Meskipun tidak dapat dipungkiri, hal itu biasa terjadi pada kisah cinta di antara dua orang makhluk ciptaan Tuhan. Namun, yang saya rasakan kali ini sungguh berbeda. Merasa pulang, berada di rumah, berani melepaskan jiwa yang terkekang. Merasa hidup. Merasa berarti.
Persahabatan itu sederhana.
Sesederhana kebahagiaan yang tiba-tiba ada di antara kita. Tawa lepas yang menggelitik telinga, tingkah laku unik, senyum tulus yang merekah dari bibir mereka...
Lucu.
Dulu, saya sempat berpikir bahwa persahabatan sejati hanya ada di dalam film maupun novel. Tidak ada yang berwujud nyata. Apalagi ditambah dengan pengalaman-pengalaman bersahabat saya. Mungkin saya sempat merasa sangat-sangat dekat dengan beberapa orang, lalu men-judge mereka sebagai sahabat. Karena perasaan nyaman itu.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah berbeda sekolah dan jarang berkomunikasi, kami pun merenggang. Kehilangan. Lalu, proses pencarian sahabat-dalam-arti-sesungguhnya pun terus berlanjut.
Memasuki fase remaja, beberapa dari sahabat itu mulai muncul ke permukaan. Radarku pun menangkap sinyal-sinyal kecocokan dengan mereka. Pertemuan-pertemuan dan kebersamaan yang terangkai baik secara disengaja maupun tidak disengaja telah menguatkan kami ber-18.
Ya, kami sempat berbangga dengan keluarga baru kami: TAPE
Pasca-kelulusan dari 'masa putih abu-abu', ketakutan itu sempat muncul lagi. Akankah kehilangan lagi? Mencari lagi? Ataukah mampu bertahan hingga... batas-waktu-yang-tidak-dapat-ditentukan?
Saya mengenyahkan pikiran buruk itu. Dan waktu terus berputar, menjawab teka-teki yang memang saya takutkan sejak awal kebersamaan kami.
Perlahan, satu per satu dari kami menjauh. Ada yang membentuk 'keluarga' baru di luar sana. Ada pula yang memilih individual. Entah, apakah saya, Jeje, Astri, dan Naila adalah sisa... atau justru yang termasuk menjauh juga.
"Jadi, tinggal segini?"
Life must go on.
Pekuliahan pun dimulai. Tentu saja kami semakin terpisah. Tidak ada satu pun di antara kami yang satu jurusan. Kalaupun ada, hanya satu fakultas. Akankah kembali merenggang?
Alhamdulillah, ternyata tidak.
Kami justru semakin melekat satu sama lain. Bahkan, saya akui. Saya tidak menemukan sahabat-sahabat seperti mereka di jurusan atau pun di fakultas saya. Saya lebih dekat dengan mereka, meskipun dengan pertemuan setiap dua minggu sekali, bahkan sebulan sekali. Saya pun heran, dengan pertemuan yang jarang ini, hati kami tetap terpaut satu sama lain...
Erat.
Terima kasih kepada Astri, Jeje, Naila, dan Nita. Sahabat, keluarga, sekaligus separuh tulang rusuk—sebutan dari Nita—yang selalu ada, selalu setia. Saya tidak menginginkan kesempurnaan dalam persahabatan ini. Karena ketidaksempurnaan kita akan menyempurnakan satu sama lain.
Semoga bertahan sampai...
kita berada di surga nanti
bersama kembali.
Dari seorang yang kece...mutan, untuk para sahabat kece...pian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar