Senin, 08 Oktober 2012

A place in your heart


“Matkul gak penting! Cabut aja deh gue!” ucapku pada Tata, sahabatku.
“Serius lo? Dosennya kan…”
“Halaaah, jatah absen gue masih ready stock kok!” aku berjalan cepat meninggalkan ruang kelas.

Keluar dari gedung VI, aku disambut dengan pemandangan mahasiswa-mahasiswa BIPA yang sedang asyik mengobrol, minum, bahkan merokok. Di antara mereka, aku melihat Seo Hyun—kenalanku di salah satu kelas—sedang melambaikan tangan ke arahku.

“Halo, Dara… Mau rokok?” dengan bahasa Indonesia yang belum terlalu lancar, ia menyodorkan sebatang rokok padaku.
“Terima kasih.” Jawabku sambil mengambil rokok itu dan menyimpannya di saku jaketku.
“Kamu cha-but ya pasti?” tanyanya.
Keningku mengkerut. Cha-but? Cabut? Astaga!
Aku menganggukkan kepala sambil terbahak-bahak.

Kami mengobrol tentang banyak hal. Dan tentu saja semua itu kulakukan hanya untuk membuang-buang waktu. Karena sebenarnya, aku sama sekali tidak berminat untuk berteman dengan lelaki bermata sipit ini. Tidak-sama-sekali.
Pasti Seo Hyun juga tidak benar-benar tulus berteman denganku.
Aku tidak peduli, karena semua laki-laki itu sama. Mereka ingin berteman denganku hanya karena wajahku yang keturunan Chinesse ini. Kebanyakan teman perempuanku berkata bahwa wajahku tidak sesuai dengan kepribadianku yang maskulin. Mereka malah ingin menukar wajahnya dengan wajahku. Ini gila.

“Gue balik ya. Thanks for the cigarette.” Ucapku sambil meninggalkan Soe Hyun, tanpa menunggu jawaban darinya.

Sambil menikmati semilir angin sore yang menerpa rambutku, lagu Michael Jackson - Heal The World, mengalun di telingaku.

There's a place in your heart
And I know that it is love
And this place could be much
Brighter than tomorrow.
And if you really try
You'll find there's no need to cry
In this place you'll feel
There's no hurt or sorrow.
There are ways to get there
If you care enough for the living…

Aku membakar rokok pemberian Seo Hyun. Apalah arti hidup damai? Batinku bertanya.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia sepuluh tahun menarik perhatianku. Ia mengais sampah di sekitar Klaster, dan menemukan puntung rokok yang tinggal separuh. Tangannya bergerak cepat merogoh ke dalam saku celananya, mengambil korek api, membakarnya, dan kemudian dihirup dalam-dalam.



Lututku bergetar…

Bukankah anak sekecil itu harusnya tidak boleh menyentuh rokok? Apalagi… Merokok?

Beberapa detik kemudian, aku melemparkan benda yang mengapit di antara jari telunjuk dan jari tengahku itu ke danau di bawah jembatan Teksas. Membiarkannya bergabung bersama milyaran bakteri yang ada di dalam sana. Perasaan tak menentu meresap ke dalam jiwaku. Mengisi suatu tempat di dalam ragaku, bernama hati.

Sejak hari itu... Aku tak lagi mampu menyentuh sebatang rokok pun. 

Tidak ada komentar: