Kamis, 17 Januari 2013

Sebelum Memiliki


Matanya menatap kosong pada jendela kamarnya yang berembun. Hujan rintik-rintik hadir lebih awal daripada sang fajar. Kemeja hitam membuat lelaki berkulit putih itu tampak lebih cerah. Kontras dengan warna kulitnya. Sayangnya, matanya memancarkan sendu tak yang tak dapat diukur dengan satuan apa pun.

Ia kehilangan, bahkan sebelum ia sempat memiliki.

Namanya Fikar, namun perempuan itu memiliki panggilan khusus untuknya. “Fi” sudah cukup untuk membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Fikar tahu, hanya Nafi yang akan memanggil dengan panggilan itu.
Fikar tersenyum tipis. Ia bangkit dan berjalan meninggalkan kamarnya. Menuju rumah sebelah yang telah ramai sejak semalam. Pesta kepergian sedang dirayakan di sana. Hujan turun semakin deras. Fikar bersumpah, ia akan membenci hujan setelah hari ini.

***

Satu bulan sudah, Nafi berada di dalam ruangan ini. ruangan putih yang selalu rutin dikunjungi oleh orang-orang berseragam putih. Ia tidak bahagia, namun tetap ingin tersenyum. Berharap mukjizat yang nyata segera menghampiri setiap insan yang tersenyum. Nafi tahu, ia merindu. Merindu kepada lelaki yang tak sepatutnya ia rindukan.

Mencintainya hanya akan membuatku semakin sulit untuk pergi, batinnya.

Selang infus yang terhubung ke pergelangan tangannya tidak menyurutkan jemarinya untuk tetap bergerak. Menulis, menulis, dan menulis. Tanpa banyak berharap tulisannya akan dibaca. Ia menumpahkan segalanya.

Rindu. Cinta. Sepi. Sakit. Pergi.

Tulisan tangannya berhenti, tepat setelah huruf ‘F’ dan “i” tertulis di kertas itu. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Meninggalkan bercak merah basah pada baju biru yang dikenakannya. Hening. Beberapa menit kemudian, terdengar jeritan adiknya memanggil perawat. Nafi tak bergeming. Selamanya.

***

Teruntuk sahabat, kerabat, sekaligus cinta yang tak pernah kumiliki: Fi

Fikar terpaku memandangi tulisan tangan itu. ia tahu, segalanya terlambat. Andai dulu ia lebih berani mengungkapkan perasaannya kepada sahabat kecilnya itu. andai dulu ia tidak mengambil kuliah di London. Andai dulu ia menemani Nafi di rumah sakit...

Andai. Semua akan tetap menjadi “andai” yang abadi. Ia memeluk batu nisan itu. Tanpa suara, membisikkan cinta yang hanya mampu dipahami oleh semesta.

Tidak ada komentar: