Jumat, 28 Desember 2012

Jalan Pulang

Cinta tidak membutuhkan jalan pulang. Karena cinta itu sendiri adalah tempatmu untuk pulang. Tidak perlu bertanya di mana, jika kamu menemukan seseorang yang dapat membuatmu merasa seperti sedang di rumah, maka dialah cintamu; jalan pulangmu.

***

"Kamu temenin aku, ya?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ada urusan lain. Kenapa sih, mau ngasih cincin aja minta temenin. Itu kan urusan kalian," nadaku mulai ketus.
Kamu menatapku tidak percaya. Wajahmu yang sendu diarahkan ke jendela. Embun masih menempel di sana.

Embun saja selalu setia kepada pagi.

Jangan tanya sudah berapa tahun seperti ini. Sejak aku belum mampu menggambar lingkaran dengan sempurna, sampai kita telah merancang berbagai desain grafis saat ini, kita masih selalu bersama. Terlalu sering kebersamaan ini tercipta. Matamu seakan menutup rapat hatiku. Tidak ada yang lain. Ternyata diam-diam kamu menyusup ke dalam sini. Mengunci rapat logikaku tentang segala kemungkinan untuk tetap bersamamu; berdua.

"Beneran nggak mau?" tanyamu lagi.
"Ya," aku menunduk.

Tiga minggu yang lalu, kamu datang ke rumahku dengan wajah sumringah. Kamu bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah aku ingin untuk kudengar. Ingin kututup telingaku, namun tidak bisa. Mau tidak mau, harus kudengarkan ceritamu itu.

"...cantiknya sih biasa aja, tapi senyumnya memikat banget!"
"Hmm..."
"Nanti malem mau gue ajak dinner. Doain, ya. Semoga sukses. Hahaha!"
Kepalaku mengangguk. Hatiku menggeleng.

Sejak saat itu, aku kebingungan mencari jalan pulang. Ke mana? Aku terhempas. Terpinggirkan. Kamu tampak mulai khawatir, namun selalu kutepis dengan kalimat, "Aku baik-baik aja kok!"

***

Hari itu pun tiba. Proses "pemberian cincin" darimu untuknya. aku mengurung diri di kamar seharian. Ditemani hujan, aku mencoba melupakan segalanya. Segala tentangmu, tentang kita, tentang tempat-tempat di mana kita biasa pergi bersama...

Tenyata permanen. Tidak dapat dihapus.

Suara ketukan pintu mengembalikanku ke dunia nyata sejenak. Lagi-lagi, dadaku terasa sakit. Oh, lebih tepatnya hati.
Pintu terbuka. Sakit itu semakin jelas menusukku.

"Ngapain ke sini?"
"Loh, bukannya kamu udah tau?"
Aku membuang muka. Tidak peduli. Meskipun tidak mengerti apa yang ia katakan.
"Kamu benar, Ras. Cinta akan selalu membawaku kembali pulang. Seberapa jauh pun kita melangkah, kaki ini akan selalu kembali lagi menuju jalan pulang..."
Jalan pulang? Cinta?
"Ras, kamu adalah rumahku. Jalan pulangku selama ini. Wanita itu... Kamu!"
Aku membeku. Sebuah cincin berlian terpasang anggun di jari manisku.
Selamat datang di rumah, Cinta.

Tidak ada komentar: