Minggu, 30 Desember 2012

Kembali Hidup


Sinar matahari pagi menembus masuk melalui celah jendela yang terbuka. Sinar itu jatuh menerpa wajahku. Silau. Aku meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa pegal akibat timbunan asam laktat di beberapa bagian. mataku menyapu seisi ruangan. Di sini tidak ada kehidupan. Bahkan aku pun telah mati di depan pintu kamar ibuku sendiri.

Hatiku telah mati.

Perlahan, kuputar kunci dan membuka pintu kamarnya. Ia masih terlelap bak seorang balita. Wajahnya yang polos, pakaiannya yang lusuh, serta jiwa yang tidak lagi utuh. Mungkin Tuhan telah mengambil beberapa bagian dalam otak dan hatinya sehingga ia dapat memukuli ayah semalam.

Ah. Ayah.

Setelah dipukuli dengan berbagai benda yang ada di rumah, ia hanya menunduk terdiam. Ibu tetap meneriakinya tanpa ampun, “Laki-laki bejat!!! Pengkhianat!!!”
Kemudian ia pergi dengan tas ransel di punggungnya dan membawa satu-satunya barang berharga di rumah ini. Sebuah sepeda motor. Tanpa menoleh, ia terus melangkah menuju pintu. Mungkin, saat itu ia lupa bahwa ada seonggok daging yang berasal dari air maninya sedang menatap menuntut penjelasan dari balik punggungnya. Sampai ia menghilang di ujung jalan, aku menyadari bahwa aku telah mati.

Kehidupanku mati, dimulai sejak malam tadi.

***

Ia meraung-raung sambil mencakari tubuhnya sendiri. Darah mulai terlihat di sekujur lengan dan pipinya. Aku memeluknya erat sambil menahan airmataku yang hendak berontak. Tidak. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Harus.
Bahkan ia mulai mencakari lenganku yang sedang memeluknya. Aku meringis, menahan sakit. Sungguh, luka ini belumlah seberapa dibandingkan dengan luka di dalam hatinya. Kulihat ia mulai kelelahan. Ia tertawa dengan tatapan mata kosong, kemudian membeku tanpa suara.

Ternyata ia tersenyum...

Oh! Bukan! Ia menangis di balik senyumnya. Sebuah luka pengkhianatan ayah tergambar jelas di sana. Aku melepaskan pelukanku. Kutatap wajahnya yang penuh luka itu.

Benarkah wanita ini adalah seorang ibu yang telah melahirkanku?

Pikiran-pikiran jahat yang dikirimkan iblis mulai merasuk. Ingin rasanya kutinggalkan ia, berlari menjauhi wanita yang tak berjiwa ini dan menemukan hidupku kembali. Aku akan hidup bahagia untuk selamanya.

Sinar matanya meredup. Ia meraih bahuku dan akhirnya menangis histeris. Saat itulah, aku menyadari bahwa aku masih diinginkan; masih dibutuhkan. Tuhan tidak benar-benar membuat hidupku hancur.

Tak perlu lagi kutemukan hidupku kembali. Dua puluh tahun yang lalu, wanita inilah yang 
telah membantu proses kehidupanku. Dan saat ini pula, dialah alasanku untuk mencoba hidup kembali.

Tak lagi kuperlukan kebahagiaan dunia. Cukup di dalam peluknya, hidupku utuh kembali.


Jumat, 28 Desember 2012

Park Jun

Aku mencintai kesendirianku.

Hingga akhirnya kamu datang, mengubah segalanya. Sepasang mata sipit yang memandang kagum pada kebudayaan Indonesia, seulas senyum dari bibir tipismu, suaramu yang terdengar aneh, namun ternyata membuatku menjadi pecandu-garis-keras-senyummu.

Aku tidak ingin sendiri lagi.

Menikmati kuliner khas Indonesia adalah rutinitas kita setiap malam Minggu. Aku dan kamu, berdua. Setiap warung makanan yang kita kunjungi pasti menatap kita heran. Seorang perempuan berkulit cokelat sedang makan berdua dengan lelaki sipit berkulit putih dengan senyum yang mempesona. Sungguh bukan suatu keselarasan.

“Ini namanya pecel lele, Jun.”
“Pecel lele nikmat tidak?”
“Banget!”
Pesanan kami datang. Kamu menatap ikan lele yang masih mengepul panas itu dengan tatapan kagum.

Ternyata justru aku yang semakin kagum. Padamu.

Malam kesekian, kita melewati wisata kuliner ke berbagai penjuru Jakarta. Kamu bilang, Jakarta adalah kota yang indah, namun kamu selalu tidak suka dengan kemacetannya. Aku katakan bahwa Jakarta tanpa macet adalah bukan Jakarta. Kamu terkekeh.

“Minggu depan kita UAS, ya, Nit?” tanyamu.
Aku mengangguk sambil menyuap nasi goreng.

Tiba-tiba raut wajahmu berubah. Cahaya matamu meredup. Kamu mengajakku pulang meskipun nasi goreng kita masih tersisa di piring. Aku bertanya-tanya, dan kamu hanya diam. Kita menyusuri sepanjang jalan tanpa sepatah kata pun.

“Belajar yang rajin, ya. Nilai kamu harus bagus di semester ini!” suaraku memecah keheningan kami.
Kamu menoleh ke arahku. Tanpa ekspresi.
“Kenapa?”
Matanya seakan ingin berbicara. Mataku dan matamu. Bertemu dalam satu titik. Degup jantungku menjadi tidak stabil. Pipiku memanas.
Ia hanya menggeleng lemah. Matanya kembali menatap lurus ke depan.
“Aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu di negara ini. Jangan lupakan aku, ya,” katamu, pelan.

Lagi-lagi, aku tidak mengerti. Bukankah kita masih memiliki banyak waktu untuk bersama? Aku belum mengabulkan permintaanmu untuk pergi ke Monas, belum menikmati semilir angin di Pantai Anyer, belum memasakkan tempe bacem kesukaanmu, Park Jun...
Tanganmu menggenggam tanganku, namun tatapanmu tetap lurus ke depan.

Dadaku bergemuruh hebat.

***

Suasana kelas mendadak ramai.
“Selamat tinggal, UAS! Hahaha!” teriak salah seorang temanku.

Liburan panjang akan segera dimulai. Aku pun telah menyiapkan berbagai rencana yang belum terwujud bersamamu. Aku tersenyum, tak mampu menyembunyikan kebahagiaanku.

“Nita, aku ingin bicara...” tiba-tiba kamu muncul di hadapanku.
Aku pun mengikutinya berjalan keluar kelas dan berhenti di salah satu koridor.
“Semester ini telah berakhir. Sebelumnya, aku minta maaf karena tidak memberi tahu kamu lebih dulu. Aku akan kembali ke Korea. Aku berharap semua akan baik-baik saja.”
Rencana liburan yang tersusun di kepalaku hancur seketika. Dadaku terasa ngilu. Perih di bagian hati.
“Nita, andai aku bisa lebih lama di sini. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama kamu. Tetapi aku tidak bisa...”

Ternyata aku akan sendiri lagi. Seperti saat sebelum aku mengenalmu.

“Hati-hati, ya. Kamu harus jadi orang hebat di negaramu,” kataku sambil tersenyum. Dadaku semakin sakit.
“Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?” kamu menatap mataku.
Aku tertawa kecil. “Semoga kita bisa bertemu lagi,” bisikku.

Kamu meraih lenganku, kemudian memelukku erat.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membalas pelukanmu. Untuk terakhir kalinya. Kubiarkan kamu merasakan detak jantungku. Airmataku tumpah seketika. Bibirku bergetar ingin mengucap, namun suaraku lenyap.

Ternyata aku mencintaimu, Park Jun.

Jalan Pulang

Cinta tidak membutuhkan jalan pulang. Karena cinta itu sendiri adalah tempatmu untuk pulang. Tidak perlu bertanya di mana, jika kamu menemukan seseorang yang dapat membuatmu merasa seperti sedang di rumah, maka dialah cintamu; jalan pulangmu.

***

"Kamu temenin aku, ya?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ada urusan lain. Kenapa sih, mau ngasih cincin aja minta temenin. Itu kan urusan kalian," nadaku mulai ketus.
Kamu menatapku tidak percaya. Wajahmu yang sendu diarahkan ke jendela. Embun masih menempel di sana.

Embun saja selalu setia kepada pagi.

Jangan tanya sudah berapa tahun seperti ini. Sejak aku belum mampu menggambar lingkaran dengan sempurna, sampai kita telah merancang berbagai desain grafis saat ini, kita masih selalu bersama. Terlalu sering kebersamaan ini tercipta. Matamu seakan menutup rapat hatiku. Tidak ada yang lain. Ternyata diam-diam kamu menyusup ke dalam sini. Mengunci rapat logikaku tentang segala kemungkinan untuk tetap bersamamu; berdua.

"Beneran nggak mau?" tanyamu lagi.
"Ya," aku menunduk.

Tiga minggu yang lalu, kamu datang ke rumahku dengan wajah sumringah. Kamu bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah aku ingin untuk kudengar. Ingin kututup telingaku, namun tidak bisa. Mau tidak mau, harus kudengarkan ceritamu itu.

"...cantiknya sih biasa aja, tapi senyumnya memikat banget!"
"Hmm..."
"Nanti malem mau gue ajak dinner. Doain, ya. Semoga sukses. Hahaha!"
Kepalaku mengangguk. Hatiku menggeleng.

Sejak saat itu, aku kebingungan mencari jalan pulang. Ke mana? Aku terhempas. Terpinggirkan. Kamu tampak mulai khawatir, namun selalu kutepis dengan kalimat, "Aku baik-baik aja kok!"

***

Hari itu pun tiba. Proses "pemberian cincin" darimu untuknya. aku mengurung diri di kamar seharian. Ditemani hujan, aku mencoba melupakan segalanya. Segala tentangmu, tentang kita, tentang tempat-tempat di mana kita biasa pergi bersama...

Tenyata permanen. Tidak dapat dihapus.

Suara ketukan pintu mengembalikanku ke dunia nyata sejenak. Lagi-lagi, dadaku terasa sakit. Oh, lebih tepatnya hati.
Pintu terbuka. Sakit itu semakin jelas menusukku.

"Ngapain ke sini?"
"Loh, bukannya kamu udah tau?"
Aku membuang muka. Tidak peduli. Meskipun tidak mengerti apa yang ia katakan.
"Kamu benar, Ras. Cinta akan selalu membawaku kembali pulang. Seberapa jauh pun kita melangkah, kaki ini akan selalu kembali lagi menuju jalan pulang..."
Jalan pulang? Cinta?
"Ras, kamu adalah rumahku. Jalan pulangku selama ini. Wanita itu... Kamu!"
Aku membeku. Sebuah cincin berlian terpasang anggun di jari manisku.
Selamat datang di rumah, Cinta.

Kamis, 27 Desember 2012

Cerita Tentang Hujan


Hujan pernah menjadi bagian cerita favorit kita.

Ketika hujan membuat kita lebih lama berdiam diri di kantin kampus. Ketika hujan membuatmu merelakan jaketmu untuk kukenakan. Ketika hujan memaksa kita untuk berlari berdua menerobos derasnya sambil tertawa bersama.

Hujan pernah memiliki cerita tentang kita.
Ya. Pernah.

Karena sekarang, tidak lagi. Tidak ada lagi cerita tentang kita di antara rintik-rintik air itu.

Tidak ada.

Semua, segalanya, telah hanyut terbawa aliran air hujan. Entah bermuara di mana.

Puisi Kamis


Ternyata hari Kamis
Senyumku menipis
Bayangmu kutepis
Langit pun menangis
Hatiku miris
Sekadar hujan atau gerimis?
Terlalu melankolis
Atau memang aku yang puitis?
Perlahan, rinduku terkikis
Segala harap menipis
Redakan tangis
Senja tersenyum manis
Inilah metamorfosis
Kisah rindu tragis

Senin, 24 Desember 2012

Sayap Masa Depan

Pernah ada suatu masa, di mana kita berbahagia dengan "kita". Bahagia
yang tak ternilai dan tak mampu disandingkan dengan apa pun. Bahagia
yang hanya kita berdua pahami.

Sayap itu pun mengembang. Sayap tipis dan rapuh, membuat segalanya
terasa utuh. Bahagia kita lengkap sudah. Pada waktu itu, kita terbang
dengan sayap baru kita itu berdua. Dan lagi-lagi, bahagia yang hanya
kita berdua pahami itu muncul.

Kemudian, kita saling merasa lelah untuk terbang, dan memutuskan untuk
berhenti sejenak. Ternyata, tanpa sayap untuk terbang pun, bahagia itu
bisa datang dari mana saja. Kita kembali berbahagia dengan sayap yang
telah ditanggalkan.

Namun, ketika kita ingin terbang lagi, berbahagia berdua lagi, sayap
itu tak dapat lagi digunakan. Kita panik. Aku mematahkan sayapku
untukmu, dan kau mematahkan sayapmu untukku. Sayangnya, kita tetap tak
dapat terbang. Kita justru membuat kemungkinan untuk terbang itu
semakin kecil. Kita terluka, menyimpan patahan sayap masing-masing,
dan tak pernah lagi terbang berdua.

Suatu hari, aku melihat seorang bidadari memberikan sayap baru
untukmu. Kamu pun kembali dapat terbang, namun tak lagi bersamaku.
Seseorang yang lain telah menyempurnakan sayapmu.

Aku tersenyum. Kelak, akan ada juga seseorang yang akan menyempurnakan
sayapku kembali. Aku memeluk patahan sayapku saat bersamamu dulu,
kemudian membiarkan angin menerbangkan sayap itu. Karena menyimpannya
pun tak ada arti. Seseorang di luar sana telah menyiapkan sayap yang
lebih indah untukku.

Minggu, 23 Desember 2012

Merindu

Malam membeku
Aku (masih) tidak ingin merindu
Kamu, tentangmu
Semua terlihat semu
Tetapi apa dayaku?
Ternyata aku tetap menunggu
Tetap merindu
Meski bukan inginku
Inilah hatiku

Sabtu, 22 Desember 2012

Ibu, Kertas, dan Pensil

Satu-satunya yang kuingat dari masa kecilku bersamanya adalah ketika
ia mengambilkan selembar kertas dan sebuah pensil untukku. Kemudian,
ia duduk di sampingku, menemaniku menggambar dan menulis sesuka
hatiku.
Ibu, aku amat bahagia saat itu.
Karena saat itu adalah awal di mana aku berani menggambar dan menulis.
Apalagi ketika ibu berkata, "Dhilla mah hobinya gambar dan nulis
terus. Tapi gapapa sih, gambarnya bagus."
Ada rasa percaya diri yang muncul setelah mendengar ibu berkata
demikian. Aku pun rajin menonton kartun di TV kemudian menulis ulang
ceritanya di buku tulisku. Lalu, kugambar tokoh-tokoh yang ada di
ceritaku tersebut.
Suatu hari, pernah aku mencoba menjual karya-karyaku ke teman di SD.
Kuberi harga Rp500,00 per cerita. Aku sangat bahagia, ternyata ada
juga yang membeli hasil karyaku.
Dan sekarang, menulis merupakan bagian dari hidupku. Ibu memberiku
kekuatan hingga detik ini dan selamanya.

Meski tanpa bapak di sisinya, ibu tetap menjadi wanita tegar dan
sabar. Mulai dari memasak sampai mencuci baju, ia lakukan sendiri.
Ke mana aku? Adik-adikku? Kami terlalu egois untuk melihat pekerjaan ibu.
Ibu, jika tanpa doamu, entah apakah hari ini aku masih mampu berdiri
menghadapi berbagai rintangan hidup ini.

Ibu, aku malu. Aku ingin memelukmu, meminta maaf padamu. Tetapi pagi
ini, aku hanya menyapamu sekadarnya. Ya Allah, sampaikan isi hatiku
ini kepadanya, "Aku...menyayangimu, bu."

Rabu, 19 Desember 2012

Ini Puisi Sepi


Malam yang sunyi mengubur sepi.
Karena sewajarnya, kau di sini.
Duduk bersamaku, menikmati langit gelap yang mati.
Ketika kau pergi, dulu. Sebelum hari ini.
Namun, sepi tak ada arti.
Bila bersama pun tak menyehatkan hati.
Meski rindu tak juga tersembunyi.
Ada perih menyusup ke dalam hati yang telah terkunci.
Apa daya, ini harusnya telah terlewati.
Menengok ke belakang tak akan mengobati.
Kau dan aku, nanti.
Pasti memiliki cerita tentang hati.
Yang (mungkin) akan bertemu kembali.
Suatu hari.

Selasa, 18 Desember 2012

Yang Tertinggal

Suara tepuk tangan bergemuruh di aula gedung SMA-ku. Teman-temanku
bersiul dan meneriaki namaku dari bangku penonton. Aku membuka mata...
Setangkai bunga pemberiannya masih kugenggam. Aku gemetar. Ia
menghilang di balik panggung.

Selama dua bulan, aku selalu ditatapnya. Tangannya selalu
menggenggamku. Meskipun hanya dalam sebuah... drama.

Para pemain teater bersorak girang. Ada yang melompat-lompat, bahkan
melempar kostum mereka. Aku masih terdiam. Sudut mataku menangkap
bulir air yang hampir tumpah membasahi pipi.

Kehilangan?
Ah. Bukankah ini hanya sebuah pementasan teater?

Ia menoleh dan tersenyum ke arahku. Kubalas senyumnya dengan sewajar mungkin.
Bunga pemberiannya tadi masih kugenggam. Kusadari bawa aku
benar-benar tak menginginkan akhir pementasan ini.

Rupanya ada yang tertinggal. Semua tentangnya. Tentang pementasan
teater kami. Biarlah semuanya tetap di sini. Kusimpan seorang diri.

Sabtu, 15 Desember 2012

R4♥


Jika aku memiliki malam gelap yang kosong, maka mereka adalah tiga buah bintang yang muncul untuk menyinari malamku. Tanpa mengharap sang bulan akan hadir menemani ataupun tidak, mereka pasti muncul. Terkadang berjauhan, terkadang sangat dekat. Namun, satu yang pasti; mereka selalu ada.

Teruntuk Astri Ratnasari, Naila Syahidah, dan Zaenab Lubis, yang telah menjadi bintang untukku. Meski pagi datang, pesona sang bintang tidak akah pernah terlupakan. Pagi akan selalu merindukan malam dengan tiga bintang seperti kalian…




Jumat, 14 Desember 2012

(bukan) Puisi Galau


Aku melesap
Dalam bayang tak berbentuk
Berharap lenyap?
Mungkin
Hati yang mengambang
Pada impian semu
Tak terbendung
Lukanya tumpah
Membasahi pipi
Kemungkinan ada rindu
Yang sedang bergentayangan
Merasuk dalam jiwaku
Atau hanya pilu?
Segera kubasuh luka dengan asa
Bahwa hari esok ada
Untuk kugenggam
Bersamamu
Masa depanku

If you don't let him go

Dia masih duduk dengan posisi yang sama. Matanya menatap kosong pada
langit senja yang kelabu. Titik-titik air mulai menyentuh kulitnya. Ia
tak bergeming, justru tersenyum.
"Dulu, kamu pernah hujan-hujanan demi aku," katanya sambil tersenyum.
Hujan mulai turun deras. Kilat menyambar dari berbagai penjuru langit.
Dia masih terus tersenyum meski badannya menggigil...

***

Padahal seharusnya...

Dia menikmati hembusan angin malam di bawah menara yang selalu ia
kagumi sejak kecil, Menara Eiffel. Tiba-tiba seseorang memeluknya dari
belakang.
"Ummi!" jerit anak itu sambil menggelayut manja di bahunya.
Dia menoleh dan segera merapikan kerudung anaknya itu sambil tersenyum lembut.
"Sudah puas mainnya? Ayo kita pulang, Abi sudah menunggu di rumah,"
katanya sambil menggandeng tangan mungil putrinya.

We will never be the same

Sebaik apa pun kita berusaha memperbaiki, selucu apa pun kita
berceloteh humor, sekeras apa pun usaha kita menutupi luka...
Kita tidak akan pernah kembali menjadi seorang "teman" seutuhnya.
Karena kita pernah berada dalam posisi lebih dari itu. Lebih. Lebih
dari sekadar teman.

(bukan) 14 ke-6

141212.
"Jika saja aku tidak memberanikan diri untuk mengutarakan isi
hatiku... Jika saja kamu lebih berusaha mempertahankan..."

Ah. Tidak.
Kalaupun bukan karena keberanianku maupun kepasrahanmu, suatu saat
kita pasti akan seperti ini juga. Karena kita berlayar tanpa arah.
Tidak ada yang memegang kemudi dan kau tak mau mencari arah. Kita akan
tersesat dan pada akhirnya mati juga.
Jalan kita tak mungkin mundur. Mungkin kita masih bisa menoleh
sesekali ke belakang. Tapi ingat, jangan terlalu lama. Perjalanan kita
yang sesungguhnya ada di depan.

Dan hari ini, selamat tanggal 14.

Kamis, 13 Desember 2012

Di Antara Jarak

Pada jarak yang membatasi kita, sepi mengeluh.
Meronta seakan ingin memakan jarak.
Bukankah rindu tak akan pernah tercipta tanpa jarak di antaranya?
Bukankah cinta tak akan teruji tanpa jarak yang membatasi?
Sebut saja kita.
Pada jarak yang sedemikian dekat ini,
Aku masih saja tak berani bersuara.
Menyembunyikan jantungku rapat-rapat.
Agar detaknya tak terdengar olehmu.
Mati?
Ah, aku lupa.
Bukankah kau memang tak pernah mendengar detakku?
Lalu, jarak menjadi tak berarti lagi.
Karena sesuatu telah mati.
Di antara jarak:
Kita.

Rabu, 12 Desember 2012

The One That Always Here

Ketika kamu merasa terasing sendirian... Ingatlah, kamu tidak pernah
benar-benar sendiri.
Pejamkan mata, ucapkan kalimat-kalimat pujian untuk-Nya... Maka Dia
ada, membasuh jiwamu yang hampa dengan cahaya-Nya.

Senin, 10 Desember 2012

Maliq n D'essential - Mata Hati Telinga


Aku Ingin...


Dalam hujan, doaku menyelinap di antara tetes-tetes air yang turun ke bumi. Berharap doaku dapat terbang tinggi sampai ke langit ke tujuh. Doa sederhana tentang kita—aku dan jodohku kelak.

Aku ingin mencintai seseorang yang karenanya aku selalu dilanda rasa takut.
Takut Allah murka kepadaku karena tidak mematuhi perintahnya;
Takut bila aku tidak menjadi pendamping hidup yang terbaik untuknya;
Takut kehilangan senyum di wajahnya.
Aku ingin mengagumi seseorang yang tak berani kutatap matanya sebelum ia halal untukku,
Cinta yang tumbuh karena Allah, bukan karena kesenangan dunia semata.
Aku ingin menyerahkan kunci hatiku kepada seseorang yang pada sepertiga malam akan membangunkanku dengan lembut,
“Bangunlah, sayang. Allah sudah menunggu kita,” bisikmu.
Aku ingin menangis karena seseorang yang senyumnya selalu meneduhkanku,
Seakan tanpa berkata apa pun, segala gundah yang ada di jiwa lenyap karena senyumannya.
Aku ingin melahirkan dan membesarkan anak-anak dari seseorang yang bekerja keras untuk kami,
Seseorang yang meskipun pulang larut malam, tetap mengecup kening anak-anaknya di waktu mereka terlelap.
Aku ingin berbakti kepada seseorang yang mencintai keluargaku seperti ia mencintaiku,
Menghormati ibuku seperti ia menghormati ibunya,
Mengasihi adik-adikku seperti ia mengasihi adiknya sendiri.
Aku ingin menjadi orang pertama yang menjawab salam untuknya ketika tiba di rumah, mengecup punggung tangannya dengan lembut dan menyediakan secangkir teh hangat untuknya.
Aku ingin memberikan senyum terbaikku untuk seseorang yang membantuku berdiri ketika aku sedang terjatuh, dan berpikir bahwa hidup ini tak ada artinya lagi,
Seseorang yang dengan kasih sayangnya menyadarkanku bahwa pendapatku itu keliru.
Aku ingin menghabiskan waktu matahari terbit dan matahari terbenam bersama seseorang itu.
Entah di mana ia sekarang, namun aku percaya.
Waktu dan seseorang yang Allah janjikan itu pasti datang J


Sabtu, 08 Desember 2012

Syukur di Pagi Hari

Pada suatu pagi di saat kamu masih terlelap di balik selimut...
Di belahan dunia lain, ada yang sedang merintih memegangi perutnya,
masih terjaga akibat lambungnya yang kosong, tergeletak beralaskan
lantai sebuah etalase ruko tanpa selimut.

Selamat pagi, insan yang berbahagia. Semoga ucapan syukur selalu
terucap dalam keadaan apa pun...

Rabu, 05 Desember 2012

A Morning Poem

Kabarkan pada pagi, aku masih disini. Tak berani menepi maupun
memahami. Masih (selalu) di sini. Pagi yang tenang dan sunyi.
Membiarkan segala rasa pergi. Pada hamparan jiwa yang sepi, aku mati
di suatu pagi.

A Night Poem


Akan ada suatu malam yang terikat pada kesunyian. Bintang-bintang menepi pada sudut gelap. Asa tak terjangkau, perih tetap pada tempatnya. Sebuah ukiran tentang pagi yang cerah; tidak ada. Kemudian titik-titik air perlahan berjatuhan, membasahi jiwa-jiwa yang kekeringan. Berlutut pada gelora keangkuhan. Mengisi hati kosong tak bertuan. Siapa hendak bertamu? Biar malam menjadi misteri selamanya. Tentang hari esok: matahari, embun dan kamu.