Rabu, 03 Oktober 2012

Pertama--Keempat


Tahun pertama... Tanpa kehadiranmu.
Bulan itu memancarkan pesonanya yang tak pernah membuatku jengah. Di tengah kegelapan malam, aku tampak seperti wanita gila yang memandang langit melalui jendela kamarnya, kemudian beberapa detik kemudian tersenyum sambil terisak. Aku tersenyum dalam tangisku.
Senyummu yang biasa menjadi penghangatku setiap hari, kini menjadi balok es yang siap menghujam jantungku setiap saat. Membekukan jemari tanganku yang terbalut cincin berlian di jari manisnya. Aku membunuh diriku sendiri saat aku mengatakan, “Pergilah… Australia memang tampak jauh bila dibandingkan dengan jarak yang ada di hati kita.”

***

Tahun kedua… Tanpa kehadiranmu.
Aku masih terisak dalam senyumku setiap kali memandang bulan purnama. Aku tahu, kita masih memandang pada bulan yang sama, meskipun pada waktu yang berbeda. Kita masih tinggal dalam satu planet yang sama, meskipun raga terpaut dalam bilangan ratusan kilometer.
Senyummu pada setiap foto yang kau kirimkan padaku… Sungguh membunuhku. Ingin rasanya aku masuk ke dalam layar handphone-ku saat fotomu terpampang jelas di sana. Masuk, dan memelukmu erat. Erat… Sekali.
Apa kabarmu?

***

Tahun ketiga… Tanpa kehadiranmu.
Rinduku menggunung. Mengkristal dalam lapisan hati yang kusimpan rapat-rapat. Tak bisakah kau mengabariku meski hanya seminggu sekali? Apa susahnya mengirim e-mail di negaramu yang sudah super canggih itu?

***

Tahun keempat… Tanpa kehadiranmu.
Kau kembali. Dengan cincin yang tak lagi sama. Dan sesosok wanita tengah melingkarkan lengannya yang putih pada pinggangmu. Aku terpaku. Rupanya penantianku selama ini… Tak berarti lagi.

Tidak ada komentar: