Jumat, 05 Oktober 2012

Aku, kamu...


Hujan sore itu menjadi pengantar rindu yang tak bertuan. Aku berdiri di tepi koridor penghubung antara gedung V dan gedung VI. Mengamati butir-butir air yang menjatuhkan dirinya pada hamparan rumput yang merindukan mereka. Adakah diriku seperti itu?

“Ran!” sebuah suara menghempaskanku dari dunia imajinasiku.
Aku menoleh, mencari sumber suara. DEG! Senyuman itu…
“Hey, kok melamun sambil memperhatikan hujan gitu? Nanti galau loh…” Danar terkikik.
Sebuah cubitan dariku mendarat di pinggangnya.
“Aku sih nggak pernah galau tuh.” Jawabku bohong.
Danar kembali terkikik sambil mengarahkan matanya padaku. Yang benar saja? Aku pasti bermimpi!

Aku harus kembali merapikan hatiku setiap kali bertemu denganmu. Menyadari bahwa hanya aku yang merasakan adanya atmosfer yang berbeda antara aku dan dirimu. Bahwa aku hanyalah…

“Ayo pulang, hujannya sudah mulai reda nih.” Katanya sambil menengadahkan tangan di bawah langit.
“Dingin…”
Terbesit kilat khawatir pada bola matanya. Kemudian Danar melepas jaket yang dikenakannya. Untukku?
“Pakai ini.” katanya singkat dan hangat.
Aku tak bergeming. Menatap tak percaya ke arahnya.
“Lama amat ngeliatinnya. Sini deh dipakein…”
Gerakannya cepat dan lembut.
“Ng… Makasih…”
“Iya. Ayo pulang.”

Gerimis melanda hatiku. Bahagia bercampur pilu… Kurapatkan jaketnya pada tubuhku.

***

“Selamat ya, semoga langgeng! Doain gue nyusul. Hahaha…” seorang lelaki menggenggam erat tangannya.

Aku masih berdiri manis di sampingnya. Mengenakan sebuah gaun berwarna biru laut yang ia pilihkan untukku. Katanya, aku tampak lebih anggun jika memakai gaun ini. Sambil menjaga senyum yang tetap menghias bibir, aku menggandeng lengannya.

“Ran, lihat dia…” tetiba matanya terpaku pada satu titik. Wanita itu…

Terlalu cantik untuk sekadar disebut “cantik”. Terlalu anggun untuk diumpamakan hanya sebagai bidadari. Gaunnya sederhana, namun jelas mengalahkan gaun biru laut yang aku kenakan.
Mata mereka bertemu. Aku menatapnya dengan luka yang menganga, lalu aku paksa untuk sembuh.

“Cieee, selamat ya, Danar!” aku memasang wajah semanis mungkin.
“Panggilnya ‘Mas Danar’ dong! Masa udah tunangan gini masih aja gak sopan sama sepupu sendiri…”

DEG. Sepupu… Aku… Kamu…

“Iya deh, Mas Danar…” kataku. Masih dengan senyum yang manis dan... Dipaksakan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Untung si perempuan nggak pingsan ya, pas dipakein jaketnya Danar. Hahaha..