Minggu, 23 September 2012

Bocah Ojek Payung


           

            Hujan tiba-tiba menyapa senja di sore hari itu. Orang-orang panik berlarian melindungi tubuh dan barang bawaan mereka. Aku pun demikian, berlari diantara orang-orang itu sambil melindungi tasku yang berisi makalah untuk tugas besok.
            Aku berhasil mendapat tempat diantara kerumunan orang-orang yang berteduh di sebuah halte bus. Sambil melirik jam tangan, aku memastikan bahwa barang-barang bawaanku selamat dari air hujan. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang bergerak melawan arus. Seorang bocah laki-laki yang kira-kira seumuran dengan adikku.
            Baju kaus yang dikenakan bocah itu dapat kupastikan berukuran dua kali lipat tubuhnya. Kaus berwarna coklat lusuh yang sudah bermandi air hujan itu melekat pada kulit si bocah. Aku dapat merasakan betapa dinginnya berinteraksi langsung dengan cuaca yang ekstrem seperti itu. Aku memejamkan mata dan merasakan tubuhku menggigil.
            Payung hitam itu dengan gesit dibawa oleh pemiliknya—si bocah lelaki—sambil berimpitan dengan orang yang menyewa payungnya. Meskipun sedang menahan rasa dingin yang menusuk tulang, ia tetap memasang wajah ceria. Sambil sesekali menyapa beberapa temannya yang juga sedang berjuang menembus derasnya hujan, ia berlari-lari kecil menyamai langkah sang penyewa payungnya, tanpa alas kaki apa pun.
            Bocah itu menerima uang kertas yang diberikan sang penyewa payung dengan wajah berseri. Kemudian, ia merogoh saku celananya dan menyimpan uang itu. Tanah yang basah menjadi saksi bisu kobaran semangat bocah-bocah ojek payung itu. Mereka berlarian berebut “penumpang” demi beberapa lembar uang kertas yang telah basah. Aku menghirup napas dalam-dalam. Lalu menyadari, diriku tenggelam dalam aroma hujan yang memikat dan membukakan mata hati seorang manusia.

Tidak ada komentar: