Rabu, 03 Oktober 2012

Sebuah gambar

Mata ini mungkin masih mampu berdusta. Ketika aku mengarahkan pandanganku untuk menjauh darimu. Ketika mataku menahan airmata ketika kau tertawa renyah di hadapanku… Namun, harus kau ketahui. Hati ini tidak mampu dan tidak akan pernah berdusta. Tidak pernah.

***

“Gambar lo bagus banget, Fi!” sosoknya tiba-tiba muncul dari balik punggungku.
Aku gugup. Spontan, aku langsung menutupi gambar itu dengan kedua tanganku.
“Sini liat dong! Eh, kok gambar ceweknya sedih gitu?”
“Eh… Eng… Nggak kok! Apaan sih? Udah sana jangan liat-liat gambar gue!” aku menepis tangannya yang berusaha merebut gambarku. Butir-butir air mulai mengumpul di kedua pelupuk mataku.
Berlari.
Aku meninggalkannya dan berlari… Entah menuju kemana. Aku ingin pergi darinya. Pergi dari kenyataan bahwa sosok lelaki yang selalu muncul dalam gambarku ini adalah sosok yang semu. Aku masih terus berlari…

***

Sebulan yang lalu…
Aku menggambar untuknya. Di hari ulang tahunnya ini, aku telah mempersiapkan sebuah gambar terbaik yang telah aku selesaikan dari hasil begadang selama seminggu penuh. Gambar itu sederhana. Hanya seorang anak lelaki dengan balon berwarna putih di tangannya, dan seorang perempuan yang memegang balon berwarna-warni.
Aku hampir menyerahkan gambar itu kepadanya. Jika saja, aku lebih cepat beberapa menit dari gadis itu.
Sesosok gadis yang selalu kau ceritakan dengan mata penuh cinta kepadaku. Tentang sifatnya, tentang gayanya, tentang senyumnya yang tak bisa membuatmu tidur selama berminggu-minggu…
Ya, aku terlambat.

“Selamat ya, sayang…” gadis itu menyerahkan sebuah kotak berwarna merah dan berpita cokelat.

Aku mundur. Selangkah. Dua langkah. Kemudian mengambil jalur putar arah agar kau tak mampu lagi melihatku meski dalam gelap. Aku mengubah segalanya menjadi lebih buruk. Aku menghindarimu, tak lagi mendengarkan ceritamu, dan tak lagi peduli pada kehadiranmu.
Sayangnya, kau tak mengerti itu. Kau tetap menganggapku adalah sahabat terbaikmu sepanjang masa. Tetap menemaniku saat aku duduk termenung di kantin, saat aku keluar kelas dan kau tiba-tiba muncul di depan hidungku…
Tidakkah kau mengerti? Semua ini. Semuanya terasa pupus. Kau tidak membunuh perasaanku, namun justru menyuburkan cinta di hatiku. Aku yang setengah mati berusaha membunuhnya, kemudian memilih pasrah. Ya, aku-hanya-sahabat-terbaikmu-sepanjang-masa.

Tidak ada komentar: