Matanya menatap kosong pada jendela kamarnya yang berembun. Hujan
rintik-rintik hadir lebih awal daripada sang fajar. Kemeja hitam membuat lelaki
berkulit putih itu tampak lebih cerah. Kontras dengan warna kulitnya. Sayangnya,
matanya memancarkan sendu tak yang tak dapat diukur dengan satuan apa pun.
Ia kehilangan, bahkan sebelum ia sempat memiliki.
Namanya Fikar, namun perempuan itu memiliki panggilan khusus
untuknya. “Fi” sudah cukup untuk membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Fikar
tahu, hanya Nafi yang akan memanggil dengan panggilan itu.
Fikar tersenyum tipis. Ia bangkit dan berjalan meninggalkan
kamarnya. Menuju rumah sebelah yang telah ramai sejak semalam. Pesta kepergian
sedang dirayakan di sana. Hujan turun semakin deras. Fikar bersumpah, ia akan
membenci hujan setelah hari ini.
***
Satu bulan sudah, Nafi berada di dalam ruangan ini. ruangan
putih yang selalu rutin dikunjungi oleh orang-orang berseragam putih. Ia tidak
bahagia, namun tetap ingin tersenyum. Berharap mukjizat yang nyata segera
menghampiri setiap insan yang tersenyum. Nafi tahu, ia merindu. Merindu kepada
lelaki yang tak sepatutnya ia rindukan.
Mencintainya hanya
akan membuatku semakin sulit untuk pergi, batinnya.
Selang infus yang terhubung ke pergelangan tangannya tidak
menyurutkan jemarinya untuk tetap bergerak. Menulis, menulis, dan menulis. Tanpa
banyak berharap tulisannya akan dibaca. Ia menumpahkan segalanya.
Rindu. Cinta. Sepi. Sakit. Pergi.
Tulisan tangannya berhenti, tepat setelah huruf ‘F’ dan “i”
tertulis di kertas itu. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Meninggalkan
bercak merah basah pada baju biru yang dikenakannya. Hening. Beberapa menit
kemudian, terdengar jeritan adiknya memanggil perawat. Nafi tak bergeming. Selamanya.
***
Teruntuk sahabat,
kerabat, sekaligus cinta yang tak pernah kumiliki: Fi
Fikar terpaku memandangi tulisan tangan itu. ia tahu,
segalanya terlambat. Andai dulu ia lebih berani mengungkapkan perasaannya
kepada sahabat kecilnya itu. andai dulu ia tidak mengambil kuliah di London. Andai
dulu ia menemani Nafi di rumah sakit...
Andai. Semua akan tetap menjadi “andai” yang abadi. Ia memeluk
batu nisan itu. Tanpa suara, membisikkan cinta yang hanya mampu dipahami oleh semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar