Selasa, 20 November 2012

Quotes of The Day

"You'll find the right one, the one that you don't have to choose him
or your family. You'll get them all." ♥☺
- HanungWL

Minggu, 18 November 2012

Tentang Malam

Hujan membungkus malam.
Bulan meredup seakan tak mau tahu.
Bintang pun menyembunyikan sinarnya di balik langit malam.
Kau lihat? Malamku sunyi.
Pelangiku tak muncul di malam hari.
Hanya gelap yang mampu kulihat.
Seharusnya ada tangan yang menggenggam,
Seharusnya ada senyummu yang menyinari malamku.
Tidak lagi; tidak ada.
Kita yang memutuskan.
Membiarkan malam kita bersenandung sepi.
Perlahan,
Pagi akan datang menggantikan malam kita.
Mungkin bukan detik ini.
Pasti, suatu saat nanti.

Hujan Untuk Pelangi


Pelangi.

Kamu memandanginya dengan penuh kekaguman. Berlari sambil berteriak kegirangan padaku, “Lihat, Jo! Ada pelangi di sana!”. Lalu, aku akan tersenyum sambil berlari mengikutimu dari belakang.
Rambutmu yang panjang terurai menerpa wajahku. Apa daya? Aku selalu jatuh cinta pada senyummu yang mengembang setiap kali ada pelangi. Ah, bukan. Lebih tepatnya, bukan hanya saat kamu memandang pelangi. Namun di setiap saat; di setiap lengkung senyummu, ada aku yang setia mengaguminya.

“Mir, kenapa kamu suka pelangi?” tanyaku sore itu, ketika kamu sibuk menggambar pelangi di buku catatanmu.
“Hmm, kenapa, ya? Karena pelangi itu nggak bisa kita jumpai setiap saat, Jo.”
“Jadi, kamu selalu suka pada hal yang tidak sering kamu jumpai?” tanyaku lagi.
“Nggak juga, sih. Pelangi itu punya daya magis. Seakan perpaduan warnanya membuat mataku terpaku dan nggak bisa lepas. Dia indah, nggak akan pernah bikin perasaan kita sakit…”

Aku meluruskan kedua kakiku. Mataku tak lepas mengamatinya berbicara.

“Mira…”
“Kenapa, Jo?”
“Aku mau jadi hujan.”
“Loh, kenapa?”
“Karena tanpa hujan, nggak akan ada pelangi. Aku rela jadi apa pun asal bikin kamu bahagia.”
“Jovana, you’re so sweet! Karena kita sahabatan, kan?” kamu memelukku.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Bukan. Karena aku mencintai kamu, Mira.” bisikku sambil membelai rambut indahnya.

Realistic?


Perahu Kertas II

Kemudian kita telah tiba.
Pada saat yang telah kita duga.
Ketika tak ada lagi kata "kita"
Ketika perahu kertas yang membawa kita;
terpaksa hancur.
Ombak itu terlalu besar.
Lihat, paling tidak, kita tidak menyerah.
Aku, kamu,
telah berusaha, bukan?
Dan pada akhirnya,
ombak pula yang akan menyeret kita.
Menuju daratan yang berbeda.
Akan tetapi, sadarilah.
Bahwa kita selamat.
Masih bernafas bersama.
Di bawah langit yang sama.
Dengan hati;
yang tak lagi sama.

Perahu Kertas I

Kita sedang berada di atas sebuah perahu kertas.
Mengarungi samudera kehidupan tanpa tujuan.
Meskipun tujuan itu ada,
pasti kita tidaklah searah.
Kita berdua tahu
perahu kertas itu akan hancur.
Terkena ombak besar yang menghadang.
Kita
hanya sedang mencoba bertahan.
Walaupun sama-sama tahu.
Kita akan terhempas di daratan yang tak sama,
sendiri.

Ketika Bukan Lagi Kita

Selamat pagi.
Ada sesuatu yang hilang?
Ah. Aku telah melukai luka.
Luka kita;
yang selama ini kita tutupi.
Tunggu...
Mengapa aku masih menggunakan kata "kita"?
Karena "kita" telah membelah diri.
Menjadi dua bagian;
aku dan kamu.

Sabtu, 17 November 2012

(Bukan) Cinderella


Pukul 08.14
“What?!” aku melompat turun dari tempat tidurku.
Ketika aku menyikat gigi, handphone-ku tak henti-hentinya berdering. Nama yang muncul di layar handphone membuatku ingin segera terbang melesat menuju kantor. Detik ini juga.


Pukul 08.55
Akhirnya kereta itu datang juga. Dengan perasaan yang meledak-ledak setelah mengangkat telepon dari Boss, aku mencoba tetap tenang di kereta.

“Berkasnya kan ada di kamu! Kalau dalam tiga puluh menit kamu belum sampai ke sini, jangan harap saya akan mengangkatmu menjadi pegawai tetap!” ancam Bu Diana, Manajer di tempatku bekerja.

Tetiba seorang pria menepuk pundakku.

“Cindy?” matanya mengamati wajahku.
Aku berpikir cepat. “Randy?”

Kepanikanku runtuh sudah. Pria itu mengembangkan senyum di wajahnya. Hatiku meleleh. Lebih tepatnya, selalu meleleh. Tidak berubah, sejak aku mengenalnya di kampus, tiga tahun yang lalu.

“Kamu kerja? Turun di stasiun mana?” tanyaku.
“Stasiun Cikini. Kamu?”
“Oh… Manggarai.” Jawabku ringan.
“Apa? Ini kan Stasiun Manggarai…”
Kepanikanku kembali muncul. Kurasakan kereta mulai berjalan lagi.
“Permisi!! Permisi!! Saya harus turun!!” aku menerobos penumpang lainnya, menuju pintu keluar kereta.
“Aaaaargh!” akhirnya aku berhasil keluar dari kereta itu.

Aku setengah berlari untuk menghampiri ojek di area stasiun. Kemudian, kusadari ada yang ganjil dengan penampilanku.
Sepatuku. Tinggal satu.


Pukul 20.00
Aku pulang dengan mengenakan sepasang sandal pinjaman temanku di kantor. Aku memaki diriku yang tidak menyadari sepatuku terlepas di dalam kereta.
Dan terlintas di benakku, bahwa aku tadi belum berpamitan pada Randy! Bahkan, belum bertanya apa pun selain stasiun tujuannya. Lagi-lagi aku merasa bodoh. Setelah kehilangan jejaknya selama berbulan-bulan, Randy yang tadi ada di hadapan mata telah kusia-siakan. Malam itu, rasanya aku ingin menangis di balik selimut. Mengutuki diriku yang tak henti-hentinya membuat kecerobohan.


Pukul 11.51
Seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Ada yang mau ketemu kamu. Duh, malam-malam begini…” kata Mama ketika aku membuka pintu.
Aku menuju teras untuk melihat siapa yang ingin menemuiku di tengah malam begini.

Randy?

“Ini sepatumu, Cin. Maaf, tengah malam begini aku ke rumahmu. Tadi aku mencari tahu rumahmu lewat teman-teman kuliah. Malah tadi sempat nyasar juga. Hehehe…”

TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG.
Pukul dua belas malam.

“Cindy… Ehem, kamu mau jadi Cinderella-ku?” ucapnya sambil bertekuk lutut dengan kedua tangan memegang sepatuku yang tertinggal di kereta tadi.

Aku terpaku. Pangeranku…


Bibit Mawar


Dimana aku?
Terlihat seorang wanita renta sedang menyirami bunga. Bunga itu berwarna merah. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona oleh keindahan warna kelopak bunga itu. Aku pun mendekati nenek itu.
Belum sampai aku mendekatinya, perempuan itu sudah membalikkan badan dan menatapku dengan tatapan yang tajam.

“Eh, saya…” aku panik.
“Jangan ganggu bunga mawarku! Tanam dan rawatlah bungamu sendiri!” suara parau nenek itu membuat telingaku ngilu.

Nenek itu menyodorkan sebuah bungkusan. Beberapa detik setelah bungkusan itu berada di tanganku, aku kehilangan keseimbangan
Yang selanjutnya kulihat adalah sinar mentari yang menerobos jendela kamarku.

***

KRIIIING!
Alarm handphone-ku berdering. Aku bangkit dari tempat tidur dan merasakan sesuatu di bawah punggungku.
Bungkusan itu?!

***

Ternyata bibit bunga mawar.
Setelah kurawat selama berbulan-bulan, mawar itu mulai merekah malu-malu. Penantian itu terbayar sudah. Mawar merah yang cantik kini menghiasi halaman rumahku. Meskipun ukurannya masih kecil, tanaman ini terlihat sangat segar dan anggun.
Kalau kamu seorang manusia, pasti aku akan segera melamarmu… aku bergumam.

***

Dimana aku?

“Hai, Rama…” suara seorang perempuan mengejutkanku.
“Eh… Kamu… S-siapa?”

Perempuan bergaun merah itu tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke arahku.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin ada makhluk seindah ini di tengah hutan?

“Terima kasih telah merawatku. Kamu sungguh manusia yang baik hati, Ram.” perempuan itu tersenyum. Manis sekali.

Aku yang masih kebingungan kemudian diajak mengelilingi hutan. Ternyata hutan ini tak seburuk yang kubayangkan. Atau… Karena ada perempuan ini di sampingku?

“Ehem, ngomong-ngomong namamu siapa?” tanyaku memberanikan diri.
“Mawar.” Jawabnya sambil tersenyum ke arahku.

Aku tercekat, menyadari sesuatu yang ganjil di sini.

***

“Ramaaaa! Bangun!” ibuku berteriak di depan pintu kamarku.

Sial. Ternyata mimpi!
Aku membuka pintu kamar dengan malas-malasan. Di ruang tamu, ibuku sedang berbicara dengan seseorang.

“Nah, ini anak laki-laki saya. Ayo Rama, kenalan dulu…”

Napasku berhenti ketika mataku bertemu dengan mata indah itu. Perempuan berbaju merah itu tersenyum ke arahku.

“Mawar…” ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arahku.



Rindu



Rindu tidak pernah sesederhana ini. Bertemu, tertawa bersama, kemudian saling mengucap sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Tidak. Tidak sesederhana itu.
Apalagi, teruntuk rindu yang telah lama tertahan di kerongkongan tanpa sanggup kau ucapkan. Yang membuat lidahmu kelu ketika bertemu langsung dengan sang pelaku. Hatimu luluh, namun senyummu mencoba tetap memperlihatkan lengkungan terbaiknya.
…karena rindu tidak mengenal kata sederhana.
Rindu yang tak memiliki batas. Hingga pada akhirnya, kau terpaksa menenggak rindu itu; sendirian.
Karena seseorang di seberang sana—yang kau harapkan akan membalas rindumu—sedang menikmati rindunya yang lain. Rindu kepada seseorang yang bukan dirimu.
Apakah rindu yang rumit ini hanya milikku? Atau memang milik semua insan yang hatinya telah terpaku pada satu tujuan, namun tak tahu arah kembali?
Ah. Kupikir ‘rindu’ itu hanya sebuah kata lima huruf yang biasa dijadikan puisi. Tak kusangka akan jadi serumit ini.

Senin, 12 November 2012

Non-stop Writing

Terkadang menulis bukanlah soal ada atau tidaknya inspirasi dan ide. Lihat, aku sedang belajar menulis tanpa mengeditnya terlebih dahulu. Aku menulis ini tanpa berhenti. Aku membiarkan tulisan ini mengalir begitu saja. Jadi, tolong dimaafkan jika tulisan ini sedikit menyimpang.
Entah. Aku ingin menulis dengan merdeka. Aku ingin menemukan gaya tulisanku sedniri. Aku pun sdar, butuh proses dan waktu untuk menemukannya. Maka, yang harus kulakukan adalah berlatih, menulis, menulis, dan menulis.
Sebenarnya setelah ini aku masih ada kelas ITBA, namun apa peduli. datang saja nanti teapt waktu. Parah ya? Padahal ini kan bahasa akhirat. Kenapa jadi seperti ini?
Oh iya, hari ini juga akan terasa sepi sekali... Ah, tapi aku tidak kesepian jika tugas-tugas masih saja menghantuiku. Aku kesepian karena dia tidak berada di fakultas seberang. Dia sedang mengikuti kegiatan di Bogor. Beraharap saja yang terbaik untukmu. Padahal baru kemarin bertemu, tapi stock rindu ini tidak pernah menipis, ya?

Finally...

Setelah mengirimkan empat flash fiction dan dua micro fiction, akhirnya....
Tiga cerita saya terpilih untuk diterbitkan via nulisbuku.com :')
Terima kasih @NBC_UI telah memberi kesempatan kepada saya dan teman-teman lainnya untuk menerbitkan tulisan kami yang biasanya hanya tersimpan rapi di dalam folder komputer.
Keep Writing and Keep Reading!

Minggu, 11 November 2012

Romantis Itu Kamu

Romantis tidak memerlukan seikat bunga cantik.
Tidak pula memerlukan rangkaian kata-kata yang meluluhkan jiwa.
Romantis itu kamu.
Dengan semua yang melekat pada dirimu.
Kemudian kamu tersenyum...tanpa sebab.
Dan kusadari, senyummu yang seperti itu
hanya untukku seorang.

...

Ketika saya kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan banyak hal yang
ingin saya ungkapkan...

Kamis, 08 November 2012

8

It's November eighth and I'm eighteen☺

Selasa, 06 November 2012

Meragukan Tuhan

Suatu malam, aku mendengar dua orang temanku sedang bercakap-cakap.

A: "Ya Tuhan, besok UTS..."
B: "Heh, jangan dikit-dikit ngadu sama Tuhan!"
A: "Loh, kenapa?"
B: "Gak semua hal perlu lo aduin ke Tuhan."
A: "Oh... Gitu ya?"
B: "Iya, lo harus bisa nyelesain masalah sendiri."

Kemudian, aku berpikir. Jika pada Tuhan saja kita ragu, bagaimana
dengan sesama manusia?

Sabtu, 03 November 2012

Semangkuk Bubur Kacang Hijau


Tidak ada yang berani mengakhiri semua ini. Ketika kau membisu selama seminggu ini. Ketika tak ada hal yang dapat kulakukan selain menjagamu dengan sebaik mungkin…

“Kamu mau makan apa nanti malam?” tanyaku.
Tidak ada jawaban.
“Mas, mau makan apa? Nanti aku masakin deh…”
“Nggak usah.” jawabmu. Singkat.
Aku tertegun. Marahkah kau padaku?

Aku mencoba menghapus semua pikiran burukku. Aku bergegas menuju dapur, ingin membuatkan sesuatu yang dapat menghangatkan perutmu di malam yang dingin ini.
Semangkuk bubur kacang hijau. Akumenghirup aromanya sambil tersenyum penuh harap. Semoga Mas Didit suka…

Baru saja aku membalikkan tubuh, lelaki berkumis tipi situ sudah berada tepat di hadapanku.

“Eh, Mas… Ini…”
“Mengapa kamu melakukan semua ini?” tanyamu.
“Aku? Apa, Mas?”
“Kamu tahu kan, aku berselingkuh dengan rekan kerjaku. Aku tahu kau menangis di balik selimut ketika aku pulang. Aku tahu kau tak lagi menuntut apa-apa dariku, bahkan hanya untuk sebuah pelukan. Kau tidak membutuhkanku lagi?”
“Mas… Aku—“ tenggorokanku terasa nyeri.
“Aku telah memperlakukanmu dengan jahat. Jahat sekali. Kenapa kau tidak membalasnya? Kenapa kau tetap membuatkanku bubur kacang hijau kesukaanku?” matamu berkaca-kaca.

Aku gemetar. Kau tidak jahat, Mas… Aku yang jahat…

“Rekan kerjamu itu adalah temanku. Aku menyuruhnya untuk menggodamu. Aku ingin tahu seberapa besar kesetiaanmu padaku, Mas…” kataku sambil terisak.
“Lalu?”
“Aku tahu kau tidak akan melakukan ini semua. Kau pasti menolaknya. Kau tidak berselingkuh. Hanya aku yang meragukan kesetiaanmu, Mas. Maafkan aku…”
Sesuatu yang hangat meraih pundakku. Memelukku erat dan diakhiri dengan sebuah kecupan lembut di keningku.
“Tidak perlu meminta maaf lagi. Lupakanlah semua itu. Istriku tersayang, ayo kita habiskan semangkuk bubur kacang hijau ini. Berdua.” sebuah senyum mengembang di bibirmu.

Aku mengangguk, meraih tangan kananmu. Hangat.
Aku tahu, tak seharusnya aku meragu pada lelaki yang berhasil mengunci hatiku ini.

Undanganmu


Apa yang lebih rumit dari ini? Aku mencintaimu, kau tahu itu. Matamu juga tak mampu menghindar ketika kutawarkan senyum terindah yang kumiliki. Kau bilang, senyumku menjadi pelangi di langitmu yang kelabu.

Semua baik-baik saja, bahkan kita semakin dekat. Jarak bukanlah suatu masalah, karena cinta dapat menembus batas-batas yang tak terjangkau oleh manusia. Kita rutin bertemu di sebuah kafe kecil di kawasan Jakarta Selatan. Paling tidak, sehari dalam seminggu, rinduku terobati. Kau adalah obat dari segala penyakit hati yang kuderita.

Sore itu, aku memberanikan diri mencari sebuah kepastian atas ikatan kita selama ini.

“Far, aku tidak mau lagi menunggu satu hari dalam seminggu ini untuk menemuimu.” ujarku.
Kamu terkejut, “Maksudmu?”

Aku menunjukkan sebuah scrapbook yang telah kubuat dengan perjuangan begadang selama dua minggu penuh. Di buku itu berisi semua kenangan tentang pertemanan kita sejak awal SMA. Foto ketika kau dihukum karena membantah ketika MOS, tiket bioskop yang kita tonton saat kenaikan kelas 3 SMA, catatan-catatan serta puisiku yang semuanya ditujukan untukmu.

“Rey…” bisikmu. Matamu berkaca-kaca ketika menutup scrapbook itu.
“Jadi, Farah… Apakah kamu mau—“
“Rey, aku sudah dilamar. Bulan depan aku akan menikah,” seketika airmata menetes di kedua pipimu.

Aku tidak sakit. Tidak. Aku hanya… Mati rasa.

“Datanglah. Maafkan aku…” katamu, lirih. Sebuah undangan berwarna abu-abu tergeletak di hadapanku.

Ya, abu-abu. Tidak hitam, tidak pula putih. Tidak sakit, tidak pula bahagia. Aku menggantungkan perasaanku pada langit senja yang menawan.
Aku terlambat.

Perpustakaan Punya Cerita

Kamu lagi.
Mengamati deretan buku-buku itu.
Seperti hendak mencari sebuah
buku
Mungkin yang kamu cari
Tidak ada di situ
Melainkan
di genggamanku

Ini aku (lagi)
yang hanya berani
Menyelinap di balik
deretan buku-buku
Mengagumimu
sesederhana itu.

Quotes of The Middle-Night

"We don't have a purpose? We'll make it soon."

Jatuh Cinta

Ada sesuatu yang kau ucapkan dengan polos. Aku menutup mulut, menahan tawa yang hendak meledak. Kamu menatapku; memasang wajah kebingungan dengan mengernyitkan kedua alismu.

Ternyata jatuh cinta itu sesederhana ini...

Kamis, 01 November 2012

Pengkhianatan Sederhana

Pagi ini, harusnya aku menerima sebuah ucapan selamat pagi
dan secangkir teh manis hangat darimu
sementara kamu menyiapkan sarapan untukku,
mataku akan terpaku memandangi lengkung bibirmu
sepasang mata yang teduh
lalu tersajilah sepiring nasi goreng sederhana buatanmu
tanpa bumbu penyedap
yang terasa nikmat karena cinta


Siang ini, harusnya kamu meneleponku
sekadar bertanya tentang pekerjaanku
sudahkah aku makan siang
atau bercerita tentang hal konyol yang berujung pada kalimat:
aku mencintaimu


Sore ini, harusnya kamu membukakan pintu rumah untukku
menyambut dengan sebuah kecupan lembut di punggung tanganku
dan kemudian lelahku sirna
setelah meneguk segelas es sirup buatanmu
yang sederhana
es sirup rasa cinta


Malam ini, harusnya kamu menyandarkan kepalamu di bahuku
menikmati semilir angin malam
di teras rumah kita
yang sederhana
beratap kesetiaan
berdinding kasih sayang
lalu, sayup-sayup kamu mulai bernyanyi
mengantarkanku pada dunia yang penuh kedamaian
dan arti "selamanya" bersamamu


Ya, seharusnya seperti itu
sebelum kamu melihat seorang lelaki
sedang memelukku
mengecup keningku
dan sejak saat itu
kamu tidak kembali pulang
ke rumah kita
yang sederhana