Jumat, 07 September 2012

Pantai Senja

Debur ombak memecah lamunanku tentangmu. Semua terlihat semu, kecuali kepergianmu. Ya, kepergianmu begitu nyata untukku. Tidakkah kau menyadarinya?

***

Jakarta, 5 tahun silam...

Hembusan nafasmu terasa di rambutku. Hujan mempertemukan kita dalam sebuah perjalanan yang tidak biasa.
"Kamu pulang ke arah mana?" suaranya memecah keheningan.
Ke hatimu boleh?
"Perumahan Pelangi, kamu?"
"Aku di jalan pasaribu. Wah nggak terlalu jauh loh jarak rumah kita. Kapan-kapan main, yuk?"
DEG. Tentu saja! Ayo main!
"Kalau ada waktu, kita ketemuan aja. Dimana ya?"
"Pantai Senja?"
Pantai Senja? Dimana itu?
"Kamu tidak tahu Pantai Senja?"
Aku menggeleng penasaran.
"Hahaha... Baiklah, besok aku tunggu di depan Perumahan Pelangi, ya. Jam 3 sore. Bisa?"
DEG. Aku mengangguk sambil tersenyum. Kurasakan pipiku memanas.
"Oke, sampai jumpa besok, Clara..." ia melambaikan tangan padaku.
Aku mengamati pergerakan langkah kakinya. Punggungnya menghilang di balik kendaraan yang melintas.
Pantai Senja. Nama tempat itu menghantuiku sepanjang malam.

***

Tepat 2 menit sebelum waktu yang kau janjikan. Kau tak kunjung datang.
Mungkin beberapa menit lagi, pikirku.

***

Aku berjalan dengan berpayung hujan. Tak ada yang mampu menggambarkan kekecewaanku padamu saat itu. Tidak ada. Kau benar-benar menghancurkan segalanya. Kau tidak menepati janjimu. Kau menghilang. Benar-benar menghilang...

***

Hari ini, aku berdiri di bibir Pantai Senja. Seorang lelaki duduk disampingku, tengah bermain membangun kastil pasir bersama anak laki-lakinya.
Aku menghembuskan napas perlahan. Aku telah menemukan Pantai Senja, Dion...
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan aku tidak cukup bodoh untuk menunggumu disini, dengan berbekal harapan kosong darimu.
Pandanganku tertuju pada sang bocah laki-laki yang tengah asyik dengan ember berisi pasirnya. Ia pun tersenyum lugu, "Bunda mau ikut main pasir?"

Tidak ada komentar: