Selasa, 08 Januari 2013

Take It All Away


Mengunjungi perpustakaan di siang ini merupakan ide terburuk sekaligus ide terbaik di hari ini. Pertama, teriknya matahari di kota perbatasan Jakarta dan Depok ini sungguh tidak dapat ditolerir. Kedua, buku pinjaman yang kucari-cari sejak sebulan yang lalu, belum juga dikembalikan oleh sang peminjam. Novel karya Fira Basuki ini memang hanya ada satu, dan pastinya menyita perhatian para pecinta buku di perpustakaan ini. Dan yang terakhir, ini merupakan takdir yang memaksaku untuk membongkar sedikit memori masa lampau bersama seseorang bernama Garry.

Berawal dari rak buku deret 800-an, di sinilah mataku menangkap sosok berbadan tegap itu. Matanya meloncat dari satu judul buku ke judul yang lain. Rambutnya yang ikal tampak lebih panjang daripada saat terakhir aku bertemu dengannya. Gelang tali berwarna merah dan hitam yang senantiasa melingkar di pergelangan tangan kirinya ternyata masih ada. Sepatu kets biru yang senada dengan kemejanya menambah pesonanya di mataku.

Sialnya, aku hanya menjadi pengamat di balik rak berisi ratusan buku-buku ini. Tanpa sepatah kata pun, mataku tetap waspada mengamati setiap gerakannya. Garry menggaruk-garuk rambutnya yang (mungkin) tidak gatal. Sebuah bahasa tubuh yang menandakan ia sedang kebingungan.

Cari buku apa? Bisa kubantu?
Aku tersenyum kecut. Bisakah kalimat-kalimat itu terucap dari bibirku? Kulongokkan kepalaku lagi untuk memastikan Garry masih berada di tempat yang sama.
Aku panik. Tidak ada.
Kemudian sebuah tepukan lembut mendarat di punggungku.
“Tara?”
Aku tak berani menoleh. Suara itu...
“Hey, gue Garry!”
Akhirnya aku luluh. Aku membalikkan badan.
“Oh, hey... Ke perpus? Tumben. Buku? Cari buku apa?” kata-kataku mendadak tak beraturan.
“Cari novel nih.”
Sejak kapan Garry suka novel?!
“Nggak salah denger nih gue?” aku terkekeh.
“Bukan buat gue kok...” ia tersenyum tipis. Manis!
“Novel apa?”
“Jendela-jendela karya Fira Basuki.”
DEG. Itu kan novel yang sedang kucari-cari...
“Liat nggak?”

Aku menggeleng. Mataku masih tak mampu beralih dari sosok di hadapanku ini. Ia tak banyak berubah. Masih sama. Masih Garry yang dulu. Masih Garry yang seorang gamer lupa waktu. Masih seorang Garry yang cuek. Hanya satu perbedaannya...

Ia bukan lagi Garry-ku.

Menahun, kusimpan rindu beserta kecewa yang menyertainya ini rapat-rapat. Tak kuizinkan seorang pun untuk menyingkapnya, apa lagi mengetahui apa yang kurasa. Segala yang pernah ada di antara aku dan Garry, cukup sampai di sini. Tidak boleh melebihi batas yang telah kupasang sendiri.

Beberapa meter dari posisi kami, seorang wanita berambut hitam panjang digerai melambaikan tangan ke arah kami—yang ternyata ke arah Garry—sambil tersenyum.

“Ketemu nggak?”
“Nggak ada nih. Cari di tempat lain aja, ya,” Garry meraih tangan perempuan itu.
Aku mematung. Anggap saja aku tidak ada di tempat itu.
“Ra, kenalin. Ini Gita... Pacar gue,” Garry tampak ragu.
“Hai, gue Gita.” Perempuan itu menjulurkan tangan ke arahku.
Aku menyambutnya dengan sebuah jabat tangan yang terasa menyakitkan. Pacar?
“Ya udah, gue balik dulu, ya,”
Garry menarik lengan Gita. “Yuk.”

Dua punggung itu bergerak menjauh. Semua rindu dan kekecewaan yang telah berhasil kukunci rapat-rapat kini terbuka sudah. Mereka memporak-porandakannya hanya dalam hitungan menit.
Dan semua kembali ke masa kini. Tidak ada Garry yang dulu. Karena masa lalu tetaplah menjadi masa lalu yang tak berhak ditempatkan di masa depan.

You were the one and it was enough
To be the one you were dreaming of
You were the one and we called it love
And now you take it all away, take it all away...
(Take It All Away – Owl City)

Tidak ada komentar: