Mengunjungi perpustakaan di siang
ini merupakan ide terburuk sekaligus ide terbaik di hari ini. Pertama, teriknya
matahari di kota perbatasan Jakarta dan Depok ini sungguh tidak dapat
ditolerir. Kedua, buku pinjaman yang kucari-cari sejak sebulan yang lalu, belum
juga dikembalikan oleh sang peminjam. Novel karya Fira Basuki ini memang hanya
ada satu, dan pastinya menyita perhatian para pecinta buku di perpustakaan ini.
Dan yang terakhir, ini merupakan takdir yang memaksaku untuk membongkar sedikit
memori masa lampau bersama seseorang bernama Garry.
Berawal dari rak buku deret
800-an, di sinilah mataku menangkap sosok berbadan tegap itu. Matanya meloncat
dari satu judul buku ke judul yang lain. Rambutnya yang ikal tampak lebih
panjang daripada saat terakhir aku bertemu dengannya. Gelang tali berwarna
merah dan hitam yang senantiasa melingkar di pergelangan tangan kirinya
ternyata masih ada. Sepatu kets biru yang senada dengan kemejanya menambah
pesonanya di mataku.
Sialnya, aku hanya menjadi
pengamat di balik rak berisi ratusan buku-buku ini. Tanpa sepatah kata pun,
mataku tetap waspada mengamati setiap gerakannya. Garry menggaruk-garuk
rambutnya yang (mungkin) tidak gatal. Sebuah bahasa tubuh yang menandakan ia
sedang kebingungan.
Cari buku apa? Bisa kubantu?
Aku tersenyum kecut. Bisakah kalimat-kalimat
itu terucap dari bibirku? Kulongokkan kepalaku lagi untuk memastikan Garry
masih berada di tempat yang sama.
Aku panik. Tidak ada.
Kemudian sebuah tepukan lembut
mendarat di punggungku.
“Tara?”
Aku tak berani menoleh. Suara itu...
“Hey, gue Garry!”
Akhirnya aku luluh. Aku membalikkan
badan.
“Oh, hey... Ke perpus? Tumben.
Buku? Cari buku apa?” kata-kataku mendadak tak beraturan.
“Cari novel nih.”
Sejak kapan Garry suka novel?!
“Nggak salah denger nih gue?” aku
terkekeh.
“Bukan buat gue kok...” ia
tersenyum tipis. Manis!
“Novel apa?”
“Jendela-jendela karya Fira Basuki.”
DEG. Itu kan novel yang sedang kucari-cari...
“Liat nggak?”
Aku menggeleng. Mataku masih tak
mampu beralih dari sosok di hadapanku ini. Ia tak banyak berubah. Masih sama. Masih
Garry yang dulu. Masih Garry yang seorang gamer
lupa waktu. Masih seorang Garry yang cuek. Hanya satu perbedaannya...
Ia bukan lagi Garry-ku.
Menahun, kusimpan rindu beserta
kecewa yang menyertainya ini rapat-rapat. Tak kuizinkan seorang pun untuk
menyingkapnya, apa lagi mengetahui apa yang kurasa. Segala yang pernah ada di
antara aku dan Garry, cukup sampai di sini. Tidak boleh melebihi batas yang
telah kupasang sendiri.
Beberapa meter dari posisi kami,
seorang wanita berambut hitam panjang digerai melambaikan tangan ke arah kami—yang
ternyata ke arah Garry—sambil tersenyum.
“Ketemu nggak?”
“Nggak ada nih. Cari di tempat
lain aja, ya,” Garry meraih tangan perempuan itu.
Aku mematung. Anggap saja aku
tidak ada di tempat itu.
“Ra, kenalin. Ini Gita... Pacar
gue,” Garry tampak ragu.
“Hai, gue Gita.” Perempuan itu
menjulurkan tangan ke arahku.
Aku menyambutnya dengan sebuah
jabat tangan yang terasa menyakitkan. Pacar?
“Ya udah, gue balik dulu, ya,”
Garry menarik lengan Gita. “Yuk.”
Dua punggung itu bergerak menjauh.
Semua rindu dan kekecewaan yang telah berhasil kukunci rapat-rapat kini terbuka
sudah. Mereka memporak-porandakannya hanya dalam hitungan menit.
Dan semua kembali ke masa kini. Tidak
ada Garry yang dulu. Karena masa lalu tetaplah menjadi masa lalu yang tak
berhak ditempatkan di masa depan.
You were the one and it was enough
To be the one you were dreaming of
You were the one and we called it love
And now you take it all away, take it all away...
(Take It All Away – Owl City)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar