Jumat, 28 Desember 2012

Park Jun

Aku mencintai kesendirianku.

Hingga akhirnya kamu datang, mengubah segalanya. Sepasang mata sipit yang memandang kagum pada kebudayaan Indonesia, seulas senyum dari bibir tipismu, suaramu yang terdengar aneh, namun ternyata membuatku menjadi pecandu-garis-keras-senyummu.

Aku tidak ingin sendiri lagi.

Menikmati kuliner khas Indonesia adalah rutinitas kita setiap malam Minggu. Aku dan kamu, berdua. Setiap warung makanan yang kita kunjungi pasti menatap kita heran. Seorang perempuan berkulit cokelat sedang makan berdua dengan lelaki sipit berkulit putih dengan senyum yang mempesona. Sungguh bukan suatu keselarasan.

“Ini namanya pecel lele, Jun.”
“Pecel lele nikmat tidak?”
“Banget!”
Pesanan kami datang. Kamu menatap ikan lele yang masih mengepul panas itu dengan tatapan kagum.

Ternyata justru aku yang semakin kagum. Padamu.

Malam kesekian, kita melewati wisata kuliner ke berbagai penjuru Jakarta. Kamu bilang, Jakarta adalah kota yang indah, namun kamu selalu tidak suka dengan kemacetannya. Aku katakan bahwa Jakarta tanpa macet adalah bukan Jakarta. Kamu terkekeh.

“Minggu depan kita UAS, ya, Nit?” tanyamu.
Aku mengangguk sambil menyuap nasi goreng.

Tiba-tiba raut wajahmu berubah. Cahaya matamu meredup. Kamu mengajakku pulang meskipun nasi goreng kita masih tersisa di piring. Aku bertanya-tanya, dan kamu hanya diam. Kita menyusuri sepanjang jalan tanpa sepatah kata pun.

“Belajar yang rajin, ya. Nilai kamu harus bagus di semester ini!” suaraku memecah keheningan kami.
Kamu menoleh ke arahku. Tanpa ekspresi.
“Kenapa?”
Matanya seakan ingin berbicara. Mataku dan matamu. Bertemu dalam satu titik. Degup jantungku menjadi tidak stabil. Pipiku memanas.
Ia hanya menggeleng lemah. Matanya kembali menatap lurus ke depan.
“Aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu di negara ini. Jangan lupakan aku, ya,” katamu, pelan.

Lagi-lagi, aku tidak mengerti. Bukankah kita masih memiliki banyak waktu untuk bersama? Aku belum mengabulkan permintaanmu untuk pergi ke Monas, belum menikmati semilir angin di Pantai Anyer, belum memasakkan tempe bacem kesukaanmu, Park Jun...
Tanganmu menggenggam tanganku, namun tatapanmu tetap lurus ke depan.

Dadaku bergemuruh hebat.

***

Suasana kelas mendadak ramai.
“Selamat tinggal, UAS! Hahaha!” teriak salah seorang temanku.

Liburan panjang akan segera dimulai. Aku pun telah menyiapkan berbagai rencana yang belum terwujud bersamamu. Aku tersenyum, tak mampu menyembunyikan kebahagiaanku.

“Nita, aku ingin bicara...” tiba-tiba kamu muncul di hadapanku.
Aku pun mengikutinya berjalan keluar kelas dan berhenti di salah satu koridor.
“Semester ini telah berakhir. Sebelumnya, aku minta maaf karena tidak memberi tahu kamu lebih dulu. Aku akan kembali ke Korea. Aku berharap semua akan baik-baik saja.”
Rencana liburan yang tersusun di kepalaku hancur seketika. Dadaku terasa ngilu. Perih di bagian hati.
“Nita, andai aku bisa lebih lama di sini. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama kamu. Tetapi aku tidak bisa...”

Ternyata aku akan sendiri lagi. Seperti saat sebelum aku mengenalmu.

“Hati-hati, ya. Kamu harus jadi orang hebat di negaramu,” kataku sambil tersenyum. Dadaku semakin sakit.
“Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?” kamu menatap mataku.
Aku tertawa kecil. “Semoga kita bisa bertemu lagi,” bisikku.

Kamu meraih lenganku, kemudian memelukku erat.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membalas pelukanmu. Untuk terakhir kalinya. Kubiarkan kamu merasakan detak jantungku. Airmataku tumpah seketika. Bibirku bergetar ingin mengucap, namun suaraku lenyap.

Ternyata aku mencintaimu, Park Jun.

Tidak ada komentar: