Langit sore memancarkan rindunya pada sang malam. Siluet jingga mendekap
erat batas bumi. Perlahan, sang matahari bergerak turun. Menghilang di batas
siluet itu dan akan kembali lagi esok hari. Lampu-lampu di sepanjang jalan kota
Jakarta mulai menampakkan cahayanya. Kemacetan bak kunang-kunang bercahaya
merah, putih, dan kuning di malam hari. Cantik.
Perempuan di sebelahku menyibakkan rambut ikalnya yang dibiarkan
tergerai. Ia akan terlihat sempurna dilihat dari sudut manapun. Ia memiliki
segalanya; kecantikan, suami tampan yang kaya raya, karier yang melejit,
seorang anak perempuan cantik jelita. Sempurna.
Tangan kirinya meraih ponsel dari dalam tasnya. “Jakarta macet gini,
kabarin si Inka kalo kita telat,” ia menyodorkan ponselnya padaku. Aku
menerimaya dan segera mengirim sebuah pesan singkat kepada Inka.
“Kayaknya kita perlu ambil jalan pintas. Balik arah deh,” pintaku.
Ia tampak berpikir sejenak dan memutar kemudi. Kami melewati jalan sempit yang hanya dapat dilewati satu mobil. Ia menggerutu kesal, takut mobil barunya lecet. Ia berceloteh dan memaki setiap orang yang mengganggu jalannya. Aku hanya diam, karena yang ia perlukan saat ini bukanlah mulut untuk berdebat, namun telinga untuk mendengarkan.
Ia ingin didengarkan.
***
Pukul 19.05 WIB kami tiba di sebuah kafe di kawasan Kelapa Gading.
Seorang wanita berkerudung biru melambaikan tangan ke arah kami: Inka.
“Kalian sukses bikin gue nambah hot cappucino tiga kali, tau nggak?”
Kami tertawa kecil.
“Siapa suruh ketemuan di sini, di hari kerja pula. Kayak nggak tahu
Jakarta aja!” balasku.
“Tempat ini rekomendasi dari Gina loh,” Inka melirik Gina.
Gina menyatukan kedua tangan di depan dada sambil tersenyum tanda permohonan maaf. Kami mendaratkan cubitan lembut di pinggangnya. Ia terkekeh geli.
Sebuah meja berbentuk persegi yang diisi oleh tiga orang wanita yang sibuk dengan dunia kami sendiri. Kami tidak memerlukan orang lain ketika kami sedang berkumpul seperti ini. Dunia ini milik kami. Titik.
Kami tidak memerlukan banyak kata-kata untuk mengungkapkan apa yang kami
rasakan. Aku memandangi Inka dan Gina. Mata mereka berbicara sangat lantang
pada mataku. Kutemukan mata Gina yang memancarkan luka. Kudapati mata Inka yang
rapuh. Dan mungkin, mereka akan melihat gemuruh tak beraturan di dalam mataku.
Entah.
Mata kami berbicara dalam diam.
Inka menarik napas panjang. Kami terus menatap matanya, menuntut penjelasan. Ia tersenyum dan kerapuhan itu semakin jelas. Ia mengusap punggung tangan kami yang menyatu di atas telapak tangannya. Tanpa kata, tanpa isyarat, dan kami mengerti.
Mata kami beralih ke Gina. Sosok wanita sempurna ini menampakkan lukanya
di dalam bola matanya. Luka tentang kehadiran orang ketiga dalam rumah
tangganya. Ia menangis di dalam matanya, tanpa airmata, namun kami mengusap
lembut pelupuk matanya seakan ada air di sana. Ia tersenyum dan mengangguk.
Kami mengerti.
Aku. Gina mengerlingkan matanya padaku sambil tersenyum usil. Padahal aku
baik-baik saja, kurasa. Inka mencubit pipiku lembut, “Lagi jatuh cinta sama
siapa sih, Non?”
Aku terkesiap. Pipiku terasa panas.
Mereka menangkap debar ini. Mereka membaca mataku. Kami saling mendengar mata kami berbicara. Kami tertawa selagi ada. Kami bahagia selama kami bersama. Kami melupakan dunia yang lain selagi terjebak dalam dunia kami ini. Kami tahu, semua akan baik-baik saja...
...selama kami ada bertiga, dengan mata yang selalu berbicara tanpa kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar