Minggu, 30 Desember 2012

Kembali Hidup


Sinar matahari pagi menembus masuk melalui celah jendela yang terbuka. Sinar itu jatuh menerpa wajahku. Silau. Aku meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa pegal akibat timbunan asam laktat di beberapa bagian. mataku menyapu seisi ruangan. Di sini tidak ada kehidupan. Bahkan aku pun telah mati di depan pintu kamar ibuku sendiri.

Hatiku telah mati.

Perlahan, kuputar kunci dan membuka pintu kamarnya. Ia masih terlelap bak seorang balita. Wajahnya yang polos, pakaiannya yang lusuh, serta jiwa yang tidak lagi utuh. Mungkin Tuhan telah mengambil beberapa bagian dalam otak dan hatinya sehingga ia dapat memukuli ayah semalam.

Ah. Ayah.

Setelah dipukuli dengan berbagai benda yang ada di rumah, ia hanya menunduk terdiam. Ibu tetap meneriakinya tanpa ampun, “Laki-laki bejat!!! Pengkhianat!!!”
Kemudian ia pergi dengan tas ransel di punggungnya dan membawa satu-satunya barang berharga di rumah ini. Sebuah sepeda motor. Tanpa menoleh, ia terus melangkah menuju pintu. Mungkin, saat itu ia lupa bahwa ada seonggok daging yang berasal dari air maninya sedang menatap menuntut penjelasan dari balik punggungnya. Sampai ia menghilang di ujung jalan, aku menyadari bahwa aku telah mati.

Kehidupanku mati, dimulai sejak malam tadi.

***

Ia meraung-raung sambil mencakari tubuhnya sendiri. Darah mulai terlihat di sekujur lengan dan pipinya. Aku memeluknya erat sambil menahan airmataku yang hendak berontak. Tidak. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Harus.
Bahkan ia mulai mencakari lenganku yang sedang memeluknya. Aku meringis, menahan sakit. Sungguh, luka ini belumlah seberapa dibandingkan dengan luka di dalam hatinya. Kulihat ia mulai kelelahan. Ia tertawa dengan tatapan mata kosong, kemudian membeku tanpa suara.

Ternyata ia tersenyum...

Oh! Bukan! Ia menangis di balik senyumnya. Sebuah luka pengkhianatan ayah tergambar jelas di sana. Aku melepaskan pelukanku. Kutatap wajahnya yang penuh luka itu.

Benarkah wanita ini adalah seorang ibu yang telah melahirkanku?

Pikiran-pikiran jahat yang dikirimkan iblis mulai merasuk. Ingin rasanya kutinggalkan ia, berlari menjauhi wanita yang tak berjiwa ini dan menemukan hidupku kembali. Aku akan hidup bahagia untuk selamanya.

Sinar matanya meredup. Ia meraih bahuku dan akhirnya menangis histeris. Saat itulah, aku menyadari bahwa aku masih diinginkan; masih dibutuhkan. Tuhan tidak benar-benar membuat hidupku hancur.

Tak perlu lagi kutemukan hidupku kembali. Dua puluh tahun yang lalu, wanita inilah yang 
telah membantu proses kehidupanku. Dan saat ini pula, dialah alasanku untuk mencoba hidup kembali.

Tak lagi kuperlukan kebahagiaan dunia. Cukup di dalam peluknya, hidupku utuh kembali.


Tidak ada komentar: