Sabtu, 03 November 2012

Undanganmu


Apa yang lebih rumit dari ini? Aku mencintaimu, kau tahu itu. Matamu juga tak mampu menghindar ketika kutawarkan senyum terindah yang kumiliki. Kau bilang, senyumku menjadi pelangi di langitmu yang kelabu.

Semua baik-baik saja, bahkan kita semakin dekat. Jarak bukanlah suatu masalah, karena cinta dapat menembus batas-batas yang tak terjangkau oleh manusia. Kita rutin bertemu di sebuah kafe kecil di kawasan Jakarta Selatan. Paling tidak, sehari dalam seminggu, rinduku terobati. Kau adalah obat dari segala penyakit hati yang kuderita.

Sore itu, aku memberanikan diri mencari sebuah kepastian atas ikatan kita selama ini.

“Far, aku tidak mau lagi menunggu satu hari dalam seminggu ini untuk menemuimu.” ujarku.
Kamu terkejut, “Maksudmu?”

Aku menunjukkan sebuah scrapbook yang telah kubuat dengan perjuangan begadang selama dua minggu penuh. Di buku itu berisi semua kenangan tentang pertemanan kita sejak awal SMA. Foto ketika kau dihukum karena membantah ketika MOS, tiket bioskop yang kita tonton saat kenaikan kelas 3 SMA, catatan-catatan serta puisiku yang semuanya ditujukan untukmu.

“Rey…” bisikmu. Matamu berkaca-kaca ketika menutup scrapbook itu.
“Jadi, Farah… Apakah kamu mau—“
“Rey, aku sudah dilamar. Bulan depan aku akan menikah,” seketika airmata menetes di kedua pipimu.

Aku tidak sakit. Tidak. Aku hanya… Mati rasa.

“Datanglah. Maafkan aku…” katamu, lirih. Sebuah undangan berwarna abu-abu tergeletak di hadapanku.

Ya, abu-abu. Tidak hitam, tidak pula putih. Tidak sakit, tidak pula bahagia. Aku menggantungkan perasaanku pada langit senja yang menawan.
Aku terlambat.

Tidak ada komentar: