Jarak bukanlah suatu masalah, karena cinta dapat menembus batas-batas yang tak terjangkau oleh manusia. Kita rutin bertemu di sebuah kafe kecil di kawasan Jakarta Selatan. Paling tidak, sehari dalam seminggu, rinduku terobati. Kau adalah obat dari segala penyakit hati yang kuderita.

Sore itu, aku memberanikan diri mencari sebuah kepastian atas ikatan kita selama ini.

“Far, aku tidak mau lagi menunggu satu hari dalam seminggu ini untuk menemuimu.” ujarku.
Kamu terkejut, “Maksudmu?”

Aku menunjukkan sebuah scrapbook yang telah kubuat dengan perjuangan begadang selama dua minggu penuh. Di buku itu berisi semua kenangan tentang pertemanan kita sejak awal SMA. Foto ketika kau dihukum karena membantah ketika MOS, tiket bioskop yang kita tonton saat kenaikan kelas 3 SMA, catatan-catatan serta puisiku yang semuanya ditujukan untukmu.

“Rey…” bisikmu. Matamu berkaca-kaca ketika menutup scrapbook itu.
“Jadi, Farah… Apakah kamu mau—“
“Rey, aku sudah dilamar. Bulan depan aku akan menikah,” seketika airmata menetes di kedua pipimu.

Aku tidak sakit. Tidak. Aku hanya… Mati rasa.

“Datanglah. Maafkan aku…” katamu, lirih. Sebuah undangan berwarna abu-abu tergeletak di hadapanku.

Ya, abu-abu. Tidak hitam, tidak pula putih. Tidak sakit, tidak pula bahagia. Aku menggantungkan perasaanku pada langit senja yang menawan.
Aku terlambat.

Perpustakaan Punya Cerita

Kamu lagi.
Mengamati deretan buku-buku itu.
Seperti hendak mencari sebuah
buku
Mungkin yang kamu cari
Tidak ada di situ
Melainkan
di genggamanku

Ini aku (lagi)
yang hanya berani
Menyelinap di balik
deretan buku-buku
Mengagumimu
sesederhana itu.

Quotes of The Middle-Night

"We don't have a purpose? We'll make it soon."

Jatuh Cinta

Ada sesuatu yang kau ucapkan dengan polos. Aku menutup mulut, menahan tawa yang hendak meledak. Kamu menatapku; memasang wajah kebingungan dengan mengernyitkan kedua alismu.

Ternyata jatuh cinta itu sesederhana ini...

Kamis, 01 November 2012

Pengkhianatan Sederhana

Pagi ini, harusnya aku menerima sebuah ucapan selamat pagi
dan secangkir teh manis hangat darimu
sementara kamu menyiapkan sarapan untukku,
mataku akan terpaku memandangi lengkung bibirmu
sepasang mata yang teduh
lalu tersajilah sepiring nasi goreng sederhana buatanmu
tanpa bumbu penyedap
yang terasa nikmat karena cinta


Siang ini, harusnya kamu meneleponku
sekadar bertanya tentang pekerjaanku
sudahkah aku makan siang
atau bercerita tentang hal konyol yang berujung pada kalimat:
aku mencintaimu


Sore ini, harusnya kamu membukakan pintu rumah untukku
menyambut dengan sebuah kecupan lembut di punggung tanganku
dan kemudian lelahku sirna
setelah meneguk segelas es sirup buatanmu
yang sederhana
es sirup rasa cinta


Malam ini, harusnya kamu menyandarkan kepalamu di bahuku
menikmati semilir angin malam
di teras rumah kita
yang sederhana
beratap kesetiaan
berdinding kasih sayang
lalu, sayup-sayup kamu mulai bernyanyi
mengantarkanku pada dunia yang penuh kedamaian
dan arti "selamanya" bersamamu


Ya, seharusnya seperti itu
sebelum kamu melihat seorang lelaki
sedang memelukku
mengecup keningku
dan sejak saat itu
kamu tidak kembali pulang
ke rumah kita
yang sederhana

Jumat, 26 Oktober 2012

Puisimu, Puisiku

Di bawah sinar rembulan
temui aku di pintu hatimu
dan sang rembulan akan menatap iri pada kita
kemudian, bintang-bintang semakin terang
menyinari langit malam
kau dan aku
saling bertukar sapa melalui tatapan mata
rindumu terbaca, sayang.


Puisi berantai perdana, tercipta di malam hari yang sunyi.

Untitled

Bagian dalam hidupku yang mana lagi yang tidak sesuai dengan
ideologimu? Haruskah aku mendengar dan mengubah apa yang telah
kuyakini benar, hanya demi sebuah kehormatan?
Omong kosong dengan semua itu. Tak kupahami, apa yang telah merasuk ke
dalam pikiranmu? Merasa menjadi makhluk Maha Benar di alam semesta?
Aku memiliki jalur hidupku sendiri yang tak perlu repot-repot kau
banjiri dengan berbagai komentar.


"...Mereka terlahir melalui engkau, tetapi bukan darimu
meskipun mereka ada bersamamu, mereka bukan milikmu
pada mereka, engkau dapat memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu
karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri..."
-Kahlil Ghibran-

Kamis, 25 Oktober 2012

Dunia Perkuliahan di Mata Saya

Tanpa terasa, UTS sudah mendatangi gue satu per satu. Gue sebagai mahasiswi baru yang masih unyu polos serta lucu ini, hanya dapat berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melewati semua "cobaan" dari kampus ini.

Sastra Indonesia.
"Paling mentok-mentok jadi guru!"
Gue paling benci kata-kata itu. TERUS? Kalau gue jadi guru, artinya itu udah kepentok? Cih.

Setiap orang punya pilihan, ada yang memang terlahir dengan memiliki bakat mencintai dunia pendidikan (pastinya bukan gue), bakat memasak, bakat jahil, bakat melawak, dan... Bakat menulis.

Eitss, menulis? Bakat?
Hmm, sebenarnya nggak juga.
Menulis bukan bakat, tetapi tekad. Ya, kalau lo memiliki tekad yang kuat untuk menulis, juga nggak pernah menyerah untuk selalu menulis, menulis, menulis... Pasti bisa!

Di sini, gue mau berbagi cerita tentang dunia perkuliahan yang... Keras! *gigit-gigit batok kelapa*
Ini serius, ya. *benerin posisi duduk*

Ketika lo diterima di PTN, pasti rasa bangga langsung menyelimuti lo dan sekeluarga besar lo. Nggak masalah.
Ketika lo mulai dihadapkan dengan kegiatan ospek, pasti berbagai keluhan mulai datang. "Gue belum mandi dari pagi sampe malem, disuruh nyebur danau, make up luntur... OMG!"
Ketika lo dihadapkan dengan....... *jeng-jeng-jeng*
KULIAH YANG SEBENARNYA.
Seakan di pintu masuk kampus lo terpampang baliho raksasa bertuliskan:

"Welcome to the jungle!"

Ini fakta, Bung.
Jangan harap, kalau lo telat, bakal ada yang menghukum lo lari keliling lapangan terus baru diizinin masuk kelas.
Jangan harap.
Lo telat masuk kelas pas kuliah? Hanya ada dua pilihan.
Pertama, dosennya emang lagi baik dan lo diizinin masuk biarpun udah telat 2 jam. Kedua, lo gak dibukain pintu. Selesai.

Pas udah kuliah, lo mau ke kampus dengan baju paling gembel yang lo punya, sepatu paling butut, maupun rambut yang udah kayak Wiro Sableng sekalipun... Nggak ada yang akan marahin lo. Di sini nggak ada guru BK, cuy.

Bukan cuma sekadar itu. Yang paling terlihat di sini adalah pergaulannya.
Pertama kali, gue shock parah dengan banyaknya mahasiswi yang ngerokok. Secara, di fakultas gue itu nggak termasuk kawasan bebas asap rokok. Lama-lama gue mulai ngerti kenapa mereka yang notabene adalah perempuan, memilih merokok sebagai jalan hidupnya.
Pergaulan, Bro.
Suka nongkrong, ngobrol-ngobrol, ditawarin ini, itu... Dan, BLAM!
Semudah itu.

Gue bukanlah mahasiswi yang niat kuliah cuma untuk belajar doang. Tapi gue juga bukan mahasiswi yang niat kuliah cuma sekadar untuk organisasi, nongkrong, dll.
Gue pengen bisa seimbang di antara keduanya.
Karena gue masuk jurusan ini atas pilihan gue sendiri, maka gue juga udah memperhitungkan segalanya dengan lumayan baik. Ilmu yang gue dapat di kuliah ini, akan sangat sangat membantu kehidupan dunia kepenulisan gue. Di sini, gue juga dapet kenalan banyak teman yang bisa "searah" sama gue. Gabung di komunitas menulis dan komunitas sastra.
Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, nggak ada yang bisa maksa diri lo kecuali hati kecil lo sendiri.

Semoga tulisan gue ini bermanfaat untuk kalian-kalian yang akan masuk ke dunia perkuliahan.
Good luck, ya! Semangat belajar :)

Salam unyu,

Dhilla,  mahasiswi Prodi Indonesia UI 2012

Anniversary

Dinginnya hembusan angin malam tak menyurutkan niatku untuk menemuimu
malam ini. Aku terlanjur menumpuk rindu ini hingga membatu dan tak
mudah dihancurkan. Kau, alasan sederhana dibalik kerinduan ini.

Tidak ada pertemuan yang terencana. Namun, aku yakin malam ini kau
akan datang ke tempat ini. Tempat yang telah menjadi saksi sejarah
hubungan dua orang manusia yang saling mencinta dan memuja keindahan
tempat ini.

Ah, benar saja. Kulihat seorang pria berkacamata yang berkumis tipis
turun dari sepeda motornya. Itu... Kau. Aku mengucek mata untuk
memastikannya. Benar. Kamu datang malam ini.

Kamu mengambil posisi duduk menghadap ke arah laut. Itu adalah tempat
favorit kita, bukan?
Kemudian kamu mengeluarkan satu buket bunga lily dari dalam tas
jinjingmu. Kamu memandanginya lekat sambil tersenyum tipis. Apakah...
Itu untukku? Kini aku mulai salah tingkah.

Ya, aku tahu malam ini kau akan datang. Setiap tahun, di tanggal yang
sama. Kau selalu setia menikmati debur ombak di malam hari, menikmati
semilir angin yang menerpa wajahmu... Ah, rinduku mulai terobati,
Sayang.

Baru saja aku ingin menghampirimu, sebelum akhirnya seorang wanita
yang tampak anggun dengan dress-nya yang berwarna putih sudah terlebih
dahulu melambaikan tangan ke arahmu.
Siapa dia?

"Kau cantik sekali malam ini, Ly..." ucapmu, sambil menyerahkan buket
bunga yang telah kau siapkan.
"Terima kasih, Mas. Bunga ini indah sekali." wanita itu memandang
kagum pada rangkaian bunga yang ada di tangannya.

Aku belum mengerti. Bukankah selama ini... Kamu selalu datang sendiri
di tanggal pernikahan kita?

"Mbak Nia pasti bahagia pernah memiliki suami sepertimu, Mas." bisik wanita itu.
"Ya, dan sekarang dia juga akan bahagia melihat ada wanita yang
mencintaiku setulus cintanya." katamu, sambil meraih jemari wanita itu
dan kau genggam dengan erat.

Bahagia?
Aku mencoba merapikan harapan-harapan yang telah terangkai. Aku
terisak sambil menuju ke arah laut. Menghilang di antara deburan ombak
yang membisu.

"Ly, kamu lihat itu?!"
"Apa, Mas?"
"Sesosok bayangan mirip almarhumah istriku."

Rabu, 24 Oktober 2012

Kicauan 140 Karakter


Siapa yang tidak mengenal Twitter? Sebuah situs microblogging yang menjamur di seluruh belahan dunia. Meskipun di situs ini tulisan kita dibatasi oleh 140 karakter, namun penggunanya terus meningkat seiring berkembangnya teknologi informasi. Twitter kini telah menjadi media sosial yang dikenal mulai dari kalangan remaja ABG hingga pejabat pemerintahan. Semua orang tidak ingin ketinggalan informasi yang fresh dari Twitter ini.

Pada awalnya, ide Twitter yaitu agar individu bisa menggunakan SMS layanan untuk berkomunikasi dengan kelompok yang lebih kecil. Kemudian, popularitas Twitter mendongkrak pada tahun 2007, dalam festival South by Southwest (SXSW). Selama acara tersebut berlangsung, penggunaan Twitter meningkat dari 20.000 kicauan per hari menjadi 60.000. Reaksi pengguna Twitter di festival itu sangat positif.

Tulisan yang dipublikasikan melalui Twitter disebut tweet (kicauan). Kita dapat menulis opini, berita, pesan kepada orang lain, maupun menjadikannya sebagai buku harian online. Namun, setiap tweet terbatas pada 140 karakter, sehingga menuntut penggunanya untuk dapat memanfaatkan keterbatasan karakter tersebut seefektif mungkin. Bagi sebagian penggunanya, keterbatasan ini juga melatih penggunaan kalimat efektif dalam penulisan. Namun, hal ini juga menyebabkan penggunaan kata-kata yang disingkat, sehingga sering terjadi kesalahpahaman antara penulis dan pembaca.

Tweet seseorang bebas dipublikasikan dan dibaca oleh semua pengguna Twitter, kecuali jika si pengguna mem-protect akunnya, maka tweet-nya hanya akan dapat dilihat oleh followers-nya. Follower (pengikut) adalah akun orang lain yang menjadikan kita sebagai teman di Twitter. Sedangkan following adalah akun orang lain yang ingin kita jadikan sebagai teman. Jika jumlah followers-nya banyak, menunjukkan bahwa si penulis itu memiliki tweet yang berkualitas.

Karena dianggap lebih praktis dibandingkan dengan media jejaring sosial lainnya, maka Twitter lebih dipilih sebagai media komunikasi. Dapat kita ambil contoh, situs berita “Detik News” selain menggunakan blog sebagai tempat update berita terkini, juga memanfaatkan Twitter sebagai media penyampaian berita yang ter-update. Pejabat pemerintahan seperti Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika) juga tak ingin ketinggalan. Ia sering menuliskan berbagai informasi mengenai perkembangan teknologi dan informasi di akunnya tersebut.

Bagi Anda yang telah memiliki akun Twitter, istilah mention, retweet, dan direct message tentu sudah tidak asing lagi. Jika kita ingin menyampaikan pesan pada orang lain, cukup sertakan username orang tersebut dan Anda sudah mengirimkan mention kepadanya. Pesan ini akan dapat dibaca oleh seluruh followers Anda. Namun jika ingin mengirimkan pesan secara pribadi, Anda cukup mengirimkan direct message kepada orang tersebut. Selain dapat mengirim dan menerima pesan, Twitter juga memfasilitasi penggunanya dengan istilah retweet, yaitu mengopi tweet penulis lain, namun masih menyertakan akun penulis aslinya, sehingga tidak melanggar hak cipta sang penulis.

Twitter selain digunakan sebagai media komunikasi juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengembangkan bakat dan minat. Jika Anda hobi menulis, Anda dapat berlatih menulis dengan Twitter. Karena “kicauan” Anda terbatas pada 140 karakter, maka Anda akan terbiasa menulis sesuatu dengan to the point, tanpa menghilangkan gagasan utama dari tulisan Anda tersebut. Di masa kini, Twitter juga kerap kali digunakan sebagai media online shop yang memposting foto barang-barang yang mereka jual.


Panggilan Untukmu

Namaku Gusti Pradana Mulya Kusumadiningrat. Kebanyakan orang memanggilku Gusti. Namun, tidak denganmu. Kamu selalu punya nama yang berbeda untukku.

Di awal perkenalan kita, kamu dengan santainya mengajukan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan.
"Kupanggil Gusgus saja, ya?"

Kemudian, pada pertemuan kita selanjutnya, kamu berkata bahwa nama Gusgus kurang enak didengar. Dan lagi, kau ajukan pertanyaan itu.
"Kupanggil Pradan saja, ya?"
Kali ini kubalas dengan anggukan kecil dan sebuah senyuman untukmu.
Kalau saja kau menyadarinya...

Namamu Ratu Anggita. Orang-orang sering memanggilmu Anggi. Namun, tidak denganku. Meskipun aku tetap memanggilmu "Anggi", hatiku punya nama spesial untukmu.
Ratu. Ya, kamulah ratu penguasa hati dan pikiranku.

Pada suatu senja di sebuah kafe kecil di kawasan Depok, kita sedang menikmati kebersamaan dalam diam. Kemudian, suaramu yang merdu memecah dinding kekakuan di antara kita.

"Pradan, apa kamu tidak suka dengan nama panggilan dariku?"
"Suka kok. Kenapa, Nggi?"
"Mm... Gak papa sih." jawabmu ragu.

Aku bisa membaca matamu yang gugup saat berbicara padaku. Mungkin, begitupun dengan aku. Beberapa menit berlalu dalam diam. Kamu sedang memainkan sedotan di dalam gelas jus milikmu.
Kurogoh saku celanaku. Sebuah kotak kecil berwarna merah tampak begitu berat bagiku.

"Nggi..." panggilku.
"Ya?"
"Aku punya nama panggilan baru untukmu. Tapi, itu kalau kamu mengizinkannya..."
"Apa?" tanyamu, antusias sekali.

Tanpa ragu, kutunjukkan kotak kecil berisi sepasang cincin indah itu.

"Aku ingin memanggilmu... Istriku." ucapku, mantap.

Kamu terpaku. Matamu tampak berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian, jari-jari lentikmu sudah berada di sela-sela jemariku.
Aku menganggap itu sebagai jawaban.

Selasa, 23 Oktober 2012

Pergi


Asap kebencian
Menyeruak ke dalam paru-paru
Menembus rongga kehampaan
Dalam jiwa

Bertahan di antara
Ratusan, ribuan, jutaan
Bayangan semu tentang
Arti kehidupan

Kemudian aku memilih
Melayang; terbang
Tak terjangkau
Sekalipun oleh pelukanmu

Senin, 22 Oktober 2012

Sebaris Pelangi

Aku menatap hampa pada sebaris pelangi yang berada di langit sore itu.
"Andai saat ini ada kamu di sampingku…" kataku, lirih.

Mataku menyapu seluruh taman ini. "Taman Cerita", katamu waktu itu.
Ya, tempat kita menghabiskan waktu selepas sekolah. Aku akan setia menatap matamu yang bersemangat itu dengan perasaan kagum. Dan kamu akan setia dengan cerita-ceritamu yang tidak pernah berganti sejak awal pertemuan kita, Si itik buruk rupa.

***

"Mengapa aku berbeda?" tanyamu di suatu pagi.
"Apa?" aku mengalihkan pandanganku dari novel yang sedang kubaca.
"Seperti itik itu, kenapa aku berbeda?"
Aku tertegun.
"Panji kenapa nanya begitu?" tanyaku kembali, sambil menatap matanya yang teduh.
Ia terdiam, kemudian kembali tenggelam dalam dunianya, sebuah buku berjudul "Si Itik Buruk Rupa".
Aku menghela napas. Panji memang selalu seperti itu…

***

"Aku tidak mengerti. Aku memang anak bodoh." katamu.
"Panji! Jangan bicara seperti itu!" bentakku.
"Aku tidak mengerti semua ini. Apa salahku? Mengapa ayah dan ibu membiarkan aku terlahir di dunia dengan keadaan seperti ini? Sedangkan kamu dan Citra, semuanya sempurna. Kalian bisa bersekolah dan berteman dengan siapa saja! Sedangkan aku…" suaramu tertahan.
"Cukup, Panji!!!"
Kau mundur beberapa langkah, kemudian berlari menjauhiku.
Dapat kurasakan mataku memanas dan air turun membasahi pipiku.

Panji, maaf…

***

Aku menghirup udara di dalam ruangan bernuansa putih itu. Bau obat-obatan menusuk hidung. Sedetik kemudian kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh jemariku.

"Kak…" bisikmu.
"Panji… Kakak di sini, sayang."
"Kak, aku mau pulang."
"Iya, sayang. Kalau Panji udah sembuh nanti kita pulang ya, kita ke Taman Cerita lagi, ngeliat pelangi sehabis hujan, terus beli mainan yang banyak buat Panji di pasar. Makanya, Panji cepat sembuh ya…" airmataku berjatuhan.

Kau tak menjawab, hanya tersenyum. Perlahan, matamu menutup. Kau kembali diam dan tak ada reaksi ketika kusentuh kepalamu yang bersih tanpa sehelai rambut pun.
Aku membalas senyummu, sambil menahan air yang telah membanjiri kedua pelupuk mataku.

Sejak saat itu, aku selalu menyimpan senyumnya di hatiku. Sebuah senyuman tulus dari seorang bocah penderita tumor kulit ganas…

***

Selamat jalan, Panji… Aku melambaikan tangan pada sebaris pelangi di sore itu.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Di antara kita

Mulutnya tak henti-henti bercerita. Tentang tugas-tugas kuliahnya, kegiatan ospeknya, pola tidurnya selama seminggu ini…
Aku mencoba tetap memasang wajah antusias sambil sesekali tersenyum mendengar ceritanya. Meskipun aku sungguh tidak tertarik. Sangat tidak tertarik dengan cerita-ceritanya itu.
Perempuan di hadapanku ini mengernyitkan alisnya. Dengan wajah polosnya, ia bertanya apakah aku baik-baik saja. Ya, tentu aku masih baik-baik saja… Sebelum mendengar cerita-ceritanya yang mengorbankan waktu bermain game-ku ini.

***

Aku tidak yakin apakah ia mendengarkan ceritaku ini atau tidak.
Sudah sebulan belakangan ini ia berbeda. Apa ia pikir aku bodoh?
Ketika semua pesan singkatku hanya dibalas sesingkat-singkatnya dan terjawab dalam waktu yang lama. Aku harus menunggu dua jam hanya untuk sebuah balasan: “Ya, terserah.”
Fan, aku merasakan perubahan itu…

***

Siang ini, kau mengajakku bertemu. Dengan alasan tugas kelompok, aku akan menolak ajakanmu itu.

***

Padahal aku ingin membicarakan hubungan kita ini, Fan…

***

Satu bulan, enam bulan, satu tahun…
Ia tidak mencoba menghubungiku. Begitupun dengan aku.
Ya, lelaki bodoh bernama Irfan ini sedang duduk di selasar Gedung VI. Dari sini, aku akan dapat melihatnya dengan jelas. Perempuan yang dulu menjadi pengisi hari-hariku yang datar, berisi hafalan buku-buku kuliah. Perempuan yang dulu selalu bercerita tentang hari-harinya.
Kini, aku masih dapat melihatnya dengan jelas... Kecuali perasaannya terhadapku.

***

Sedetik yang lalu, aku masih ada di sini untukmu, Fan. Namun, kamu kemana?
Haruskah aku bertahan, sedangkan ada seseorang yang lain dengan setia selalu mendengarkan ceritaku dengan tulus? Haruskah aku tetap mengharapkanmu kembali, sedangkan seseorang yang lain sedang menyatakan perasaannya yang begitu mendalam padaku?
Tanyakan pada miniatur Candi Jawi di Taman Arkeologi itu. Betapa perasaanku bergejolak, kemudian kubiarkan seseorang yang lain itu mengisi jemariku yang sudah lama tak pernah ia genggam.
Aku mengangguk. Memantapkan hatiku.
Selamat tinggal, Fan…

Owl City ft. Carly Rae Jepsen - Good Time



Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh
It's always a good time

Woke up on the right side of the bed
What's up with this Prince song inside my head?
Hands up if you're down to get down tonight
Cuz it's always a good time.

Slept in all my clothes like I didn't care
Hopped into a cab, take me anywhere
I'm in if you're down to get down tonight
Cuz it's always a good time

Good morning and good night
I wake up at twilight
It's gonna be alright
We don't even have to try
It's always a good time

Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.

Freaked out, dropped my phone in the pool again
Checked out of my room hit the ATM
Let's hang out if you're down to get down tonight
Cuz it's always a good time

Good morning and good night
I wake up at twilight
It's gonna be alright we don't even have to try
It's always a good time.

Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.

Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.

Doesn't matter when
It's always a good time then
Doesn't matter where
It's always a good time there

Doesn't matter when,
It's always a good time then

It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time

Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
It's always a good time
Woah-oh-oh-oh Woah-oh-oh-oh
We don't even have to try, it's always a good time.