Sabtu, 13 Oktober 2012

Sahabat Setia (A present for Zaenab Lubis)


Seorang perempuan berambut panjang melambaikan tangannya dari kejauhan. Aku pun berlari dan menyambutnya dengan pelukan hangat penuh rindu. Setelah pada malam sebelumnya aku bercerita keluh kesahku, ia mengajak untuk bertemu. Sekian lama tidak bertemu, penampilannya tidak banyak berubah. Perempuan berdarah Batak yang biasanya mengenakan sepatu itu, kini mengenakan sepasang sepatu sandal yang cantik. Mungkin ia ingin tampil lebih feminin.

Pertemuan kami siang itu membuatku mengenang persahabatan kami sejak awal SMA. Saat berkenalan dengannya, aku sama sekali tidak menyangka akan bersahabat dengan perempuan yang tampak cuek ini. Namun, dugaanku ternyata salah. Kesediaannya untuk mendengarkan curahan hatiku, sekaligus pemberi saran bagi masalah-masalah yang sedang kuhadapi, membuat kami akrab dan saling terikat dalam sebuah persahabatan.

Tiba-tiba aku terkikik melihat tingkahnya. Ia duduk bersila di atas sofa Perpustakaan Pusat UI sambil membaca sebuah buku dengan wajah yang polos. Ia memang selalu seperti itu. Tidak suka diatur dan sering berbuat konyol. Bahkan ia pernah pergi dari rumah tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Tindakannya itu membuatku panik, karena bagaimanapun juga, ia adalah seorang perempuan. Untung saja, ia kembali pulang setelah puas melepas emosinya dengan cara tersebut.

Meskipun di antara R4—nama geng yang beranggotakan aku, Jeje, Astri, dan Naila—hanya Jeje yang belum mendapat kesempatan berkuliah di UI, namun kami selalu memberi dukungan dan motivasi untuknya. Perempuan bernama lengkap Zaenab Lubis itu memang selalu ada. Di saat aku, Astri, dan Naila terjebak di sela-sela kesibukan kampus, ia dengan setia menanyakan kabar kami, bertanya apakah ada waktu luang untuk kami bisa bertemu. Sosok sederhana itu tak pernah berubah, ia selalu menjadi sandaran ketika aku gundah, selalu memiliki tangan yang menghapus airmataku, selalu tertawa untuk menghiburku. Inilah kami, selalu ada; selalu setia.

Tidak ada komentar: