Senin, 25 November 2013

Seperti Ini

Aku membenci keadaan seperti ini.

Kamu yang datang terlalu tiba-tiba. Menyapaku yang saat ini jelas sedang menikmati kesendirian.
"Sendiri?" tanyamu.
Bodoh. Kau pikir dengan siapa lagi?
"Iya," jawabku sekenanya. Menyembunyikan keterkejutanku karena mendapat sapaan darimu.
Lalu kita pun saling berlalu, begitu saja.

Atau yang seperti ini.
Aku berada di hadapanmu. Melihat tawamu di tengah keramaian. Tanpa sengaja, matamu menangkapku. Aku beralih pandang, seolah tak ada apa-apa, sewajar-wajar saja.

Atau ketika kau bercerita tentang harimu. Kesedihanmu, kegembiraanmu. Aku mendengarkan. Begitu hingga malam berputar menjelang pagi. Hanya untuk mendengarkanmu; menunggumu.

Aku benci keadaan-keadaan ini. Seperti saat ini, ketika sedang menulis ini.

Kau, di hadapanku. Sedang mengerjakan tugas bersama seorang temanmu. Dan aku terdiam kikuk sambil mengetik tulisan ini melalui netbook-ku.

Depok, November 2013

Minggu, 24 November 2013

Jarak Aman

Mungkin kau tidak peduli ketika jumlah absenmu melebihi jatah maksimal yang ditentukan dalam suatu mata kuliah.
Mungkin kau tidak peduli ketika kesibukanmu membuat lupa pada jadwal makanmu.
Mungkin kau tidak peduli ketika sebuah kecelakaan menimpamu dan kau masih mampu terkekeh kesakita di hadapan teman-teman kita.
Mungkin kau tidak peduli ketika kau pulang larut malam bermandikan hujan yang dinginnya menembus kulit.

Mungkin, kau tidak akan pernah peduli pada dirimu sendiri.

Namun, dari jarak aman ini, aku memerhatikan semua itu. Peduli? Entah apa itu namanya. Toh, tidak ada yang dapat kulakukan selain mengetahui ini-itu-ini-itu tentangmu. Sekadar tahu, tak sampai batas peduli.
Karena kepedulian itu hanya milik mereka yang tidak berada pada jarak aman sepertiku ini. Karena kepedulian itu hanya milik keluarga dan sahabat-sahabatmu.

Aku?
Tidak, atau belum berhak peduli kepadamu.

Sabtu, 02 November 2013

November Kini

Selamat datang, November.
Bulan yang pada tahun lalu menyimpan begitu banyak cerita. Entah itu cerita berupa kebahagiaan maupun kesedihan. Tentang perpisahan dan awal yang baru. Begitu banyak.; terlalu banyak.

November kini, kusematkan cukup banyak harapan padanya.
Bukan lagi pengharapan yang sama, bukan lagi objek yang sama.

Mari mewarnai November kini.

Minggu, 29 September 2013

Mendengarkanmu

Mungkin ini salah satu tindakan fatalku.
Menulis kata-kata penuh ambiguitas dalam buku catatanmu. Hingga pada hari ini, kaupertanyakan makna kalimat-kalimat itu...
dan kusambut dengan keheningan. Aku sungguh tak tahu hendak menjawab apa dan bagaimana. Aku hanya menuliskan apa yang kurasa. Aku yang mendengarkanmu, pun ingin kaudengarkan. Ingin sekali... tetapi aku tak bisa sebebas itu.

Ketika kau ceritakan tentang sosok itu, seseorang yang (mungkin) kaucintai, aku mendengarkan. Namun, sungguh aku tak mampu bercerita tentang seseorang yang mengganggu perasaanku belakangan ini. Aku tidak bisa menceritakannya kepadamu, seperti kaubercerita kepadaku.

Karena...
Bagaimana mungkin aku bercerita tentang dirimu kepada dirimu sendiri? Bagaimana mungkin aku bercerita kekecewaan dan kepiluan yang kurasakan karenamu, kepada dirimu sendiri?

Kau tidak akan mengerti semua ini.
Biarlah, hanya aku satu-satunya di sini yang mengerti, tanpa harus kaumengerti.
Tetaplah bercerita di sini.
Janjiku satu: mendengarkanmu.

Senin, 26 Agustus 2013

Kedatanganmu

Panas menyengat. Aku berdiri di hadapan para mahasiswa baru yang hendak melakukan ishoma. Di depan musala, beberapa langkah sebelum para mahasiswa itu benar-benar tiba. Entah mengapa, naluriku ingin menengokkan kepala ke arah musala. Kudapati dirimu di sana, tengah terburu-buru memakai sepatu. Aku kembali ada posisi kepalaku seperti semula. Mengatur napas, mengatur debar.

Kedatanganmu, begitu spontan. Padahal, kupikir kau masih dalam perjalanan dari pulau seberang. Kupikir kau tak akan hadir di sini. Kupikir...

Hingga para mahasiswa baru itu berbaris tepat di hadapanku, kau melewati sisi kananku. Berlalu terburu-buru. Kupikir karena kau pun hendak mengisi mentoring. Di situ, kutatap punggungmu yang menjauh. Kedatangan dan kepergianmu. Begitu saja. Tanpa ada yang terucap.

Tidak ada yang perlu dimengerti di sini. Cukuplah aku yang merasakannya. Allah sebaik-baik pemegang janji. Janji tentang "seorang wanita baik adalah untuk laki-laki yang baik".

Selasa, 16 Juli 2013

Far As You

Aku belum pernah "jatuh" pada seseorang yang jaraknya sejauh ini. Terpisah lautan dan daratan. Menempuh ratusan kilometer untuk dapat mencapaimu, sekadar melihatmu. Namun aku tak mampu bertindak sejauh itu. Aku masih berpijak di daratanku, kau di daratanmu.

Aceh... Jakarta...

Mengapa sosok mengagumkan sepertimu benar-benar menghantuiku? Harusnya aku sadar sejak awal, bahwa perasaan ini tak sebaiknya berlanjut. Aku berupaya, tetapi Allah berkuasa. Dialah yang membolak-balikkan hati manusia. Membolak-balikkan hatiku, mungkin juga hatimu.

Kedekatan ini... Kuharap hanyalah langkah awal. Entah menuju keseriusan atau tidak... Namun, kuharap iya.

Janganlah terlalu dekat, biar jarak ini memberi celah pada kerinduan kita untuk tumbuh subur. Meski menyiksa sekalipun... Bukankah happy ending really did exist?

Sebatas menyebut namamu dalam doa. Sebatas pengharapan itu.
Semoga Allah menjaga hati kita dalam jarak.
Semoga rindu ini kelak akan menemukan jalan pulangnya.
Semoga, semoga, dan semoga.
Aamiin...

Rabu, 12 Juni 2013

Dulu, Aku Pernah Punya Hati

bau hujan menusuk ke dalam rongga hidungmu. kau sebut itu cinta. aku tertawa. bagaimana cara kerja sebuah bau menuntunmu pada cinta?
hening sesaat, senyummu mengembang.
"ketika bau hujan tercipta karena orang yang kau cintai pernah berada di sampingmu saat itu," katamu mengenang.
aku terdiam. setiap katamu menghipnotis sel-sel dalam tubuhku. matilah segala rasa ini!
nyatanya, aku tetap ada, duduk di hadapanmu. tersenyum, mendengarkanmu.
aku tahu, ada dua hati di sini. namun, yang kurasakan hanya satu hati.
hati milikmu menempati hatiku.
lantas, di mana hatiku?
oh, rupanya tak ada. aku sudah tak punya hati.

dulu, aku pernah punya hati.
yang kemudian kau sakiti, lukai, dan mati.
hingga aku tak lagi punya hati.
akan tetapi, kau beri aku hati.
ya, sementara.
karena sebentar lagi akan kau beri hati ini pada wanita itu, lagi.
hingga aku tak lagi punya hati.
yang kemudian kau sakiti, lukai, dan mati.
dulu, aku pernah punya hati.

Asia Membaca

Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang lain menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telepon berdering.

Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu; Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kasta. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa ditemukan.

Asia.

Afrizal Malna, 1985

Senin, 10 Juni 2013

Step Forward

"I'm going, for my future."
Bijak sekali. Namun, memang inilah faktanya.
Where are you going, Dil?
Tidak tahu. Sungguh. Saya hanya ingin mengambil langkah maju; menjauh. Terutama darimu.
But he isn't behind you yet.
Ya. Saya pun tidak mengerti. Ini bukan akhir, karena tidak ada yang memulai apa pun di sini.

Kau boleh bilang bahwa segala yang kutulis di sini adalah "kegalauan" or whatever you said.
Aku menunggu, berharap, dan berdoa. Menyebut namamu berulang kali di hadapan-Nya.
Namun, aku sadar.
Segalanya membuka jalan sekaligus menciptakan pagar batas di antara kita. Ingin menyekat, pun melekat.
Dan jika pada akhirnya, seseorang itu bukanlah dirimu... tak apa.
Bukankah pada akhirnya takdir Allah adalah selalu yang terbaik?

So, I'm walking... I'm going.
With or without you, beside me.

Nantikan aku di batas waktu...

Rabu, 05 Juni 2013

Another June

Rasanya lucu. Benar-benar lucu.
Ketika dulu--tepatnya setahun yang lalu--saya merasa begitu berbahagia dengan kehadirannya di sisi saya. Menemani menjelajah sudut lain ibukota Jakarta. Menempuh perjalanan yang cukup jauh dan hanya bermodalkan GPRS dari HP-nya.
Saya berbahagia waktu itu. Sangat.

Tahun ini, Juni ini...
Bukan Juni yang sama, meski kami (masih) baik-baik saja.
Bertukar sapa, canda, dan sesekali ejekan.
Ingin rasanya merutuki masa lalu. Namun, apa guna?
Biarlah seperti ini saja. Saya tetap menjadi saya, pun dia menjadi dirinya sendiri.

'cause it just another June...

Sabtu, 01 Juni 2013

June is A Poem

Juni pernah menciptakan cerita
Juni pernah menabur cinta
Juni pernah memberi asa
Juni pernah memercikkan rasa

Kadang aku bertanya,
Juni yang menciptakan cerita;
Atau kita yang menciptakan cerita Juni?

Mengantung dalam benakku,
Juni yang menabur cinta;
Atau kita yang membeberkan cinta pada Juni?

Tanda tanya belum usai,
Juni yang memberi asa;
Atau kita yang berekspektasi terlampau tinggi pada Juni?

Pertanyaan terakhirku,
Juni yang memercikkan rasa;
Atau kita yang berusaha menutup luka pada Juni?

Agaknya saya salah dalam menggunakan kata 'kita' dalam hamparan aksara ini.
Mungkin, pernah ada 'kita' pada suatu hari di bulan Juni.
Yang tidak lagi ada.
Tidak akan lagi ada.

Juni tak selalu tentang luka.
Juni tak selalu tentang suka.
Juni adalah puisi.
Puisi adalah juni.

Kamis, 23 Mei 2013

Puisi Hujan

Kutemukan kau di balik batas
Bersama hujan yang terhempas
Bermandi rintik sambil berbisik:
Mesra

Hembusan angin membawa isyarat
Tentang rindu yang tak pernah sampai
Tak pernah terkirim
Tak pernah diharapkan

Mungkin ada aku dan kamu
Mungkin tak pernah ada kita
Berharap apa yang 'ada' berlalu menjadi 'tak ada'
Pergi saja

Hujan pun bersaksi
Aku
Kamu
Bukan kita

Sabtu, 27 April 2013

Setetes Harapan

Setetes harapan dari langit
Mencoba membasahi makna pada duka
Karena meratap tiada berarti
Bergegaslah, hadapi, dan bangkit!

Bukan perkara mudah
Ketika tak ada seorang pun di sisimu
Menghapus peluh dalam perjalanan ini
Nyatanya, kau memang sendiri dalam sunyi

Pun aku di sini
Meski selalu berharap untuk berada di sisimu
Meski takdir belum berpihak
Kuterima, aku tetap berpijak

Karena diamku memahami semesta
Tuhan ciptakan jiwa dan raga
Apabila raga tak dapat mengikuti bersama
Jiwamu ada; setia bersamanya

Hingga tetes-tetes harapan membanjiri pelupuk matamu
Yang jatuh seiring dengan doa yang kau rapalkan
Doa tentang harapanmu; harapan dua manusia
Semoga surga adalah titik pertemuan abadi kita

Jumat, 26 April 2013

Hanya Seseorang

Sejak awal, harusnya kupahami.
Terlalu banyak dramatisasi di sini. Semua tawa, kebersamaan, bahkan diskusi hangat.
Kau, hanya seseorang.
Seseorang yang mengajariku untuk membuka hati dari luka lama yang sempat menghinggapi. Seseorang yang  memiliki semangat luar biasa untuk meraih mimpi. Seseorang yang belum lama kukenal, namun telah membuatku berani banyak bermimpi tentang "kita".

Sudah. Enyah.

Sehabis membaca tulisanmu tentang seseorang-yang-kau-sebut-calon itu, aku pun semakin tahu diri. Ya, mungkin selama ini hanya aku yang merasa berarti. Hanya aku sepihak saja, tanpa kauketahui.
Semoga seseorang-yang-kau-sebut-calon di kota yang jauh di sana itu... memiliki takdir yang baik.
Sedangkan aku di sini, masih dan akan selalu percaya: "Allah has already writen the names of your spouses for you.What you need to work on is your relationship with Allah. He will send him to you when you're ready. It's only a matter of time."

Semoga Allah mengampuniku karena terlalu sering menyebut namamu dalam doa-doaku.


Minggu, 21 April 2013

Kata dan Kita

Membuka sejarah...
Tentang kita. Tentang persahabatan, mimpi, dan harapan.
Pertama kali mengenal kalian, tidak pernah saya mengira bahwa akan terjalin sejauh ini. Kupikir, sebatas persahabatan biasa semasa SMA. Sekadar kawan penawar duka dan pencipta tawa.

Hingga waktu bergulir lebih cepat daripada yang pernah kita duga. Waktu mencuri dan menghadirkan kebersamaan kita. Membuat hati kita masing-masing terisi oleh rasa bahagia.

Mengenal dan mengenang.
Hal terindah tentang persahabatan yang pernah kuketahui. Cerita masa SMA takkan pernah lekang oleh perputaran bumi maupun matahari. Mereka abadi; berasal dari hati.

Kini, kita bukan lagi remaja labil berseragam. Kita adalah kata-kata yang pernah kita ucapkan dulu.
Kata-kata tentang mimpi berkuliah, mimpi kesuksesan, mimpi berumahtangga...
Meski jarak memberi jeda pada pertemuan kita, semoga ikatan ini takkan pernah renggang.

Tetaplah berkata-kata tentang mimpi kita.
Karena kita saat ini adalah kata-kata yang kita ucapkan pada hari kemarin.

Sabtu, 20 April 2013

Cry

Hari ini, aku menangis dalam salatku.
Terpaku oleh lantunan ayat-ayat yang kau ucapkan di depan; di balik hijab sana.

Jumat, 19 April 2013

When I Was Tired

Tujuan saya tertidur adalah untuk beristirahat dari aktifitas dunia. Lelah? Ya, tentu saja. Namun, ketika dalam tidur justru menghadirkan mimpi yang mengingatkan saya pada rutinitas kesibukan, ini sungguh melelahkan. Bagaimana mungkin? Baik di alam sadar maupun alam bawah sadar saya seperti terisi agenda.
Penat.

Saya selalu tahu bahwa mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah apa pun. Mungkin ada kalanya, kita memang harus menyadari bahwa melakukan hal yang sia-sia itu menyenangkan. Paling tidak, membantu meringankan beban pikiran untuk sesaat.

Karena ketika merasakan semua ini, saya tinggallah mengingat. Apa tujuan saya hidup? Mengapa saya ikut organisasi ini-itu?
Tidak ada lelah yang sia-sia bagi orang yang beriman. Setiap langkah yang kita niatkan hanya untuk Allah semata pasti akan menjadi penolong kita di akhirat kelak. Lelah dan sakit ini pun belumlah seberapa dibandingkan dengan perjuangan Rasulullah di zaman jahiliyah.

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad [47] : 7)

Saya percaya pada firman Allah tersebut, karena itulah yang sedang saya alami saat ini. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu melebihi kemampuan hamba-Nya.

Selasa, 16 April 2013

Halal Pada Waktunya


Tidak perlu kutuliskan, seharusnya.

Apa yang harus kubanggakan? Ketika mata kita tak sengaja bertemu, aku menunduk malu, dan kau pun berlalu. Tidak ada, sungguh tidak ada yang patut kubanggakan. Pandangan itu tidaklah halal bagi kita berdua. Setan mungkin telah menembus dinding pertahanan hati kita...

Tidak boleh. Tidak akan kubiarkan seperti ini.
Kedua mataku ini, kelak hanya akan kupergunakan untuk memandang sesuatu yang hanya halal bagiku. Entah itu kamu, dia, atau siapa pun nanti. Aku masih belum tahu. Wallahu’alam.

Mengatasnamakan kekaguman—aku masih enggan menggunakan kata cinta—saja tidak mampu memberi label “halal” pada tindakan kita ini. Tidak semudah dan tidak seindah ini. Percayalah.
Jangan mengambil langkah terlalu cepat, karena mungkin saja apa yang kita inginkan belum tentu menjadi apa yang kita butuhkan. Rapatkan dinding pertahanan hati, jaga rasa, batasi jarak, dan utamakan Allah. 

Tetap percaya pada firman Allah, “Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik.”
Hanya terkadang kita yang tak mau menunggu. Ternodai nafsu yang semu. Dengan beraninya mendeklarasikan kata “cinta” pada pasangan yang jelas bukan muhrim dan belum tentu menjadi jodohnya. 

Ya, manusia terlena dalam perjalanan menunggu. Kita tidak tahu, bahwa mungkin saja Allah telah menyiapkan yang lebih baik untuk kita. Meski tanpa diminta, Dia mengerti. Dia pahami isi hati semua hamba-Nya.

Tetap menunduk. Pandangan itu pasti akan halal pada waktunya.

Minggu, 14 April 2013

Janji dan Doa

"Nanti, lo jadi penulis dan gue editornya, ya..."

Entah bagaimana, kalimat itu mampu kuucapkan di depanmu. Seperti sebuah janji yang terpatri, meskipun hanya disepakati sepihak.
Aku tidak meragukanmu. Hasil pemikiran yang kau olah menjadi deretan kata-kata sungguh menghipnotis siapa pun yang membaca tulisanmu. Semangatmu menjalar melalui tulisanmu. Segala yang kautulis, tentang ironi bangsa, mimpi, harapan, mukjizat, kegagalan, keberhasilan... semua... aku mengaguminya.
Dalam doaku, kuselipkan janji yang pernah kuucapkan padamu. Berharap Allah kelak akan mengabulkannya.

Dan kau tak perlu tahu...
Sederet doa lain yang kurapalkan bersama dengan janji itu.

"Aku ingin menemanimu menulis. Selamanya."

Selasa, 09 April 2013

Nothing

"Jangan tumbuh," kataku pada perasaan yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Sayangnya, ucapanku tak berpengaruh apa pun. Perasaan itu tetap tumbuh. Mengikat kuat meski aku tak sepakat. Terlambat. Aku pun terjerat.

"Jangan cemburu," kataku pada gemuruh yang menyambar dadaku ketika melihat kau akrab dengan perempuan lain.
Tak ada yang berubah. Badai berkecamuk di dalam sini. Murka hendak pecah menjadi kata-kata. Pada akhirnya, semua terjawab dengan diam dan airmata.

"Jangan bertahan," kataku pada hatiku yang rapuh.
"Jangan diam," kata seonggok luka di dalam sana.

Aku bergerak. Entah mendekati atau menjauhi. Yang kuketahui saat itu hanyalah mataku menangkap senyummu yang berpendar sesaat, kemudian hilang. Mati. Lenyap.

Tak ada siapa pun. Tak ada yang terluka.
Tinggallah aku bersama setitik kegelapan bernama sepi.
Tak ada.
Segala ilusi perlahan merangkak pergi.
Sunyi; sepi.
Kembali sendiri.

Senin, 01 April 2013

Satu?

"Berapa jumlah kalian?"
"SATU!"



Semoga masih teingat di dalam benak kita tentang memori indah ini. Keakraban ketika semua masih begitu menyatu tanpa ragu. Meski diselimuti malu, "Siapa namamu? Dari SMA mana?"
Senyum yang merekah tulus. Tangan-tangan yang terulur sambil mengucapkan nama masing-masing. Ah, tidakkah kalian rindu?
Ketika nyanyian masih seirama meski tanpa nada. Ketika tawa tak memerlukan lelucon berarti, asalkan bersama. Ketika perbedaan latar belakang bukan menjadi suatu hal yang berarti. Ketika semua masih utuh tanpa ada yang merasa tersisih...

Semoga "satu" yang kita ucapkan pada waktu itu bukan sekadar bual belaka.
Ke mana perginya rasa peduli itu?
Ke mana hilangnya sapa kehangatan itu?

Mungkin lenyap... tanpa pernah kausadari.

Jumat, 29 Maret 2013

Batas Belum Terpangkas

Memastikan diri untuk tetap tenang ketika jantung berdetak lebih cepat dari biasanya merupakan hal yang tidak mudah. Seketika itu pula, aku merasa payah dan kalah.
Terpisah jarak beberapa langkah. Senyum rasanya ingin segera merekah. Namun tertahan oleh rasa malu yang membuncah.
Kau pun melewatiku. Begitu saja; begitu cepat. Aku tak sempat terpana.
Ini tidak mudah. Bukan perkara rasa yang takut tak terbalas, melainkan sebuah konsistensi menjaga batas.
Mungkin, aku tak peduli jika kau pun merasakan hal yang sama seperti yang kualami. Sungguh tak peduli. Bukankah kita harus saling menjaga dan melindungi?
Karena aku dan kau tahu. Belum saatnya rasa ini diberi pupuk agar tumbuh subur. Belum saatnya. Nanti, akan ada masanya sendiri. Ketika segala batas yang kita jaga saat ini akan terpangkas oleh kata 'halal'.
Jadi, seperti ini akan lebih baik, kan? Aku menjaga serta terjaga, demikian pula denganmu.
Semesta pun tahu, kita saling melindungi rasa. Yang mungkin akan terungkap pada suatu masa.
Nanti.

Jumat, 22 Maret 2013

Kamis Manis

Tak pernah kuketahui jika Allah dapat menumbuhkan getar luar biasa di dalam dada yang terasa menakutkan dan manis seperti ini. Jarak tetaplah sesuatu yang harus tercipta di antara kita. Itu mutlak.
Tak akan kuizinkan setan menganggu getar yang mengusikku ini. Aku ingin merasakan ketakutan sekaligus ritme debar jantung yang tak beraturan ini lebih lama lagi.
Rasanya seperti anak ABG yang baru pertama kali jatuh cinta. Ah, terlalu klise. Cinta tak seharusnya diumbar dan digombal-gombalkan seperti itu, kan?
Maka, lebih baik aku diam. Meski gejolak ini takkan bisa diam.
Kamis terasa amat manis tanpa pemanis buatan.

Selasa, 19 Maret 2013

You Will Never Know

Letakmu di sana. Di depan layar monitor laptopmu. Menatap dengan serius seakan terlupa dengan dunia nyata yang sedang kaudiami.
Letakku di sini. Di sudut kelas kita. Menatapmu dengan malu meski tanpa ragu.
Lihatlah.
Kita akan selalu seperti ini. Kamu pada duniamu; aku pada duniaku. Tanpa sapa yang merambat, pun senyuman hangat. Mematung dan mengamati dalam diam. Inilah caraku mengenalmu yang tak perlu kautahu.
...dan kautak tahu, ketika matamu beralih dari layar monitormu dan berhenti di sudut kelas; aku tetap tak bergeming. Seulas garis lengkung terlukis di bibirmu.
Kautak tahu.
Karena perlahan aku menundukkan pandanganku. Berharap senyuman itu tetap pada tempatnya dan kelak akan kupandangi sesuka hati ketika Allah telah menghalalkan kita.
Kautak tahu.
Seketika aku meleleh.
Kau tak tahu.
Tak pernah tahu; tak perlu tahu.

Minggu, 17 Maret 2013

Episode Lain

Ada saatnya, yang tidak dapat membuatmu bertahan itu harus benar-benar kaulepas. Menghapus ingatan memang tak semudah mengedipkan mata. Namun, bertahan atas nama apa lagi? Jika segala yang membuatmu pergi telah membentang di depan matamu...
Maka, lepaskanlah. Pergilah.
Bahagiamu bukan di sini. Ada potongan episode lain yang menunggu di depan sana. Menanti untuk kaugapai...

"Tersenyumlah, Allah mencintaimu lebih dari yang kamu perlu..." - Galaksi Kinanthi

Minggu, 10 Maret 2013

Bingkai Ilusi

Menyapu pandang
Malamku mendadak lenggang
Tiada jejak terpancang
Melukiskan sesosok bayang

Pada sudut hati yang rapuh
Seonggok kenangan berserakan tanpa arti
Ruang hati yang sesak bertambah pilu
Namun tak sedikit pun meninggalkan ragu

Melangkah meski tanpa arah
Berlari, berputar, dan mengambil jalan lain
Membersihkan diri dan hati
Menghilang, berharap tenang...

dan tetap nyata.

Minggu, 24 Februari 2013

Kupu-kupu


Bagaimana caranya kau menghadirkan kupu-kupu di dalam dadaku ini? Kupikir, dadaku hanya akan tergelitik oleh kupu-kupu yang sama. Tidak akan terganti selamanya.

Bagaimana caranya kau menumbuhkan kembali sayap-sayap harapan kupu-kupu di dalam dadaku ini? Kupikir, sayap itu tidak akan pernah mengembang lagi. Terlanjur kaku terbujur kepompong yang tak kunjung berubah fase.

Bagaimana caranya kau memberi warna yang teramat indah pada kupu-kupu di dadaku ini? Memercikkan getar-getar tak terduga. Padahal, sebelumnya hanya abu-abu di sini. Tidak hitam, pun putih.

Bagaimana caranya kau menyuburkan kembali bunga-bunga yang telah layu di dalam dadaku? Padahal, aku tidak pernah memberinya penyubur apa pun. Bunga-bunga cantik merekah nyata di dalam sini. Membuat para kupu-kupu betah berlama-lama tinggal di sini.

Meskipun masih berwujud harapan dalam diam, kupu-kupu itu ada. Mereka hidup di dalam sini. Aku merasa bahagia sejenak, namun dapat juga merasa ketakutan jika membayangkan kupu-kupu itu mati akibat bunga yang tetiba layu.
Haruskah aku memupuknya setiap hari?
Ah, bukankah pupuk saja tidak mampu menyuburkan bunga-bunga ini? Dibutuhkan matahari, air, dan suhu yang tepat untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan bunga-bunga ini.
Dan...
Maukah kau membantuku melengkapi semua itu...
...nanti?


Depok, 23 Februari 2013

Jumat, 22 Februari 2013

たこ焼き

わたしは、あなたがいなくて寂しいです。

Kemarin, 21 Februari 2013, Prodi Jepang FIB UI mengadakan acara Nihon Fair "Road To Gelar Jepang 19". Acara tersebut tampak mengundang antusiasme dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa/i UI sendiri, mahasiswa asing, bahkan murid-murid SMA yang masih mengenakan seragam datang ke FIB.

Saya adalah salah satu dari kategori yang disebutkan di atas. Sebagai mahasiswi FIB, meskipun tidak terlalu menyukai hal-hal berbau Jepang, namun akhirnya memutuskan untuk singgah sejenak mengintip gedung IX, tempat acara Nihon Fair ini berlangsung.

Ada aura yang berbeda. Seperti... déjà vu.
Melihat bazaar yang menjual purezento, pernak-pernik Jepang, dan takoyaki. Saya butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa ini bukan mimpi. Saya mengenal betul festival Jepang seperti ini. Ya, meskipun baru dua kali menghadiri festival Jepang, namun suasana dan auranya tidak pernah berubah.

この日本祭は彼のことを思い出しました。

Berhubung siang itu saya merasa lapar dan waktu masuk kelas tinggal beberapa menit lagi, saya memutuskan untuk membeli takoyaki. Takoyaki adalah makanan khas Jepang yang berbentuk bola berisi daging gurita. Terbayang? Pertama kali saya menyantapnya pada tanggal 14 Juli 2012 lalu... pada acara Gelar Jepang 18 di Pusat Studi Jepang.

Ini berbeda. Rasa takoyaki yang saya santap kali ini terasa lebih hambar. Mungkin karena saya memakannya sendirian di sudut kelas. Mungkin karena saya sedang tidak nafsu makan. Atau mungkin... karena saya sedang merindukan seseorang yang pertama kali mengenalkan saya pada makanan ini.

はい、私は彼に会いたい。

Lima bola takoyaki telah saya lahap. Terlepas dari segala kehambaran rasa dan perasaan, makanan ini memang masih teraza lezat. Buktinya, saya merasa kenyang setelah menyantapnya.
Tentu saja.
Kenyang oleh masa lalu.

Selasa, 19 Februari 2013

Bait Waktu

pukul lima lewat tiga puluh delapan.
selamat pagi, jangan lupa sarapan.

pukul lima lewat tiga puluh sembilan.
semoga pada hari ini tidak ada kekesalan.

pukul lima lewat empat puluh.
sejujurnya, rindu ini selalu utuh.

pukul lima lewat empat puluh satu.
apa kau merindu seperti itu?

pukul lima lewat empat puluh dua.
rasanya, rindu ini milikku seorang saja.

pukul lima lewat empat puluh tiga.
perasaan ini mengguncang jiwa raga.

pukul lima lewat empat puluh lima.
aku pun sadar, tak boleh seperti ini terlalu lama.

pukul lima lewat empat puluh enam.
masih banyak mimpi yang harus kugenggam.

pukul empat lewat empat puluh tujuh.
maka, izinkan takdir membuat kita sementara menjauh.

pukul empat lewat empat puluh delapan.
mungkin saja, kita menyatu kembali di masa depan.

pukul empat lewat empat puluh sembilan.
semoga bukan sekadar imajinasi dan khayalan.

pukul empat lewat lima puluh.
hati ini pasti tahu ke mana jalan pulang; meski terasa jauh.

pukul empat lewat lima puluh satu.
jika Allah berkehendak, kita pasti menyatu.


Pagi hari yang dingin,
Jakarta, 2013

Minggu, 17 Februari 2013

Past, Present, and Future


Pagi ini, rasanya terlalu tabu jika aku sudah menuliskan sesuatu atau pun segala hal tentangmu. Kamu, yang tinggal di masa laluku, memang sangat menggoda untuk kusinggahi berlama-lama. Padahal, rasanya tiada guna. Justru membuat luka semakin menganga. Namun, apa daya? Hati tak kuasa berpaling. Ternyata segalanya masih terasa sama, meski tak utuh lagi.

Keputusan di masa lampau yang pernah kita sepakati secara bersama, mematikan indra perasa di hati ini. Bukannya kehilangan perasaan, namun memang tiada rasa yang ‘lebih’ daripada ketika mengenang kebersamaan aku dan kamu; kebersamaan kita.

Bodoh. Mengungkit masa lalu yang tidak mungkin terjadi lagi. Untuk apa? Ini adalah kebiasaan baru yang menjadikan candu. Memutar lagu-lagu yang dulu pernah memberi warna-warni romansa kita. Mengunjungi tempat-tempat yang menjadi saksi bisu kedekatan kita. Mematung di depan layar monitor untuk memantau update-an darimu di situs jejaring sosial.

Memang tak berarti lagi. Keputusan tetaplah keputusan. Hidup terus berjalan—dengan atau tanpamu di sisiku. Walaupun terkadang, takdir masih saja mempermainkan kita melalui pertemuan singkat tak terencana. Menggoyahkan dinding pertahanan yang selama ini dengan susah payah kubangun di sekeliling hatiku.

Tidak apa-apa. Aku percaya, suatu saat nanti kita juga akan saling melupakan. Jika sudah menemukan pasangan hidup masing-masing. (padahal, masih berharap bahwa kamu adalah pasangan hidup di masa depan).



“Di angkasa terlukislah kisah kita
Dua manusia yang berputar demi cinta
Mungkin cuma aku dan kamu
Yang terperdaya bekas badai ini
Mungkin cuma aku dan kamu
Yang percaya ini semua ‘kan jadi nyata...
Meski jalan ini kadang bertambah berat
Sudikah kau tunggu?
Relakah kau melepasku?”

Sabtu, 16 Februari 2013

...


Reaching out for no man's land
To take a breath and take a chance
I'd walk a thousand nights to change the world
Where to go? When to start?
Who to trust? What to say?
Found them all, just need someone to share

It's now in the dusk every day to carry on
Ain't so strong, I ain't so strong to go
Living in the past is not the way to live
I wish you could hear me say that I miss you

Why were we there back to back?
Why were we there face to face?
I must be the light when you're in the dark
If you lose me somewhere, and your tears are in the air
I will ring a bell until you feel me by your side

Looking up into the sky, looking for the reason
Why I'm here, and why you can't be here
Who's to hate? Who's to blame?
Who's to hurt? Who's to love?
Who just asked 'Why we can't we be the same?'

Try to believe walking down the lonesome road
Ain't so far, I ain't so far from you
Staying the way you are means solitude
I wish you were here and shook off my fear

Why were we there back to back?
Why were we there face to face?
I must be the light when you're in the dark
If I lose you somewhere, and I'm still hanging in there
I will ring a bell until you feel me by your side

What has been in the mix too long?
There's the peace when you're at war
Heads or tails, You and I
Light and dark, Ups and downs
What has been in the mere goal? What's there to divide us?
If you're hurt, cry and say 'can't you see your my other half?'

Why were we there back to back?
Why were we there face to face?
I must be the light when you're in the dark
If you lose me somewhere, and your tears are in the air
I will ring a bell until you feel me by your side


(source: http://www.lyricsmode.com/lyrics/b/bonnie_pink/)

Sastra Neptunus



Bahasamu.
Yang terkadang tak mampu kumengerti, tak terjangkau oleh imajinasiku.
Bahasamu.
Yang mengandung isyarat; tentang bertahan atau pun melepas.
Bahasamu.
Yang membuat bunga-bunga di hatiku merekah sempurna.
Bahasamu.
Yang berasal dari planet neptunus, penuh misteri.
Bahasamu.
Yang meski tak kupahami, namun tetap kupelajari karena cinta.




sas·tra n 1 bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dl kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); 2 kesusastraan; 3 kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; 4 kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); 5 tulisan; huruf.

Jumat, 15 Februari 2013

Boleh Kuminta Kembali?



Aku menaruh hati.
Kamu mengambilnya, membawanya ke mana pun kamu pergi. Seakan lupa bahwa ragaku masih di sini. Tak pernah terbawa. Perlahan, aku mulai menyadari bahwa aku adalah raga yang terabaikan.

Yang selalu kamu bawa itu adalah hati milikku. Boleh aku memintanya kembali? Agar aku dapat menata ulang hatiku. Mengobati luka-luka yang tergores di sana.

Yang selalu kamu bawa itu adalah hati milikku. Meski aku terabaikan olehmu. Meski tak ada kata sapa di antara kita. Meski semua telah berlalu dengan sendu.

Untuk terakhir kalinya, bolehkah kuminta hatiku kembali?
Aku ingin menaruh hati lagi. Walaupun terjatuh lagi. Hatiku terbawa lagi. Berdebar lagi, bahkan terabaikan lagi.
Namun bukan lagi denganmu
...
boleh?

Kamis, 14 Februari 2013

Mati Berhenti


Berlari.
Menghindar.
Menjauh.
Pergi.
Melayang.
Sepi.
Mati.
Berhenti.

Terbang.
Singgah.
Merona.
Berdebar.
Diam.
Lenyap.
Mati.
Berhenti.

Bergerak.
Mundur.
Sakit.
Singgah.
Pergi.
Doa.
Bayangan.
Mati.
Berhenti.

Senin, 11 Februari 2013

Pantaskah?

Pertanyaan sederhana.
"Pantaskah?"
Ketika kita mengeluh tentang bobot tubuh yang tak kunjung menunjukkan penurunan, sedangkan makanan yang tersedia amat sangat mengundang untuk kita santap... Lantas, kita akan menyalahkan Tuhan yang membiarkan makanan-makanan tersebut tersedia.

"Damn! Kenapa banyak makanan? Gue kan lagi diet!"
"Sial. Sengaja banget kan, biar gue gak kurus-kurus..."
"Kayaknya emang gak diizinin kurus deh gue. Bodo deh. Makan lagiiii..."

Pantaskah?
Bukankah segala sesuatu yang telah dikaruniakan kepada kita adalah sebuah keberkahan? Mengapa harus mencaci, sedangkan di belahan dunia lain, bahkan di tepi jalan yang tak jauh dari rumah kita, terdapat mereka yang membutuhkan sesuap makanan. Bukan makanan untuk dinikmati, seperti yang dapat kita rasakan. Hanya makanan sekadar pengganjal perut; untuk bertahan hidup.


Pantaskah?
Ketika kita sedang berusaha menahan lapar agar tetap memiliki berat badan ideal, mereka justru sedang menahan lapar karena tidak adanya makanan yang tersedia. Rasanya, membanting tulang-tulang beserta daging tak berlemak itu pun tak cukup untuk mengisi kekosongan perut.


Ini bukan tentang keegoisan semata. Pun tentang hati yang telah mati. Terkikisnya rasa untuk berbagi.
Pantaskah?
Manusia yang diciptakan dari kasih sayang, mengapa justru tidak saling menyayangi sesama? Mengapa justru menyalahkan Tuhan dengan ketidakadilan berat badan?
Foto-foto di atas hanyalah potret sebagian kecil anak-anak miskin di seluruh belahan dunia. Semangat membara tak kenal padam. Demi sisa makanan yang tak habis kita santap karena ngeri badan kita melebar.

Semoga bukan hanya makanan kita yang tersisa di piring. Nurani pun diharapkan keberadaannya, meski berupa remahan kecil dari hati seorang manusia.

Moving



Senyum itu berpindah kepemilikan, entah bagaimana prosesnya.
Rindu itu berpindah rumah, entah bagaimana perpindahannya.
Kekaguman itu merayap ke arah lain, entah bagaimana pergerakannya.

Diam-diam bersyukur, berharap luka cepat terkubur. Menyadari bahwa kamu tidak lagi mendominasi ruang di sudut hati ini. Berganti. Menepi. Menanti. Sepi.
Biarlah seperti ini.
Jengah bermain hati. Biarkan hati bermain sendiri dalam imajinasi yang tak dapat dipahami.
Aku tetap di sini.
Mengamati siluet senja yang perlahan pergi digantikan oleh cahaya bulan.

Lebih indah; menenggelamkan gundah.

Jumat, 08 Februari 2013

Perkara Waktu Disertai Rindu

Ada keganjilan yang nyata ketika aku menatap senyum yang terpampang pada sebuah foto di layar monitorku. Senyum itu, senyum yang sempat memberi rasa nyaman saat perasaanku kacau balau. Dulu.
Yang seharusnya berlalu memang harus dilalui. Hanya terkadang, rindu yang menggelayut pada lubuk hati terdalam memang tidak dapat disembunyikan. Itu saja.

Aku tidak melupakanmu, tidak akan pernah. Kamu akan tetap menempati ruang kecil di dalam hatiku dan kukunci rapat-rapat. Sekadar pengingat bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semanis apa pun janji setia yang pernah terucap, takdir tetap tidak dapat ditoleransi.

"Berhentilah... Tulang rusuk tidak akan pernah tertukar. Ini hanya perkara waktu saja. Kebahagiaan dunia dan akhirat tercipta bagi mereka yang selalu bersabar."

Rabu, 06 Februari 2013

Awake

I'm wide awake
Yeah, I was in the dark
I was falling hard
With an open heart
I'm wide awake
How did I read the stars so wrong?
I'm wide awake
And now it's clear to me
That everything you see
Ain't always what it seems
I'm wide awake
Yeah, I was dreaming for so long
(Katy Perry - Wide Awake)


Semua yang terluka pasti akan sembuh pada waktunya. Tidak perlu terburu-buru, karena proses penyembuhan yang efektif terkadang memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Yang perlu kamu yakini adalah, di setiap kamu merasa terjatuh dan sakit, sesuatu di masa depanmu pasti akan memberimu kesembuhan. Entah dalam bentuk kejutan rezeki, pekerjaan, maupun asmara.

Tidak ada manusia yang ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ketika sesuatu yang kamu tunggu tak kunjung memberi kepastian dan hanya meninggalkan jejak kepedihan; tinggalkan. Sesuatu yang jauh lebih baik telah menunggumu di depan. Untuk apa menantikan sesuatu yang belum tentu datang di kehidupanmu? Hidup terlalu berharga untuk sekadar menangisi satu hal dan melupakan banyak hal lain yang akan memberi kehidupan sesungguhnya untukmu.

Bangunlah!
Ketika kamu merasa mimpi ini terlalu panjang dan melelahkan. Ketika kamu bangun, kamu akan menemukan  objek lain yang menenangkan hatimu. Meskipun ketika bangun, lukamu akan terasa lebih sakit berkali-kali lipat, tidak apa. Sebutlah itu sebagai proses. Bukankah ketika kamu sering merasakan sakit, itu justru membuatmu menjadi lebih kuat?

Toh pada akhirnya, setelah kamu terbangun dan melakukan aktifitas yang menyehatkan hati dan jiwamu, kamu akan membutuhkan istirahat. Tertidur lagi, bermimpi lagi. Bisa jadi, mimpimu akan lebih indah dari mimpi sebelumnya. Lalu, mengapa harus takut untuk terbangun sebelum bermimpi lagi?


Selasa, 05 Februari 2013

Mendahului Pagi

pernahkah merasa pagi terlalu dini untuk menyapa?
padahal sisa-sisa kegelapan masih kentara
di langit yang menyimpan bejuta nelangsa
pun secercah harapan tercipta

siluet mentari pagi memberi debar di dada
membangkitkan ingatan tentang malam sebelumnya;
kehadiranmu di dalam selimutku,
bertukar kehangatan dalam iman yang membeku

tidak ada yang patut kutunggu lagi
aku menyeruak dalam duka ini sendiri
sementara kau pergi tanpa nurani
mendahului pagi.

Kamis, 31 Januari 2013

Dewi Lestari - Back To Heaven's Light

"...If once we had decided to forget, then we alone can decide to remember. We all started the same journey. This had been an illusion of a journey, for it didn't have a start and didn't have an end."


Will We Meet Again?

"When you missing someone and there's nothing you can do with it..."

Saya tidak sepatutnya seperti ini. Namun, semua masih begitu jelas dalam ingatan saya. Keadaan ini diperparah dengan kehadiran kamu di dalam mimpi saya. Kenapa?
Kenapa kamu hadir lagi?
Saya benar-benar tidak bisa melakukan apa pun selain menolak perasaan itu. Saya tahu saya harus menjauh.

"Jika suatu saat kita bertemu lagi..."

Entah. Mungkin itu hanya untaian kalimat dari seseorang yang terlalu berekspetasi pada masa depan. Atau untuk orang-orang yang percaya akan adanya keajaiban. Saya tidak tahu. Yang jelas, Allah pasti telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk kita. Pun persoalan pertemuan kita di masa yang akan datang...

Allah works in His mysterious way...

Rabu, 30 Januari 2013

Kedap Suara

menjerit
berteriak
memaki
memuji
tertawa
menangis
berharap didengar
meski nyatanya:
tidak.
aku di sini
mengurung diri
tak dipedulikan
dalam ruang
kedap suara

Senin, 28 Januari 2013

Kalian...

Kebersamaan yang tercipta secara terus menerus dapat menimbulkan perasaan lain yang tumbuh begitu saja di dalam hati manusia. Cinta? Sayang?
Meskipun tidak dapat dipungkiri, hal itu biasa terjadi pada kisah cinta di antara dua orang makhluk ciptaan Tuhan. Namun, yang saya rasakan kali ini sungguh berbeda. Merasa pulang, berada di rumah, berani melepaskan jiwa yang terkekang. Merasa hidup. Merasa berarti.
Persahabatan itu sederhana.
Sesederhana kebahagiaan yang tiba-tiba ada di antara kita. Tawa lepas yang menggelitik telinga, tingkah laku unik, senyum tulus yang merekah dari bibir mereka...


Lucu.
Dulu, saya sempat berpikir bahwa persahabatan sejati hanya ada di dalam film maupun novel. Tidak ada yang berwujud nyata. Apalagi ditambah dengan pengalaman-pengalaman bersahabat saya. Mungkin saya sempat merasa sangat-sangat dekat dengan beberapa orang, lalu men-judge mereka sebagai sahabat. Karena perasaan nyaman itu.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah berbeda sekolah dan jarang berkomunikasi, kami pun merenggang. Kehilangan. Lalu, proses pencarian sahabat-dalam-arti-sesungguhnya pun terus berlanjut.
Memasuki fase remaja, beberapa dari sahabat itu mulai muncul ke permukaan. Radarku pun menangkap sinyal-sinyal kecocokan dengan mereka. Pertemuan-pertemuan dan kebersamaan yang terangkai baik secara disengaja maupun tidak disengaja telah menguatkan kami ber-18.
Ya, kami sempat berbangga dengan keluarga baru kami: TAPE
Pasca-kelulusan dari 'masa putih abu-abu', ketakutan itu sempat muncul lagi. Akankah kehilangan lagi? Mencari lagi? Ataukah mampu bertahan hingga... batas-waktu-yang-tidak-dapat-ditentukan?
Saya mengenyahkan pikiran buruk itu. Dan waktu terus berputar, menjawab teka-teki yang memang saya takutkan sejak awal kebersamaan kami.
Perlahan, satu per satu dari kami menjauh. Ada yang membentuk 'keluarga' baru di luar sana. Ada pula yang memilih individual. Entah, apakah saya, Jeje, Astri, dan Naila adalah sisa... atau justru yang termasuk menjauh juga.

"Jadi, tinggal segini?"

Life must go on.
Pekuliahan pun dimulai. Tentu saja kami semakin terpisah. Tidak ada satu pun di antara kami yang satu jurusan. Kalaupun ada, hanya satu fakultas. Akankah kembali merenggang?
Alhamdulillah, ternyata tidak.
Kami justru semakin melekat satu sama lain. Bahkan, saya akui. Saya tidak menemukan sahabat-sahabat seperti mereka di jurusan atau pun di fakultas saya. Saya lebih dekat dengan mereka, meskipun dengan pertemuan setiap dua minggu sekali, bahkan sebulan sekali. Saya pun heran, dengan pertemuan yang jarang ini, hati kami tetap terpaut satu sama lain...
Erat.
Terima kasih kepada AstriJejeNaila, dan Nita. Sahabat, keluarga, sekaligus separuh tulang rusuksebutan dari Nita—yang selalu ada, selalu setia. Saya tidak menginginkan kesempurnaan dalam persahabatan ini. Karena ketidaksempurnaan kita akan menyempurnakan satu sama lain.
Semoga bertahan sampai...
kita berada di surga nanti
bersama kembali.

Dari seorang yang kece...mutan, untuk para sahabat kece...pian.

Minggu, 27 Januari 2013

Still?

"...kadang, putus secara baik-baik itu menyiksa."

Chat dengan Astri


Ada

aku ada
jika kau ingin bicara
aku ada
jika kau ingin bercerita
tetapi jika kau memilih memendam
pun tak apa
aku tetap ada
mengamati gelisahmu
sendiri
tanpa perlu kau ketahui

Sabtu, 26 Januari 2013

Tertinggal

Sepagi ini, dan saya sudah merapikan kamar. Yaaa, meskipun saya tidak sedang jatuh cinta, tetapi apa salahnya merapikan kamar yang memang bentuknya sudah tidak karuan pascaliburan ini?

Dan ternyata, kepingan itu berawal dari sini.

Saya merapikan tumpukan tas yang letaknya di sebuah meja kecil di bawah cermin. Beberapa tas saya pisah, karena tidak semua tas layak pakai di sana. Ketika membongkar-bongkar isi tas, saya menemukan dompet yang sudah lama tidak tersentuh oleh saya. Iseng, saya pun membukanya.
Dan...
Beberapa potongan kertas menyembul dari salah satu bagian dompet. Saya mengambilnya dengan perasaan entah-sulit-dituliskan-di-sini.
  1. Dua buah tiket film "Perahu Kertas" di Detos. Sabtu, 18 Agustus 2012.
  2. Satu buah tiket film "Paranormal Activity 4" di Margo City. Minggu, 11 November 2012.
  3. Bill pembayaran di Zoe Restaurant. Sabtu, 18 Agustus 2012.
  4. Satu tiket masuk Museum Wayang, Kota Tua. Kamis, 14 Juni 2012.
  5. Dua buah tiket Trans-Jakarta. Kamis, 14 Juni 2012.
  6. Tanda bukti parkir motor di Ragunan pintu timur. Kamis, 14 Juni 2012.
  7. Sepotong kertas bertuliskan................*sensor*
Tanpa bermaksud mengusiknya lagi, saya segera memasukkannya kembali ke dalam dompet. Menutupnya rapat-rapat, berharap apa yang saya temukan tadi tidak terbawa ke dalam pikiran. Menghempaskannya jauh-jauh dan menguburnya kembali.
Saya tidak menyesal merapikan kamar pagi ini. Yang saya sesalkan adalah...

"Kenapa masih ada yang tertinggal... 'di sini'?"


Remember?

“Will you remember how we are? Will you stay with me when I try to be a better one for you in this new world?”

(Nadya Fatira - A New World)


Jumat, 25 Januari 2013

Strength

Aku tidak selemah yang kau bayangkan.


...juga tidak sekuat yang kau pikirkan.

#nowplaying Somebody That I Used To Know

Goodbye

"There’s a 'good' in goodbye..."

Kamis, 24 Januari 2013

Asap


kepada kalimat yang belum terucap
sampaikan segala isyarat berupa asap
melayang tanpa bimbang
membaur bersama angin tempatnya terkenang

sudah kukatakan, aku tak kan pergi
namun lisanmu membakar hatiku
maka perasaanku pun tinggallah abu
yang kini kau sesali sampai mati

Kau Serupa Puisi




Kau serupa puisi
Yang kutulis setengah jadi
Pada lembaran kisah sepi
Meneguk rindu tanpa prediksi
Membabi buta menerka mimpi
Padahal hanyalah ilusi

Kau serupa puisi
Yang selalu paling dikagumi
Karena rangkaian kata tersusun rapi
Memancarkan keindahan surgawi
Menjalar ke sudut hati paling sunyi
Menebar gejolak tak terperi

Kau serupa puisi
Menarik ujung-ujung bibirku hati-hati
Merekahkan senyum penuh arti
Meski hanya sesaat dinikmati
Meninggalkan jejak eksotisme penuh misteri;
Kaukah puisi ini?

Rabu, 23 Januari 2013

Hadirkan Aku Dalam Mimpimu

secarik kenangan bergoreskan kisah tanpa judul
biarkan mendekam dalam sepi
tanpa arti; berdiam diri
memberi ruang pada bayang yang memantul

membatasi batas, menyelami kedangkalan
agaknya segala terasa hambar
serupa tak tergenggamnya angan
bergemul dalam rangkaian mimpi dengan sabar

bahkan ketika aku pun menyadari
dulu tak ada aku; tak ada kita
kau tak menyertakan aku dalam sebaris mimpi
yang kau rangkai secara sempurna

awanku runtuh menjadi gerimis
kau tak menginginkan basah
aku menepis
mengapa jadi serbasalah?

punggungku memunggungimu
hadirkan dulu aku dalam mimpimu
barulah kau datangi aku
memohon agar kembali padamu

menciptakan berlembar-lembar halaman mimpi
kita; bukan kau
tak kuinginkan kebersamaan semu
karena nyata dapat dirasakan sampai mati, nanti.

Selasa, 22 Januari 2013

Elegi


Jiwamu mendesak, mencari kepingan yang dulu kau biarkan luruh
bersama hujan petir serta gemuruh
Menggenangi dataran hampa yang kau sebut sebagai hati
Oh. Kau punya hati?
Aku menunduk
Tak ingin tahu lebih banyak tentangmu; tentang kita
Kau bilang, tak perlu peduli tentang hari esok
Bumi akan berotasi dan berevolusi dengan sendirinya, tanpa perlu kau ambil pusing apa yang akan terjadi di masa yang akan datang
Ketika suatu hari kutanyakan, “Mau ke mana kita?”
Kau hanya tertawa sambil menuntunku untuk menikmati perjalanan ini
Bagaimana mungkin aku menikmatinya, sementara tujuannya pun tak kuketahui?
Pola pikirmu sungguh di luar kemampuanku
Mungkinkah kau terlahir dengan panca indera lebih?
Seakan kau tahu segala, semua, semesta
Sedangkan aku berjalan di sampingmu
Hampir tersesat
Sebelum akhirnya memutuskan berbalik arah dan mengambil jalan lain
Memunggungimu, tanpa berbalik lagi
Keping itu dengan sempurna terbagi menjadi:
elegi

Misteri Pagi



Pagi selalu memiliki misteri tentang ruang ingatan yang seharusnya terkunci rapat. Membangkitkan gejolak yang selalu kauhindari pada malam sebelumnya. Bagaimana langit membiru, padahal separuhnya masih menyimpan gelap? Bagaimana semesta sepakat untuk mengingatkanku padamu? Apa daya mengelak, bila kenyataannya, pagi selalu dapat menerima maaf tak bertuan. Pagi, aku tak ingin terjebak dalam misteri ini lagi. Izinkanlah aku menyendiri.
Tanpa pagi.

Senin, 21 Januari 2013

Tiga Pasang Mata

Langit sore memancarkan rindunya pada sang malam. Siluet jingga mendekap erat batas bumi. Perlahan, sang matahari bergerak turun. Menghilang di batas siluet itu dan akan kembali lagi esok hari. Lampu-lampu di sepanjang jalan kota Jakarta mulai menampakkan cahayanya. Kemacetan bak kunang-kunang bercahaya merah, putih, dan kuning di malam hari. Cantik.
Perempuan di sebelahku menyibakkan rambut ikalnya yang dibiarkan tergerai. Ia akan terlihat sempurna dilihat dari sudut manapun. Ia memiliki segalanya; kecantikan, suami tampan yang kaya raya, karier yang melejit, seorang anak perempuan cantik jelita. Sempurna.
Tangan kirinya meraih ponsel dari dalam tasnya. “Jakarta macet gini, kabarin si Inka kalo kita telat,” ia menyodorkan ponselnya padaku. Aku menerimaya dan segera mengirim sebuah pesan singkat kepada Inka.

“Kayaknya kita perlu ambil jalan pintas. Balik arah deh,” pintaku.

Ia tampak berpikir sejenak dan memutar kemudi. Kami melewati jalan sempit yang hanya dapat dilewati satu mobil. Ia menggerutu kesal, takut mobil barunya lecet. Ia berceloteh dan memaki setiap orang yang mengganggu jalannya. Aku hanya diam, karena yang ia perlukan saat ini bukanlah mulut untuk berdebat, namun telinga untuk mendengarkan.

Ia ingin didengarkan.

***

Pukul 19.05 WIB kami tiba di sebuah kafe di kawasan Kelapa Gading. Seorang wanita berkerudung biru melambaikan tangan ke arah kami: Inka.

“Kalian sukses bikin gue nambah hot cappucino tiga kali, tau nggak?”
Kami tertawa kecil.
“Siapa suruh ketemuan di sini, di hari kerja pula. Kayak nggak tahu Jakarta aja!” balasku.
“Tempat ini rekomendasi dari Gina loh,” Inka melirik Gina.

Gina menyatukan kedua tangan di depan dada sambil tersenyum tanda permohonan maaf. Kami mendaratkan cubitan lembut di pinggangnya. Ia terkekeh geli.

Sebuah meja berbentuk persegi yang diisi oleh tiga orang wanita yang sibuk dengan dunia kami sendiri. Kami tidak memerlukan orang lain ketika kami sedang berkumpul seperti ini. Dunia ini milik kami. Titik.
Kami tidak memerlukan banyak kata-kata untuk mengungkapkan apa yang kami rasakan. Aku memandangi Inka dan Gina. Mata mereka berbicara sangat lantang pada mataku. Kutemukan mata Gina yang memancarkan luka. Kudapati mata Inka yang rapuh. Dan mungkin, mereka akan melihat gemuruh tak beraturan di dalam mataku. Entah.

Mata kami berbicara dalam diam.

Inka menarik napas panjang. Kami terus menatap matanya, menuntut penjelasan. Ia tersenyum dan kerapuhan itu semakin jelas. Ia mengusap punggung tangan kami yang menyatu di atas telapak tangannya. Tanpa kata, tanpa isyarat, dan kami mengerti.
Mata kami beralih ke Gina. Sosok wanita sempurna ini menampakkan lukanya di dalam bola matanya. Luka tentang kehadiran orang ketiga dalam rumah tangganya. Ia menangis di dalam matanya, tanpa airmata, namun kami mengusap lembut pelupuk matanya seakan ada air di sana. Ia tersenyum dan mengangguk. Kami mengerti.
Aku. Gina mengerlingkan matanya padaku sambil tersenyum usil. Padahal aku baik-baik saja, kurasa. Inka mencubit pipiku lembut, “Lagi jatuh cinta sama siapa sih, Non?”

Aku terkesiap. Pipiku terasa panas.

Mereka menangkap debar ini. Mereka membaca mataku. Kami saling mendengar mata kami berbicara. Kami tertawa selagi ada. Kami bahagia selama kami bersama. Kami melupakan dunia yang lain selagi terjebak dalam dunia kami ini. Kami tahu, semua akan baik-baik saja...

...selama kami ada bertiga, dengan mata yang selalu berbicara tanpa kata.
Kami mengerti.


Kamis, 17 Januari 2013

Sebelum Memiliki


Matanya menatap kosong pada jendela kamarnya yang berembun. Hujan rintik-rintik hadir lebih awal daripada sang fajar. Kemeja hitam membuat lelaki berkulit putih itu tampak lebih cerah. Kontras dengan warna kulitnya. Sayangnya, matanya memancarkan sendu tak yang tak dapat diukur dengan satuan apa pun.

Ia kehilangan, bahkan sebelum ia sempat memiliki.

Namanya Fikar, namun perempuan itu memiliki panggilan khusus untuknya. “Fi” sudah cukup untuk membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Fikar tahu, hanya Nafi yang akan memanggil dengan panggilan itu.
Fikar tersenyum tipis. Ia bangkit dan berjalan meninggalkan kamarnya. Menuju rumah sebelah yang telah ramai sejak semalam. Pesta kepergian sedang dirayakan di sana. Hujan turun semakin deras. Fikar bersumpah, ia akan membenci hujan setelah hari ini.

***

Satu bulan sudah, Nafi berada di dalam ruangan ini. ruangan putih yang selalu rutin dikunjungi oleh orang-orang berseragam putih. Ia tidak bahagia, namun tetap ingin tersenyum. Berharap mukjizat yang nyata segera menghampiri setiap insan yang tersenyum. Nafi tahu, ia merindu. Merindu kepada lelaki yang tak sepatutnya ia rindukan.

Mencintainya hanya akan membuatku semakin sulit untuk pergi, batinnya.

Selang infus yang terhubung ke pergelangan tangannya tidak menyurutkan jemarinya untuk tetap bergerak. Menulis, menulis, dan menulis. Tanpa banyak berharap tulisannya akan dibaca. Ia menumpahkan segalanya.

Rindu. Cinta. Sepi. Sakit. Pergi.

Tulisan tangannya berhenti, tepat setelah huruf ‘F’ dan “i” tertulis di kertas itu. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Meninggalkan bercak merah basah pada baju biru yang dikenakannya. Hening. Beberapa menit kemudian, terdengar jeritan adiknya memanggil perawat. Nafi tak bergeming. Selamanya.

***

Teruntuk sahabat, kerabat, sekaligus cinta yang tak pernah kumiliki: Fi

Fikar terpaku memandangi tulisan tangan itu. ia tahu, segalanya terlambat. Andai dulu ia lebih berani mengungkapkan perasaannya kepada sahabat kecilnya itu. andai dulu ia tidak mengambil kuliah di London. Andai dulu ia menemani Nafi di rumah sakit...

Andai. Semua akan tetap menjadi “andai” yang abadi. Ia memeluk batu nisan itu. Tanpa suara, membisikkan cinta yang hanya mampu dipahami oleh semesta.

November


November telah pergi
Menyudutkanku dalam angan sepi
Harapan yang terhampar luas
Seakan belum mampu mengubur luka tak bernama
Kau mendera sepi
Aku menyangsikan sunyi
Pada akhirnya,
Kata “kita” hanya akan menjadi abu
Sebab cinta yang dulu hadir
Membakar ingkar
Tanpa sisa

Minggu, 13 Januari 2013

Kita: Jeda, Jarak, dan Batas

Gelap yang pekat menusukkan kebekuan
di antara jeda
di antara jarak
di antara batas
yang mungkin tak pernah tercipta
di antara kita

Dinginmu membunuh hangatku
Meragu dalam kalimat yang menggantung:
"Adakah kau untukku dan aku untukmu?"
Sunyi
malam tak peduli meski aku memaki

Bulan bergerak menjauhiku
Bintang berserakan dalam gelap
Lihat, aku tak berkawan
Pada sepi aku berlabuh
pada kata-kata aku bercerita
Tentang dingin dan hangat
yang melebur tanpa suara
tanpa rasa
dan mati bersama.

Sabtu, 12 Januari 2013

Remember When



Kali ini, gue mau bahas tentang novel Winna Efendi yang berjudul “Remember When”. Awalnya, gue dapet pinjeman novel ini dari Nita dan langsung aja gue bawa pulang. Dari cover-nya, gue udah bisa nebak kalo novel ini pasti bernuansa galau-galau gitu. Di cover-nya terdapat gambar sebuah tas merah, cardigan putih, dan payung, semua itu ada di atas bangku kosong dengan suasana latar hamparan langit kosong juga. Galau banget, kan?
Tema yang diambil dalam novel ini sebenarnya sudah biasa, namun Mbak Winna mengemasnya menjadi rangkaian cerita yang luar biasa. Pembaca seakan bisa merasakan gejolak emosi tiap tokoh dalam novel ini, karena penulis menggunakan sudut pandang orang pertama untuk tiap tokoh; Freya, Moses, Adrian, Gia, dan Erik.
FYI, novel ini bener-bener ‘SMA banget’ dan hati-hati kalau sampai bernostalgia dengan masa putih abu-abu kalian, ya. Hmm...
mau tahu cerita lengkapnya? Silakan baca sendiri :P

“Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.”Winna Efendi, Remember When

Selasa, 08 Januari 2013

Take It All Away


Mengunjungi perpustakaan di siang ini merupakan ide terburuk sekaligus ide terbaik di hari ini. Pertama, teriknya matahari di kota perbatasan Jakarta dan Depok ini sungguh tidak dapat ditolerir. Kedua, buku pinjaman yang kucari-cari sejak sebulan yang lalu, belum juga dikembalikan oleh sang peminjam. Novel karya Fira Basuki ini memang hanya ada satu, dan pastinya menyita perhatian para pecinta buku di perpustakaan ini. Dan yang terakhir, ini merupakan takdir yang memaksaku untuk membongkar sedikit memori masa lampau bersama seseorang bernama Garry.

Berawal dari rak buku deret 800-an, di sinilah mataku menangkap sosok berbadan tegap itu. Matanya meloncat dari satu judul buku ke judul yang lain. Rambutnya yang ikal tampak lebih panjang daripada saat terakhir aku bertemu dengannya. Gelang tali berwarna merah dan hitam yang senantiasa melingkar di pergelangan tangan kirinya ternyata masih ada. Sepatu kets biru yang senada dengan kemejanya menambah pesonanya di mataku.

Sialnya, aku hanya menjadi pengamat di balik rak berisi ratusan buku-buku ini. Tanpa sepatah kata pun, mataku tetap waspada mengamati setiap gerakannya. Garry menggaruk-garuk rambutnya yang (mungkin) tidak gatal. Sebuah bahasa tubuh yang menandakan ia sedang kebingungan.

Cari buku apa? Bisa kubantu?
Aku tersenyum kecut. Bisakah kalimat-kalimat itu terucap dari bibirku? Kulongokkan kepalaku lagi untuk memastikan Garry masih berada di tempat yang sama.
Aku panik. Tidak ada.
Kemudian sebuah tepukan lembut mendarat di punggungku.
“Tara?”
Aku tak berani menoleh. Suara itu...
“Hey, gue Garry!”
Akhirnya aku luluh. Aku membalikkan badan.
“Oh, hey... Ke perpus? Tumben. Buku? Cari buku apa?” kata-kataku mendadak tak beraturan.
“Cari novel nih.”
Sejak kapan Garry suka novel?!
“Nggak salah denger nih gue?” aku terkekeh.
“Bukan buat gue kok...” ia tersenyum tipis. Manis!
“Novel apa?”
“Jendela-jendela karya Fira Basuki.”
DEG. Itu kan novel yang sedang kucari-cari...
“Liat nggak?”

Aku menggeleng. Mataku masih tak mampu beralih dari sosok di hadapanku ini. Ia tak banyak berubah. Masih sama. Masih Garry yang dulu. Masih Garry yang seorang gamer lupa waktu. Masih seorang Garry yang cuek. Hanya satu perbedaannya...

Ia bukan lagi Garry-ku.

Menahun, kusimpan rindu beserta kecewa yang menyertainya ini rapat-rapat. Tak kuizinkan seorang pun untuk menyingkapnya, apa lagi mengetahui apa yang kurasa. Segala yang pernah ada di antara aku dan Garry, cukup sampai di sini. Tidak boleh melebihi batas yang telah kupasang sendiri.

Beberapa meter dari posisi kami, seorang wanita berambut hitam panjang digerai melambaikan tangan ke arah kami—yang ternyata ke arah Garry—sambil tersenyum.

“Ketemu nggak?”
“Nggak ada nih. Cari di tempat lain aja, ya,” Garry meraih tangan perempuan itu.
Aku mematung. Anggap saja aku tidak ada di tempat itu.
“Ra, kenalin. Ini Gita... Pacar gue,” Garry tampak ragu.
“Hai, gue Gita.” Perempuan itu menjulurkan tangan ke arahku.
Aku menyambutnya dengan sebuah jabat tangan yang terasa menyakitkan. Pacar?
“Ya udah, gue balik dulu, ya,”
Garry menarik lengan Gita. “Yuk.”

Dua punggung itu bergerak menjauh. Semua rindu dan kekecewaan yang telah berhasil kukunci rapat-rapat kini terbuka sudah. Mereka memporak-porandakannya hanya dalam hitungan menit.
Dan semua kembali ke masa kini. Tidak ada Garry yang dulu. Karena masa lalu tetaplah menjadi masa lalu yang tak berhak ditempatkan di masa depan.

You were the one and it was enough
To be the one you were dreaming of
You were the one and we called it love
And now you take it all away, take it all away...
(Take It All Away – Owl City)

Di Antara Masa Lalu dan Masa Depan

Mengais.

Hatiku tercecer bersama rindu yang menyertainya.

Pada setiap sudut kota yang pernah disinggahi.

Pada jalan beraspal yang setia menjadi saksi degupku

yang tak beraturan.

Kuraih satu per satu.

Segala cerita yang tak lagi hidup.

Kenangan.

Apakah ada yang tertinggal?

Kupastikan semua telah kembali ke tempatnya.

Kamu yang tetap berada di masa lalu,

Aku yang tetap berada dalam bianglala realita kehidupan.

Akan ada waktu, tempat, dan takdir.

Yang mungkin kelak akan mempertemukan kembali.

Mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan itu menjadi

rangkaian cerita baru

di masa depan

Selasa, 01 Januari 2013

Kejutan Dari Masa Lalu


Senyap. Dari kejauhan, hanya terdengar bunyi detak jam dinding di ruang tamu. aku pun tidak tahu apakah jantungku masih berdetak? Ia tak terdengar, bahkan di tempat yang sunyi seperti ini.
Tetiba, mataku terarah pada sebuah bingkai foto di sudut kamarku. Sebuah bingkai foto bewarna putih yang berbentuk seperti bianglala. Senyumku mengembang. Sesuatu di dalam dadaku meledak-ledak. Aliran darahku menjadi tak beraturan. Dan detak jantungku... kini nyata terdengar.
Enam tahun berlalu sejak pemberian bingkai foto itu. Seharusnya aku sudah lupa. Seharusnya tak perlu ada senyum dan degup tak beraturan ini lagi.

...dan ternyata aku masih (sangat) mengingatnya.

Seseorang yang kepadanya tak pernah kusangka-sangka hatiku akan jatuh di sana. Laki-laki aneh berambut ikal dan senyum manisnya yang khas. Matanya yang berbinar ketika melihat berbagai stuff di Festival Jepang. Wajah lugunya yang entah mengapa selalu dapat membuatku tertawa, bahkan ketika ia diam sekalipun.
Berbagai tempat saat kita menghabiskan waktu berdua, yang rasanya tak mungkin akan kulupakan. Setiap sudut kota Jakarta dan Depok memiliki cerita, bersamamu. Dulu.
Yang lebih menderitanya lagi, kampus kita pun menyimpan kenangan itu. Ditambah lagi dengan posisi fakultas kita yang berseberangan. Aku tidak mengerti, mengapa jarak yang begitu dekat ini pada akhirnya yang menyatukan kita sekaligus membunuh kita berdua.

Hening kembali.

Aku tak ingin berlama-lama mengintip masa lalu yang telah terkubur rapi. Segera kusibakkan jendela kamar. Ternyata matahari telah bersinar terang.

Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi.

Ponselku berbunyi, tanda sebuah pesan masuk. Nama pengirim dan isi pesannya membuatku terpelanting kembali ke tempat tidur. Apa yang telah terkubur selama enam tahun ini, menjadi kacau lagi. Memang tak sepantasnya aku menyimpan sesuatu yang tidak lagi menjadi milikku.

From: R
Hi guys, dtg ke pesta pernikahan gue ya. 20 Juni 2019 di Gd. Hotel Kartika. Garden party gt. Dtg ya! :D
-Rizal & Bunga-