Sabtu, 17 November 2012

(Bukan) Cinderella


Pukul 08.14
“What?!” aku melompat turun dari tempat tidurku.
Ketika aku menyikat gigi, handphone-ku tak henti-hentinya berdering. Nama yang muncul di layar handphone membuatku ingin segera terbang melesat menuju kantor. Detik ini juga.


Pukul 08.55
Akhirnya kereta itu datang juga. Dengan perasaan yang meledak-ledak setelah mengangkat telepon dari Boss, aku mencoba tetap tenang di kereta.

“Berkasnya kan ada di kamu! Kalau dalam tiga puluh menit kamu belum sampai ke sini, jangan harap saya akan mengangkatmu menjadi pegawai tetap!” ancam Bu Diana, Manajer di tempatku bekerja.

Tetiba seorang pria menepuk pundakku.

“Cindy?” matanya mengamati wajahku.
Aku berpikir cepat. “Randy?”

Kepanikanku runtuh sudah. Pria itu mengembangkan senyum di wajahnya. Hatiku meleleh. Lebih tepatnya, selalu meleleh. Tidak berubah, sejak aku mengenalnya di kampus, tiga tahun yang lalu.

“Kamu kerja? Turun di stasiun mana?” tanyaku.
“Stasiun Cikini. Kamu?”
“Oh… Manggarai.” Jawabku ringan.
“Apa? Ini kan Stasiun Manggarai…”
Kepanikanku kembali muncul. Kurasakan kereta mulai berjalan lagi.
“Permisi!! Permisi!! Saya harus turun!!” aku menerobos penumpang lainnya, menuju pintu keluar kereta.
“Aaaaargh!” akhirnya aku berhasil keluar dari kereta itu.

Aku setengah berlari untuk menghampiri ojek di area stasiun. Kemudian, kusadari ada yang ganjil dengan penampilanku.
Sepatuku. Tinggal satu.


Pukul 20.00
Aku pulang dengan mengenakan sepasang sandal pinjaman temanku di kantor. Aku memaki diriku yang tidak menyadari sepatuku terlepas di dalam kereta.
Dan terlintas di benakku, bahwa aku tadi belum berpamitan pada Randy! Bahkan, belum bertanya apa pun selain stasiun tujuannya. Lagi-lagi aku merasa bodoh. Setelah kehilangan jejaknya selama berbulan-bulan, Randy yang tadi ada di hadapan mata telah kusia-siakan. Malam itu, rasanya aku ingin menangis di balik selimut. Mengutuki diriku yang tak henti-hentinya membuat kecerobohan.


Pukul 11.51
Seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Ada yang mau ketemu kamu. Duh, malam-malam begini…” kata Mama ketika aku membuka pintu.
Aku menuju teras untuk melihat siapa yang ingin menemuiku di tengah malam begini.

Randy?

“Ini sepatumu, Cin. Maaf, tengah malam begini aku ke rumahmu. Tadi aku mencari tahu rumahmu lewat teman-teman kuliah. Malah tadi sempat nyasar juga. Hehehe…”

TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG. TENG.
Pukul dua belas malam.

“Cindy… Ehem, kamu mau jadi Cinderella-ku?” ucapnya sambil bertekuk lutut dengan kedua tangan memegang sepatuku yang tertinggal di kereta tadi.

Aku terpaku. Pangeranku…


Tidak ada komentar: